PP-21

1402 Kata
Nadien dan Vania mengobrol ringan setelah mereka selesai makan. Lebih tepatnya, Vania yang lebih banyak bicara. Wanita bersurai panjang itu terus menceritakan tentang usahanya berjualan perabot dapur yang kini mulai sukses. "Pokoknya nanti kamu harus datang di grand opening toko panciku!" pinta Vania. Nadien tersenyum tipis. Ia masih ingat bagaimana Rafael - kakak Vania mengusirnya dulu. Ia juga masih ingat dan sangat terluka setiap memikirkan tatapan-tatapan orang-orang di sekeliling Vania padanya dulu. "Nggak janji ya," jawab Nadien yang langsung membuat Vania merengut kesal. "Harus! Pokoknya harus! Kamu kan sahabat aku. Masak nggak datang di acara yang sangat spesial buatku? Please please please ya, Nadien!!!" rengek Vania seperti anak kecil. Nadien menggeleng heran melihat kelakuan ajaib Vania itu. Tapi, nyatanya selama ini tidak pernah ada yang tidak luluh mendengar permintaan wanita itu. Seajaib itukah sosok Devania Putri Renandi? Ah... Nadien jadi kembali teringat tentang masa-masa awal ia mengenal Vania. Ia menyesal, dulu pernah berbuat jahat pada wanita sebaik dan selugu Vania. "Ssshh.. iya iya," jawab Nadien yang setuju pada akhirnya. Vania langsung menyembangkan senyum lebarnya setelah mendengar jawaban Nadien. "Hai," suara itu..... Nadien dan Vania membulatkan matanya saat melihat ke samping mereka. Laki-laki itu, Daniel, berdiri sembari memasang senyum manis seakan merasa kedatangannya ditunggu oleh dua wanita itu. Vania menoleh ke arah Nadien sembari menggeleng. Ia memberi kode pada Nadien bahwa bukan ia yang mengajak Daniel ke sini. Ini semua di luar rencananya. Daniel dengan santainya duduk di samping Nadien. Namun, secepat kilat Nadien berdiri. Ia hendak melangkah pergi. Namun, terlambat. Daniel sudah lebih dulu menahan lengannya. "Apa tidak boleh aku bergabung? Aku hanya ingin mengobrol denganmu, seperti Dev," ujar Daniel. "Lepas!" pinta Nadien dengan volume rendah namun penuh penekanan. Pasangan suami-istri itu saling pandang. Daniel memandang Nadien sendu, sementara Nadien membalasnya dengan tatapan tajam. "Aku bilang lepas!" ulang Nadien. Daniel menggeleng. Ia masih ingin mempertahankan Nadien di meja ini. Ia juga ingin punya waktu bicara dengan Nadien, seperti saat Nadien bicara dengan Vania. "Aku bilang-" ucapan Nadien terpotong. "Dan, mending lepas dulu deh! Nadien perlu waktu. Lagian ini semua kan juga salah kamu!" sambar Vania yang gemas dengan sikap Daniel. "Karena itu kami perlu bicara, Dev," balas Daniel memelas. "Kalau kamu terlalu maksa gitu yang ada Nadien illfeel sama kamu!" tegur Vania. Perlahan, Daniel melepaskan lengan Nadien. Nadien pun bergegas pergi. Samar-samar Nadien mendengar Vania yang sedang mengomeli Daniel karena sudah merusak acaranya dengan Nadien. Namun, Nadien tak mendengar Daniel membela dirinya. Oke. Setidaknya Nadien tahu, kalau kedatantan Daniel benar-benar di luar rencana Vania. Nadien memilih langsung pulang. Lebih baik ia segera mandi agar emosinya akibat bertemu dengan Daniel sore ini cepat reda. Di perjalanan, Nadien berusaha memikirkan kembali cara agar ia bisa lepas dari jeratan Daniel. Ia harus segera bercerai dengan laki-laki itu. Tidak peduli bagaimana pun caranya. Nadien merasa sudah benar-benar muak dan lelah. Setiap melihat Daniel, hatinya terasa sakit. Jujur, ia masih begitu mencintai suaminya itu. Tapi, setiap melihatnya ia akan langsung teringat perlakuan suaminya dulu. Saat bagaimana Daniel menuduhnya telah mencelakai Vania. * Hari berganti. Nadien bekerja seperti biasanya. Kebetulan, pekerjaannya hari ini tidak banyak. Jadi ia bisa bekerja lebih santai tanpa takut pulang terlambat. Ponsel Nadien berdering. Tertera nama Radika di sana. Nadien pun cepat-cepat mengangkatnya. "Iya, Pak?" tanya Nadien to the point. 'Setelah jam makan siang ikut saya meeting bersama perusahaan Renandi ya, Nadien! Nanti kamu langsung ke parkiran saja!' "Oh, baik, Pak," balas Nadien. Setelah itu, Radika memutuskan sambungan teleponnya. Nadien mengembuskan napasnya panjang. Bolehkah ia berharap Daniel tidak akan datang? Tapi sepertinya hal itu sangat mustahil. Mengingat Daniel juga merupakan orang yang sangat penting dalam proyek ini. * Nadien menyimak rapat dengan sebaik-baiknya. Meskipun ia risih dengan Daniel yang terus memperhatikannya sedari tadi. Tak hanya itu, bahkan Radika juga sesekali tampak menatap Nadien. Mungkin laki-laki itu dapat menangkap sinyal aneh antara tatapan Daniel pada Nadien. Rapat selesai. Sebagian besar orang sudah keluar dari ruanganan tersebut. Kini, Radika dan Nadien pun sudah selesai berkemas untuk segera pergi. "Ayo, Nadien!" ajak Radika setelah berpamitan pada anggota rapat yang masih tersisa di ruangan itu. "Kalau saya memperhatikan istri saya itu ya hak-hak saya, tidak ada yang salah. Tapi kalau laki-laki lain sok-sokan perhatian dengan istri saya itu berarti ada sesuatu yang salah," ucap Daniel lantang ketika Radika dan Nadien hendak keluar ruangan. Nadien memejamkan matanya. Ia tahu Daniel akhir-akhir ini sudah berubah menjadi orang yang gila. Tapi tidak perlu menunjukkannya di depan banyak orang kan? "Maksud Pak Daniel, saya?" suara itu berasal dari samping Nadien. Siapa lagi kalau bukan Radika. "Pak, sudah. Lebih baik kita segera kembali ke kantor," ajak Nadien sembari menyentuh lengan Radika agar perhatian Radika kembali padanya. Namun, Radika masih tak beranjak dari posisinya. Ia menatap Daniel dengan tatapan penuh tanya. Kepala Nadien terasa pening. Kenapa Radika harus meladeninya? Yang ada Daniel malah akan semakin gila. Dan Nadien mulai mendengar suara sepatu berjalan ke arahnya. Dari suaranya saja, Nadien sangat hafal jika itu langkah Daniel. Hal itu diperkuat dengan aroma parfum Daniel yang mulai tercium di hidungnya. "Pak,-" ucapan Nadien terpotong. "Anda menyukai istri saya?" tanya Daniel pada Radika. Seketika, mata Nadien membulat. Ia segera menoleh, menghadap ke arah Daniel yang kini sedang saling bertatapan dengan Radika. "Saya hanya kagum dengan Nadien, Pak. Nadien ini pekerja keras loh di kantor. Saya tidak menyangka kalau ternyata dia istri seorang bos perusahaan besar," jawab Radika santai dan terdengar benar-benar tulus. "Kamu apa-apaan sih?" tegur Nadien pada Daniel yang sudah terlalu lancang bicara. "Yakin cuma kagum? Saya lihat tadi Anda-" "Daniel!" sambar Nadien. Daniel menoleh ke arah Nadien. Melempari wanita itu dengan tatapan dingin yang langsung mengingatkan Nadien pada saat laki-laki itu mengusirnya dari ruang kerjanya dulu. Nadien terdiam. Ia harus fokus mengontrol hatinya. "Maksud Anda, Anda curiga saya memiliki perasaan lebih terhadap Nadien?" tanya Radika. "Bukan curiga. Lebih tepatnya yakin. Karena saya juga laki-laki. Dan saya paham arti tatapan Anda pada Nadien," ralat Daniel. Nadien tersentak mendengar ucapan Daniel. Hal yang ia katakan tadi tidak benar kan? "Ya ampun, Pak Daniel, Anda tidak perlu khawatir. Saya tidak berniat menjadi perebut istri orang kok. Saya memang mengagumi Nadien, tapi saya juga ingat kalau Nadien sudah sah menjadi istri Anda. Jadi saya-" "Pak, lebih baik kita kembali ke kantor sekarang!" ajak Nadien. Ia benar-benar muak mendengar pembicaraan dua laki-laki itu. Lagi pula, memangnya Radika pikir Daniel akan mengalah dan puas begitu saja dengan penjelasannya? Tentu saja tidak. Daniel ya Daniel. Menurutnya, pendapatnya adalah hal paling benar di dunia. Jadi ia pasti tetap akan mati-matian mempertahankan opininya. "Sepertinya Pak Radika masih mau menjelaskan banyak hal padaku, sayang. Kenapa harus buru-buru sih?" ujar Daniel pada Nadien. "Tolong jangan bahas masalah pribadi di saat jam kerja!" Nadien memperingatkan. Daniel harusnya tahu pasti jika sedari dulu Nadien memang tidak suka membahas hal-hal pribadi di kantor, atau saat ia sedang bekerja. Daniel menatap Nadien sembari tersenyum. "Kamu tenang saja. Meetingnya kan sudah selesai. Bos kamu juga di sini, masih mau ngobrol denganku. Aku jamin tidak akan ada yang memarahimu karena telat kembali ke kantor. Benar kan, Pak Radika?" Radika menanggapi pertanyaan Daniel dengan senyuman. Sementara Nadien memutar bola matanya jengah. "Jadi bagaimana, Pak Radika? Masih tidak mau mengakui kalau Anda memang menyukai istri saya?" tanya Daniel pada Radika. "Astaga, Daniel!" pekik Nadien frustrasi. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Daniel. "Pak, sebaiknya kita kembali ke kantor sekarang! Atau saya bisa naik taksi saja kalau sekiranya Bapak masih lama," ujar Nadien. Ia tahu jika cara bicaranya terdengar kurang sopan mengingat Radika adalah bosnya. Tapi ia benar-benar sudah tidak tahan mendengar opini Daniel yang semakin melantur. "Iya, Nadien. Kita kembali sekarang. Pak Daniel, maaf, kita lanjutkan lain kali saja ya perbincangannya? Kebetulan setelah ini saya akan kedatangan tamu. Jadi saya harus segera kembali ke kantor," pamit Radika. Daniel mengangguk sembari tersenyum miring. "Saya hanya mau mengingatkan satu hal. Nadien adalah istri saya. Jadi lebih baik Anda menjaga mata dan hati Anda! Karena saya tidak akan membiarkan milik saya diambil orang," pesan Daniel. Nadien berjalan mendahului Radika. Ia sudah benar-benar muak mendengar ucapan Daniel. Dan Radika pun segera menyusul langkah Nadien, sampai-sampai ia lupa belum menjawab pesan dari Daniel. Daniel menatap sengit ke arah punggung Radika yang menjauh. 'Kita lihat saja apa yang akan terjadi kalau kamu masih lancang menatap istriku seperti tadi,' monolog Daniel dalam hati. *** Bersambung... Daniel jadi laki-laki posesif ya sekarang? Jadi cemburuan gumush gitu. Tapi kira-kira bener nggak tuh opini Daniel soal perasaan Radika ke Nadien? :D Chapter ini lumayan sedang. Hampir 1400 kata. Terima kasih sudah setia menunggu :))
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN