PP-20

1769 Kata
Nadien berangkat bekerja seperti biasanya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia selalu merasa diperhatikan. Padahal setiap ia menoleh kesana-kemari ia tak menemukan siapapun. Kali ini ia baru saja selesai makan siang. Beberapa pegawai belum kembali ke ruangan. Hanya ada Nadien dan 2 staff lain. Setelah memastikan tidak ada orang asing yang mengamatinya, Nadien mulai fokus bekerja. 'Mungkin cuma perasaanku aja yang terlalu berlebihan. Lagian siapa yang mau ngawasin aku? Daniel? Cih... mana sempat dia?' monolog Nadien dalam hati. Nadien berusaha fokus. Mengusir segala pikiran buruknya tentang mata-mata itu. 'Dddrrrtttt' "Astaga!" pekik Nadien. "Kamu ini kenapa? HP getar aja bisa sekaget itu?" tanya Novi tak habis pikir. Nadien tersenyum kikuk. Ia juga bingung, kenapa dia bisa sekaget itu. Sepertinya ia terlalu fokus, atau malah karena pikirannya yang saat ini seperti orang paranoid karena merasa dimata-matai? Nadien mengambil ponselnya dari atas meja. Seingatnya, ia sudah mematikan sambungan internetnya. Dan ternyata ada yang mengirim SMS padanya. Dia adalah Vania. Pasti ia sudah mengirim chat ke aplikasi hijau Nadien, tapi karena centang satu, makanya ia mengirim SMS. 'Kamu dimana? Masih di kantor ya? Ayo meet up!!! Hidupkan datamu, Nad! Kalau SMS boros pulsa,' Nadien tertawa kecil membaca dua kalimat terakhir yang Vania tulis. Namun, ia menuruti kemauan Vania. Ia menyalakan sambungan internetnya, dan langsung membuka aplikasi berwarna hijaunya. Ternyata, ada beberapa pesan dan panggilan masuk dari Vania. Nadien membacanya satu per satu. Pada intinya, Vania hanya ingin bertemu karena merindukan Nadien. Vania juga merasa, sudah lama tidak ngobrol berdua dengan Nadien. Vania memang ada hubungannya dengan keretakan rumah tangganya bersama Daniel. Bahkan, bisa dibilang Vania adalah penyebab utamanya. Meskipun demikian, wanita itu sebenarnya tidak salah. Dia tidak tahu apa-apa. Dan Nadien paham itu. 'Aku masih ada pekerjaan. Bagaimana kalau kita bertemu saja besok?' balas Nadien. Tak perlu menunggu waktu lama, ponsel Nadien kembali bergetar. 'Akhirnya kamu nyalain paket data juga. Aman deh pulsaku,' 'Yah tapi aku udah sampai di kantormu. Tadi aku sudah izin karena sudah tidak ada pekerjaan lagi. Kamu masih lama?' Nadien menghela napas panjang. Lagi pula, kenapa sih Vania seenaknya datang dan tidak bilang-bilang dulu? Tunggu! Dari mana Vania tahu tempat kerjanya? Apa maksudnya kantor Nadien yang dulu? Ah.. bisa saja. 'Aku sudah pindah kerja, Van, tidak di kantor yang dulu,' balas Nadien. Nadien hendak mengetik pesan untuk memberi tahu Vania dimana ia bekerja kini. Tapi, Vania ternyata sudah lebih dulu mengirim balasan. 'Aku tahu. Dan sekarang aku ada di depan tempat kerjamu yang baru. Kantor utamal Megatama Corp, kan?' Mata Nadien membulat. Dari mana Vania tahu? Apa dari Daniel? Apa Vania datang ke sini atas permintaan Daniel? Seketika keinginan Nadien untuk bertemu Vania goyah. Ia malas jika pada akhirnya Vania hanya akan membahas hubungannya dengan Daniel. 'Tolonglah, siapa saja yang bahas mungkin aku bisa kuat menahan emosiku. Tapi kalau itu Vania? Mana mungkin aku bisa? Dia penyebab hubunganku dan Daniel merenggang. Tapi ia juga penyebab Daniel dulu menikahiku. Dia tokoh utama dalam cerita ini, meski dia sebenarnya tidak tahu apa-apa,' batin Nadien. Ponsel Nadien kembali bergetar. 'Ayolah, Nad!! Pekerjaanmu masih banyak ya? Aku bisa nunggu kamu dimana? Aku tunggu deh. Kan kita lama nggak ngerumpi bareng,' tulis Vania. Nadien berusaha berpikir. Alasan apa yang bisa ia gunakan untuk menghindari Vania? Pasalnya, ia tahu wanita yang kini berstatus sebagai istri Andrea itu sangat keras kepala. Apalagi, dia bilang mau menunggu sampai pekerjaan Nadien selesai. Dia pasti akan benar-benar melakukannya. 'Van, aku masih lama. Pekerjaanku masih banyak. Kapan-kapan saja ya, kita ketemunya?' Nadien berusaha menghindar, meskipun sempat berdebat alot dengan Vania. Tapi, sekali lagi Vania terlalu keras kepala untuk diajak berdebat. Memangnya, siapa yang akan menang kalau harus berdebat dengan Vania? Bahkan laki-laki sedingin seperti Andrea pun dapat dengan mudah takluk pada wanita itu. Nadien berusaha mempercepat kinerjanya. Ia tidak tega jika membiarkan Vania menunggu terlalu lama. Satu jam kemudian, Nadien merenggangkan otot-otot punggung dan lengannya yang terasa pegal. Matanya juga panas, terlalu lama fokus pada layar komputer. "Ada acara lagi, Nad?" tanya Novi. Sepertinya rekan kerja Nadien itu sadar, kalau sedari tadi Nadien bekerja dengan ekstra cepat. "Temanku menunggu di bawah. Dan dia tidak mau pergi sebelum aku menemuinya," jawab Nadien seadanya. Wajahnya tampak frustrasi ketika menjelaskannya. Novi tertawa geli mendengar penjelasan Nadien. "Padahal kan bisa izin aja turun sebentar," ujar Novi. "Dia biang rumpi kalau udah ketemu. Nggak akan bisa kalau cuma izin sebentar," balas Nadien. Nadien mematikan layar komputernya. "Aku pulang duluan ya, Mbak, mau ke Bu Sarah dulu juga buat izin," pamit Nadien. Setelah itu, Nadien menemui Bu Sarah, sekalian mengumpul laporannya. Bu Sarah pun dengan mudahnya langsung memberikan izin untuk Nadien pulang lebih cepat. * "Nadien!!" Nadien menoleh ke arah datangnya suara. Senyum tulus wanita itu terbit saat melihat sosok Vania yang melambaikan tangan padanya. Nadien pun segera menghampirinya. "Dari tadi kamu di sini? Sudah lama?" tanya Nadien tak enak hati. "Iya. Tapi aku duduk kok. Aku juga belum terlalu lama sampai. Udah ayo langsung aja cari tempat makan! Aku lapar," pinta Vania. Nadien tertawa. Ia mengajak Vania ke mobilnya. "Memang mau makan apa?" tawar Nadien. "Selagi ada ayam, aku suka," balas Vania seenaknya. Nadien menggeleng heran melihat tingkah wanita yang berprofesi sebagai dokter itu. Lebih tepatnya, dokter kanker, atau yang biasa disebut onkolog. "Kamu ini dokter onkologi, tapi nggak bisa berhenti makan ayam," heran Nadien. "Oh ayolah.. kamu juga pernah sekolah kedokteran. Kamu pasti tahu semua makanan itu ada plus minusnya. Sayur pun banyak yang disemprot insektisida. Ikan di laut juga banyak yang terkena pencemaran. Jadi sudahlah jangan menyalahkan ayam terus. Kasihan ayamnya disalah-salahin, padahal dia enak banget dimakan," oceh Vania sembari memasang wajah memelas. Nadien tidak bisa tidak tertawa kalau berhadapan dengan Vania. Selain keras kepala, wanita itu juga konyol. Susah sekali dibayangkan, kalau Andrea yang sedingin itu bisa menikahi wanita seperti Vania. "Ya sudah terserah kamu saja," balas Nadien. Nadien pun segera menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya menuju sebuah rumah makan. Untungnya Vania bukan tipe orang yang suka berfoya-foya makan di restoran mahal, jadi Nadien tak harus menguras isi dompetnya untuk mentraktir temannya itu. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah makan. Vania langsung turun mendahului Nadien dan masuk ke dalam rumah makan itu dengan tidak sabaran. Nadien mengikuti langkah Vania. Wanita itu sudah duduk di sebuah kursi sambil membaca buku menu. "Kamu mau apa? Aku traktir deh. Usaha jualan panciku sekarang sudah lumayan kok. Aku udah mau buka toko offline juga," tawar Vania. Nadien kembali tertawa. Di antara sekian banyak keunggulanannya, selaku usaja pancinya yang Vania bangga-banggakan. "Samain sama kamu aja deh. Aku bisa makan semuanya kok," jawab Nadien. "Oh.. tapi tentu saja porsi kita pasti berbeda. Oke. Ayam panggang aja ya lauknya? Nanti sayurnya baru kita samain," ujar Vania. Nadien mengangguk. Nadien baru ingat, kalau napsu makan Vania juga terbilang jauh dari normal. Bisa dipastikan wanita itu akan memesan lebih dari satu porsi. Setidaknya, mungkin lauknya yang double. Sembari menunggu pesanan mereka datang, dua wanita itu mengobrol ringan. Rasanya sudah lama mereka tak berbicara berdua seperti ini. "Kamu tahu tempat kerjaku dari mana?" tanya Nadien. "Dari Daniel dong..." jawab Vania santai. Sempat terjadi keheningan setelah Nadien mendengar jawaban itu. Tapi, bukan Vania namanya kalau tidak bisa memecah keheningan. "Kalian masih marahan? Hmm.. maksudnya, kamu masih marah sama Daniel ya?" tanya Vania. "Kita nggak usah bahas itu, yuk! Gimana kalau ngomongin soal kerjaan? Oh iya, rencananya toko panci kamu mau buka di mana?" Nadien berusaha mengalihkan pembicaraan. Vania adalah titik terlemahnya jika membahas soal Daniel. Maka dari itu, ia harus menghindarinya. Vania mengembangkan senyum tipis penuh arti. "Nad, dengan kamu yang seperti ini membuat perasaan bersalahku semakin besar," ujar istri dari Andrea itu. Nadien hampir saja terbuai. Tapi ia harus kuat. Ia tidak boleh menunjukkan emosinya pada Vania. Atau kalau tidak, dia yang akan kalah dan akhirnya luluh dengan perkataan Vania. "Kamu mengajakku bertemu bukan untuk-" "Kalau yang kamu takutkan Daniel datang ke sini, kamu tenang saja. Dia tidak akan ke sini. Aku bertanya alamatmu padanya memang karena aku janji akan menemaninya bertemu denganmu. Tapi aku berjanji padanya untuk menemaninya besok. Tapi apa? Aku datang hari ini kan? Aman, Nad. Kali ini aku hanya ingin benar-benar bicara empat mata sama kamu." Nadien mengembuskan napasnya lega. Ia pikir, Vania dan Daniel sedang menjebaknya. Ia pikir, Vania adalah umpan untuk memancing Nadien keluar agar Daniel bisa menemuinya. Tapi ternyata, Vania bisa sedikit mengerti posisinya. Meskipun selengekan, tapi Vania cukup pandai menempatkan diri dalam suatu permasalahan. "Van, apa yang terjadi di antara aku dan Daniel itu bukan salah kamu. Ini semua murni kesalahan kami," ujar Nadien lembut. Rasanya Nadien tak enak hati jika membiarkan Vania terus merasa bersalah. Karena memang sedikitpun, Nadien tidak pernah menyalahkan Vania atas semua ini. Vania memang penyebab utamanya. Mulai dari pernikahan Daniel dan Nadien, bahkan hingga keretakan rumah tangga mereka yang seperti ini. Tapi Vania tidak tahu apa-apa. "Aku penyebab semuanya, Nad. Kamu jangan tutup-tutupin itu dari aku! Aku yang membuat Daniel salah paham lalu menyalahkanmu. Aku... aku-" "Sudahlah, Van. Kamu jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Memangnya dia nyalahin kamu? Enggak kan? Aku juga nggak pernah nyalahin kamu kok," terang Nadien. "Tapi di sini kamu korban. Harusnya dulu aku buka mulut dan menjelaskan semuanya, agar kamu tidak disalah-salahkan seperti ini," ungkap Vania penuh sesal. Nadien meraih tangan Vania, lalu menggenggamnya. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita melihat seseorang yang selalu ceria, berubah menjadi murung seperti ini. Dan Nadien kini merasakannya. "Tapi kamu tetap tidak bersalah. Saat itu bahkan kamu tidak tahu kalau aku lah yang mereka salahkan atas kejadian itu. Lagi pula, saat itu kamu sedang shock dan berduka. Aku bisa mengerti posisi kamu, Vania. Jika aku ada di posisi kamu, aku pun akan melakukan hal yang sama," balas Nadien lembut. Vania bangkit berdiri. Dengan mata berkaca-kaca, ia menarik Nadien ikut serta berdiri, kemudian memeluknya. "Maafin aku. Harusnya nasib rumah tanggamu tidak seperti saat ini. Harusnya kamu dan Daniel saat ini sedang menikmati kehidupan rumah tangga yang bahagia sekarang. Aku benar-benar minta maaf," ujar Vania dengan suara serak. "Sudahlah, ini bukan salah kamu, Van. Kita jangan bahas ini dulu, ya? Gimana kalau sekarang kita fokus makan? Pesanan kita udah datang tuh." Vania mengurai pelukannya. Dengan wajah yang masih sendu, ia menoleh ke arah pelayan yang membawa nampan berjalan ke arah mereka. Vania pun kembali duduk ke tempat semula. *** Bersambung.... Ini puanjangggg :D Ada Vania tuh. Adakah yang rindu dengan Vania? Next chapter masih akan ada Vania lagi loh.. nggak bisa dipungkiri, karakter Vania itu bisa membuat tulisanku terasa hidup menurutku. Kemarin niatnya mau double up. Eh.. keadaan tidak mendukung :( Terima kasih sudah mampir ke cerita ini :) Oh ya, aku baru saja memposting cerita baru judulnya "Fault of Devil". Genre fantasy romance. Masih cek ombak sih.. langsung saja ke lapaknya bagi yang penasaran :))
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN