Shock Terapi

1090 Kata
“Saya tunggu revisi kamu sampai lusa Sasti, jika tidak bisa. Maka maaf, kamu harus mengulang tahun depan.” Setelah kepergian sang dosen yang super galak, Sasti menenggelamkan kepala pada tumpukan buku yang dibawanya. Kalimat tidak cukup pendek tadi mampu membuat dirinya kelabakan, dengan mudahnya seseorang membuat keputusan. Mereka tidak memikirkan bagaimana orang akan mengerjakannya. Sasti berjalan lesu menghampiri Yani yang duduk sendirian di bangku taman dengan es boba ukuran besar dan bakso bakar di tangannya. “Gimana pren, diterima?” Sasti menggeleng pelan, tidak lama setelah itu dia mengusap air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir di pipi. Memang dirinya begitu sensitif terhadap semua hal akhir-akhir ini, bawaan sejak kecil kembali lagi di usianya sekarang. Melihat gelagat temannya yang sedang murung membuat Yani menggelengkan kepala, pasti ditolak lagi oleh dosen. “Kan udah gue bilang, fokus aja ke kuliah. Urusan ressort si mas Joko yang handle, lo mah susah kalo diajak bicara Sas,” Yani membuang tusuk bakso bakar dan menatap Sasti, “Sekarang aja Lo nggak dengerin gue Sas, wes angel.” “Yani…..” Sasti merengek terhadap Yani dengan mata memerah. “Nggak, nggak. Udah capek gue, tabiat lo dari kecil nggak pernah berubah. Bener kan? Bokap lo pernah bilang ke gue soalnya.” “Ayo pulang, gue nggak bisa bantu karena jurusan kita beda. Banyak-banyakin doa aja sih Sas, kalaupun lo nggak lulus. Lo kan udah mapan, rumah ada, pekerjaan ada, keluarga ada, uang dimana-mana, jadi apa yang lo tangisin?” Sasti hanya bisa mengerucutkan bibir kesal dengan air mata yang masih mengalir. Beruntung di taman ini tidak ada orang, hanya ada beberapa anak kecil yang bermain bola di sudut taman. “Kamu juga punya semua itu.” Yani menggeleng mendengar ucapan Sasti. “Lo kayak nggak tahu bokap gue aja, dia kan killer-nya ngalahin guru BK. Kalau gue nggak pinter, bisa ditendang dari rumah lah. Mana sepupu semuanya pada masuk UI, kan malu kalau nilai gue nggak bagus.” “Ayo pulang, bareng gue aja, lo naik apa tadi?” “Nggak, aku naik bis aja. Sekalian hemat uang.” Yani berdecak. “Kan kan, baru dibilang. Sekarang mulai lagi, lo mau beli kapal pesiar? Atau pulau di ujung Indonesia yang dilelang itu?” “Heh Sas, gue kasih tahu ya. Gue pernah baca cerita nyata kalau ada orang kaya yang hemat banget, sampai semua pengeluaran dihitung. Dia nggak pernah jalan-jalan, barangnya sederhana, makan apa adanya, dan lo tau?” Sasti menggeleng, dia menatap Yani dengan sungguh-sungguh. “Apa?” “Dia meninggal bahkan sebelum merasakan hasil cirih payahnya!” “Gue bukan mau nakut-nakutin atau gimana ya, tapi emang itu kenyataannya. Udahlah, gue mau pulang dulu. Mulut gue bisa berbusa nasehatin lo Sas, bye bye sayang.” Yani menepuk pipi Sasti pelan dan berjalan menuju pesanan ojek online yang sudah sampai. Melambaikan tangan dengan gerakan slow motion dan memberikan kissbye kepada Sasti. Sedangkan Sasti berjalan pelan meninggalkan taman, dirinya mendudukkan diri dengan lemas di halte. Sesekali tersenyum terhadap orang-orang yang lewat, beruntung dia dilahirkan di Indonesia yang sangat tinggi nilai normanya. Dia pun merasa nyaman. Bis yang ditumpanginya sudah pergi sejak 5 menit yang lalu, mengharuskan dia menunggu sekitar 40 menit lagi. “Astaghfirullah, huh, sabar, sabar.” Sasti menenangkan dirinya yang akan meledak, dia menggigit buku yang dibawanya dengan gemas. Sasti menghiraukan orang tua yang menatapnya dengan pandangan takut, tidak lulus kuliah lebih menakutkan dari dirinya sekarang ini. Kenapa hari ini sungguh mengesalkan? “Kakak mau permen?” “Eh?” Sasti sedikit kaget ketika jaketnya ditarik sedikit, dia menunduk menatap permen batang yang dibawa anak kecil di sampingnya. “Buat kakak?” “Iya, daripada makan buku. Permen aja Kak, gratis kok buat Kakak.” Sasti tersenyum kaku terhadap ibu sang anak yang menatapnya dengan pandangan teduh. Ibu dan anak ini sepertinya orang baik, terbukti dari caranya menatap seseorang. “Mau pulang dek?” “Ah iya Bu, saya telat lima menit. Yah, harus nunggu lagi gitu.” Wanita itu tadi mengangguk. “Ibu juga?” tanya Sasti. “Enggak, saya menunggu suami pulang kerja. Kebetulan tadi ke bazar makanan, sama suami disuruh tunggu di halte.” Sasti mengangguk, wanita disampingnya termasuk wanita beruntung karena mendapat laki-laki yang perhatian. Jika nanti dirinya menikah, dia juga ingin seperti itu. Makan malam berdua, jalan-jalan berdua hingga bulan madu di pulau pribadi. Sasti menggelengkan kepala dengan cepat, dia kebanyakan membaca n****+ romantis hingga membuatnya seperti ini. n****+-n****+ itu kan rata-rata fiksi, kemungkinan untuk menjadi kenyataan sangat sulit! “Bunda, ayah masih lama?” “Sebentar lagi ya sayang, sabar.” Entah kenapa Sasti ikut tersenyum melihat interaksi kedua mereka. Ah, dia jadi ingin memiliki anak. Sasti mengajak anak kecil tadi bermain karet, bernyanyi hingga tebak-tebakan. Matanya mengikuti bisikan orang di samping kanan dan kirinya yang membicarakan mobil mewah. Ya, Sasti melihatnya. Mobil mewah keluaran terbaru sedang terparkir di depan halte, bahkan Sasti tidak mendengar suara mesinnya. Berapa harganya? Kenapa orang-orang suka menghamburkan uang hanya untuk pamer? Sasti saja sudah bersyukur mobil ayahnya yang sudah 4 tahun bersamanya masih bagus. Matanya menatap ke arah body mobil yang benar-benar mulus melebihi kemulusan wajahnya, skincare apa yang dipakainya? “Wahh, bagus banget mobilnya Bun.” Tanpa sadar Sasti menganggukkan kepala mendengar ucapan anak kecil tadi. Dirinya sedikit kaget ketika mendengar suara pintu mobil yang ditutup kencang, bola matanya bergulir mengikuti seseorang yang keluar dengan tergesa. Orang itu tidak asing baginya. Tidak lama setelah itu dirinya kembali kaget mendengar ucapan yang dilontarkan orang itu. “Mama.” Apa?! Sasti tidak salah mendengar? Matanya menatap orang-orang yang sedang mengintimidasi dirinya. Sasti menggeleng dengan cepat dan memeluk bukunya semakin erat. Apa yang terjadi saat ini? Semua orang menatapnya, bahkan cacian dan sindiran mulai terdengar dari kanan kiri. Ada yang menatapnya sinis dan berkata tega dengan karena meninggalkan anak dan suami. “Sumpah bapak, ibu, mas, mbak yang ada disini. Saya masih perawan ting-ting, saya bahkan masih sekolah!” Tidak lama setelah Sasti mengatakan itu, pria tampan keluar dari dalam mobil dengan senyum kecil. “Ayolah sayang kita pulang, kami merindukanmu.” Sasti semakin tidak paham, dimana kameranya? Dimana sutradara drama dadakan ini?! “Benar tuan, adek ini masih kuliah.” Sasti mengangguk dengan cepat mendengar penuturan Ibu yang dia ajak bicara tadi. “Kuliah tidak melarang mahasiswinya untuk menikah Bu, dia istri saya.” Sasti menggeleng dan memberontak kecil ketika dimasukkan kedalam mobil, matanya menatap penuh permohonan kepada semua orang yang berada di halte, berharap ada yang membantunya. Sasti beralih menatap anak kecil yang memanggilnya dengan sebutan ‘mama’ penuh curiga, apa yang dia inginkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN