Almeron mengangkat kepala melihat pelayan tadi, matanya membulat dengan mulut sedikit terbuka. Dia telah melakukan kesalahan, dia telah melakukan kesalahan dengan melukai hati sang calon mamanya.
“Kakak….”
Sasti mengerutkan kening sekaligus mundur ke belakang karena gerakan tiba-tiba anak tadi yang tidak lain dan bukan adalah Almeron. Paham situasi, membuat Sasti menangkupkan kedua tangan dan sedikit menundukkan kepala terhadap pelanggannya.
“Maafkan pelayanan kami yang kurang memuaskan untuk anda, kedepannya kami akan memperbaiki ini semua.”
Almeron menggeleng pelan, tidak tidak. Mamanya tidak salah!
“Enggak Kakak nggak salah, bos kakak yang salah.”
“Kenapa dia tidak mengecek kembali persediaan barang, ini salahnya. Bukan salah Kakak.”
“Almeron!” Ellen kembali berucap menghentikan keponakannya, kata-kata pedas bisa saja terucap dari bibir tipis itu.
“Bukan Kakak yang salah, bos kakak yang salah. Seharusnya dia yang datang kesini meminta maaf, bukan Kakak. Dimana tanggung jawabnya sebagai pemimpin?” ucap Almeron menatap seluruh pegawai yang ada disekitarnya.
Sasti tersenyum kecil, dia merasa malu dengan anak berusia 10 tahun di depannya ini. Tangannya mencegah sang pegawai yang akan menyemburkan amarahnya, terlihat dia tersulut emosi oleh Almeron.
Tangan Sasti terangkat menghentikan Ellen yang akan memarahi Almeron. Kedua tangannya kembali menangkup, matanya menatap Almeron dengan senyum kecil.
“Disini kakak sebagai pimpinan kafe meminta maaf atas segala ketidaknyamanan yang adik dapat, kami meminta maaf sebesar-besarnya.”
Sasti mengambil nampan dan mundur secara perlahan. Tersenyum kepada Ellen yang dijawab dengan senyum canggung, senyumnya masih merekah menatap Almeron yang memandangnya kosong.
Kakinya sedikit berlari menuju dapur. Entah kenapa matanya memanas mengingat perkataan Almeron.
“Saya udah bilang kan Bu Bos, ini baru anaknya yang mencaci maki kita. Bagaimana dengan ibunya? Memang orang luar tidak punya sopan santun!”
“Ada apa?”
Sasti menggeleng ke arah pegawainya agar tidak memberi tahu Joko. Memang usaha harus ada rintangan kecil seperti ini. “Kenapa matamu?” tanya Joko.
“Ah enggak, ngiris bawang jadi bergelas-gelas kayak gini.”
“Berkaca-kaca.”
Sasti terkekeh mendengar pembenaran kata dari sepupunya. Matanya beralih lagi ke arah Ellen yang masih memarahi Almeron. Walaupun dia sedikit sakit hati dengan perkataan Almeron tadi, dia masih merasa iba terhadapnya. Bahkan setelah ditunggu selama 5 menit, makanan di depan itu belum tersentuh karena bule yang ditemuinya kemarin masih memarahi Almeron.
Almeron hanya diam, dia tidak memikirkan bibinya yang mash terus berbicara di depannya. Yang dia pikirkan adalah calon mamanya yang berpikiran semakin buruk tentangnya. Tentang dirinya yang tidak memiliki sopan santun terhadap orang yang lebih tua.
“Kalau punya hati baik tuh kayak gini lho, tetep nggak enak sama orang lain,” gerutu Sasti pada dirinya sendiri yang berjalan menghampiri kedua bule berbeda generasi tersebut.
Bahkan Ellen masih memarahi Almeron saat dia sudah duduk di sampingnya. Sasti terkejut bukan main saat mendengar Ellen berbicara bahasa Indonesia lancar, hei jadi kemarin dia dibohongi?
“Bisa bahasa Indonesia?” tanya Sasti tanpa suara. Ellen mengangguk kaku, dirinya masih tidak enak terhadap teman barunya ini.
Sasti menghela nafas sejenak, tangannya menepuk bahu Almeron. “Kok belum dimakan sih, nggak enak ya?” tanya Sasti pelan.
Almeron hanya diam, tangannya meremas ponsel hingga buku-buku jarinya memutih. Terlalu malu menatap sang bidadari.
Sasti mengangkat wajah Almeron agar menatap ke arahnya, bibirnya tersenyum kecil. Tangannya mengambil satu mangkok bakso dan menyuapkannya ke arah Almeron.
“Enak lho ini, kenapa nggak mau? Udah kenyang ya?”
“Dia belum makan dari pagi.”
Sasti menatap Almeron dan Ellen bergantian, seolah berkata benarkah? Melihat wajah penyesalan pada Almeron membuat Sasti tersenyum kecil, kepalanya mengangguk paham.
“Eron makan, kalau udah makan nanti kakak maafin.”
Ellen mengerutkan dahi bingung, bahkan kakak iparnya ini sudah memiliki panggilan sayang untuk keponakannya. Ellen membuka mulutnya kecil melihat Almeron yang patuh terhadap wanita berhijab di depannya ini. Seberapa dekat hubungan mereka?
Sedangkan Sasti tersenyum melihat Almeron mau membuka mulut dan memakan potongan bakso. “Ayo kamu juga makan.” Suruh Sasti terhadap Ellen.
Akhirnya mereka berdua makan dengan tenang, sesekali Ellen meminta maaf atas perkataan Almeron yang mungkin menyakiti hati Sasti. Dia akan memberi pelajaran kepada keponakannya jika sudah sampai di rumah.
“Yaampun iya, iya. Udah aku maafin, kamu makan aja yang tenang.” Sasti berucap dengan gemas kepada Ellen yang terus-terusan meminta maaf atas Almeron.
“Lho udah habis.”
Sasti tidak menyangka bakso berukuran sedang tadi sudah habis masuk kedalam perut Almeron, matanya menatap Almeron yang masih mengunyah dalam diam. Panggilan telepon dari ponselnya membuat Ellen menyingkir sebentar, menyisakan Almeron dan Sasti.
“Kak-”
Sasti menyela perkataan Almeron. “Udah kakak maafin, jangan di ulangi lagi. Mau nambah?” tawar Sasti menunjuk ayam bakar yang belum tersentuh.
Anggukan dari Almeron membuatnya kaget, padahal dia hanya bercanda.
Almeron mengeluh karena tidak dapat mengambil nasi dengan tangan, karena memang nasi bakar disini tidak disediakan sendok. Melainkan air kobokan kecil dengan lemon di dalamnya.
“Gini, nasinya di kepal dulu sama ayamnya. Jari-jarinya rapat, dipegang sama jempol.”
Sasti memperagakan mengambil nasi dengan jari, tetapi yang di dapat hanyalah piring Almeron yang berantakan. Akhirnya Sasti memberikan sendok bekas bakso tadi ke Almeron, Almeron menggeleng melihatnya.
“Mau disuapin pake tangan?!” tanya Sasti tidak percaya.
Akhirnya Sasti menyuapi Almeron dengan tangannya, dengan posisi Almeron sepenuhnya menghadap ke arahnya. Persis seperti ibu yang menyuapi anaknya.
“Nggak suka kulit, nggak usah pake sambal Kak.”
Sasti menyanyangkan kulit ayam berbalur bumbu ini, padahal kulit ayam adalah bagian paling enak dari semua tubuh ayam. Orang-orang tidak normal yang tidak menyukai kulit ayam. Dan soal sambal? Yaampun bahkan dirinya dan sambal tidak bisa dipisahkan.
“Spoiled.”
Almeron menghiraukan ejekan sang bibi yang sudah kembali, matanya fokus ke arah jari-jari lentik yang menyuapinya nasi. Makanan disini memang enak, dia tidak berbohong.
Ellen yang melihat bagaimana perhatiannya Sasti terhadap keponakannya semakin yakin bahwa memang Sasti-lah yang paling ideal untuk menjadi kakak iparnya.
“Kakak makan juga.” Suruh Almeron terhadap Sasti.
Sasti menggeleng pelan. “Kakak puasa.”
Almeron diam sejenak, selama 10 tahun hidupnya dia tidak pernah puasa. Karena memang dia tidak diajarkan oleh siapapun. Bahkan Ellen pun terdiam, dia meringis mengingat bagaimana keluarganya telah sangat jauh terhadap sang pencipta semesta.