Sejak jam 9 pagi hingga jam menunjukkan pukul 11 siang, Sasti belum istirahat dari pekerjaan barunya sebagai juru masak dadakan. Dibantu oleh sang bibi tercinta ternyata juga belum efisien untuk membuat 50 pesanan, belum lagi menu-menu yang harus diganti setiap harinya.
“Bilang dadakan, untung budhe nggak ada acara pengajian hari ini.”
Sedari tadi bibi tercintanya juga tidak berhenti menyalahkannya karena ini, tetapi ketahuilah bahwa sebenarnya dia sangat baik. Ya juga sedikit cerewet, sama seperti anaknya, Joko.
“Iya Bibi, yaampun namanya juga rezeki. Nggak boleh ditolak ya kan?” ucap Sasti dengan tangan sibuk menata kotak makan di bagasi mobil.
“Bukan apa-apa, kamu juga yang repot. Ini belum lagi kamu bawanya ke kantor, apa nggak cape?”
Sasti mengibaskan tangan remeh. “Halah gampang Bi, ini sama Yani juga selesai.”
Sang bibi menggeleng. “Yani juga kuliah, punya urusan lain juga. Nggak bisa setiap saat bantu kamu, cari orang sana buat bantu kirim katering,” tepukan lumayan keras Sasti dapatkan di bahunya, “paham kan Sasti?” tambah sang bibi.
Sasti mengerucutkan bibirnya. “Iya Bi.”
Setelah perdebatan kecilnya dengan sang bibi, Sasti menjalankan mobilnya ke rumah Yani. Sahabatnya itu sudah berjanji untuk membatunya kali ini. Mobilnya terparkir rapi di halaman luas milik Yani. Rumah dengan nuansa pedesaan yang masih sangat kental menyambutnya.
“Buk, habis ibadah?”
Sasti menyalami ibu Yani yang kebetulan baru selesai melaksanakan ibadahnya. Keluarganya terkenal dekat karena urusan bisnis, dan saat orangtuanya disini, orang tua Yani lah yang membantu bisnis yang dijalankannya sekarang.
“Iya. Mau keluar sama Yani?”
Sasti mengangguk kecil. “Iya Buk, sebentar aja kok.”
“Lama juga boleh. Kalian berdua ini kerja terus, sesekali piknik juga nggak papa,” tutur ibu Yani.
“Ibuk ini ngeracunin Sasti terus. Lagian kita kan emang wanita karier ya kan Sas?”
Seruan dari arah belakang membuat mereka membalik badan. Mulut Sasti sedikit terbuka melihat penampilan Yani. Pakaian sedikit terbuka dengan rok di atas lutut hingga memperlihatkan sedikit pahanya.
“Mau kemana pakai pakaian kayak gini?”
Tanya Sasti di dalam mobil dengan Yang berada di sebelahnya. “Kita cuma nganter katering lho.”
Yani berdecak pelan. “Shuttt, gue punya gebetan baru. Lo inget cowok yang dateng ke kafe kemarin?” Sasti mengangguk tanpa bicara.
“Nah, supirnya sumpah ganteng banget! Mau gue gebet supirnya!”
Sasti berusaha mati-matian menahan tawa. “Emang bisa?”
Yani tidak menjawab, dia menjentikkan jari tengah dan telunjuknya mengisyaratkan itu sesuatu hal kecil.
Suasana mobil hening, tidak ada percakapan. Mata Sasti menyipit melihat anak kecil yang sedang bermain basket di halaman rumah besar. Bukankah itu Almeron?
“Ah orang kaya,” ucap Sasti lirih.
“Dia orang baru?”
Yani mengikuti arah pandang Sasti, kepalanya mengangguk. “Bukan orang baru sebenarnya, sering ke luar negeri. Orang kaya, ditambah yang punya rumah juga orang luar. Jadi nggak adaptasi gitu, biasa budaya barat. Individualisme.”
Sasti menganggukkan kepala paham. Sifat Almeron kemarin juga membuktikan budaya luar. Tidak menghargai orang lain dan lebih peduli terhadap diri sendiri.
“Ah jadi males gue.” Yani mengeluh dengan tubuh bersandar di bangku jok.
“Kenapa?”
“Lo lihat anak kecil tadi?” Sasti mengangguk, “Waktu pindahan beberapa hari gue kan ketemu, gue kasih roti. Lu tahu nggak jawabannya gimana? Im sorry aunty, I don’t eat bread.”
“Masalahnya bukan itu Sas, oke gue hargain dia yang nggak makan roti. Tapi setelah itu dia masuk ke rumah makan roti selai kacang, di depan gue! Sampek gue mikir, itu anak jijik sama roti murahan apa ya.”
“Hahaha…” tawa Sasti pecah.
“Sejak hari itu gue juga nggak nyapa dia, nggak senyum. Pokoknya udah kesel gue!” ucap Yani menggebu-gebu, “sakit hati cuy,” tambah Yani.
Sasti menepuk bahu Yani lumayan keras. Bisa-bisanya Yani sakit hati karena anak kecil.
Tidak salah juga Yani berpikir seperti itu, toh itu memang haknya menilai seseorang. Berbeda hal dengannya, pertemuan pertamanya dengan Almeron membuat otak bekerja keras memikir apakah dia hantu atau manusia. Kulit pucat dan mata coklatnya seolah mengingat tentang film horor yang dilihatnya beberapa bulan yang lalu.
Memang barang ekspor memliki kualitas.
Sasti kembali menggelengkan kepala, kenapa dia jadi membanding-bandingkan barang?
“Habis perempatan belok kanan.”
Ucapan Yani hanya diangguki olehnya. Matanya fokus ke arah jalanan yang semakin luas, belum sampai di depan gedung, Sasti memberhentikan mobilnya secara tiba-tiba. Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah Yani, secara bergantian dia melihat gedung dan alamat gedung yang berada di ponsel pintarnya. Seolah berkata, benar yang ini?
“Benar yang ini Yan?”
Yani mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagu. Matanya melotot melihat lokasi yang memang benar-benar ini. “Iya yang ini, rezeki nomplok. Pasti banyak hot daddy disini!” pekik Yani senang.
Sasti menggelengkan kepala heran, dia tidak yakin jika memang ini gedung yang dimaksud. Setelah ditanyai oleh penjaga di depan gerbang, mobilnya dipersilahkan memasuki area gedung. Matanya beredar menatapnya luasnya gedung di depannya. “Luar biasa,” ucap Sasti.
“Aduh maaf mbak, maaf.”
Sasti berucap dengan penuh penyesalan terhadap seseorang yang baru saja menabraknya. Sedangkan Yani menghela nafas pelan, seharusnya yang menabrak yang minta maaf, ini kebalikannya. Sungguh, jika boleh Yani akan menjambak perempuan seksi di depannya ini yang telah menabrak temannya.
“Jangan berdiri disini mbak, banyak orang sibuk!”
Yani menurunkan kedua tangan Sasti yang masih menangkup di depan d**a. Kenapa temannya ini sangat memperhatikan hak orang lain. Lagipula bukan dia yang salah.
“Udah jangan kayak gini, ayok masuk.”
Yani menarik Sasti masuk ke dalam gedung. Kedua pemudi itu berjalan dengan menenteng 25 paket makanan di tangannya masing-masing. Setelah bertanya kepada resepsionis dan menunggu kurang lebih 10 menit, mereka dipersilahkan menuju lantai 3.
Jika kalian berpikiran mereka naik lift, maka kalian salah. Lift sudah penuh dengan para karyawan, sedangkan lift bermodel modis yang berada tak jauh di sebelahnya hanya diperuntukkan untuk orang-orang penting. Karena Sasti penganut uang di atas segalanya, dia memaksa Yani agar berjalan menaiki tangga dengan segala umpatan yang keluar dari bibir Yani.
“Untung lo udah gue anggap saudara Sas, kalo enggak habis lo di tangan gue.”
Sasti tersenyum. “Cuma tiga lantai, udah ngeluhnya jangan berlebihan. Lagipula mulai besok udah ada yang nugas ini katering.”
Dengan nafas putus-putus, Yani bersandar di dinding belakangnya, sedangkan Sasti sudah bertanya kepada penjaga untuk ditaruh dimana makanan ini.
“Saya kurang tahu ya mbak, tapi bisa ditaruh sini aja.” Penjaga itu menunjuk meja panjang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Udah tenang aja Yan, habis ini ke pantai. Masa orang Bali jarang ke pantai, ayo have fun!”
Sasti masih berupaya membujuk Yani agar tersenyum kembali. Dia akui juga lelah naik turun tangga seperti tadi, tapi ya namanya cari uang bisa apa kan ya?
Menempuh perjalanan 30 menit, mereka berdua sampai di pantai. Dengan duduk di atas pasir dengan pandangan laut luas menyapu sepanjang mata membuatnya sedikit tenang. Cari uang yang sesungguhnya memang seperti ini. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu selalu menggantungkan tangan ke arah sang ayah, setelah melihat dan merasakan betapa sulitnya mencari uang, akhirnya Ia sadar.
“Udah dibatalin aja bisnis ini. Gue nggak bisa batu setiap hari Sas, kuliah lo juga gimana?”
Sasti menghela nafas lelah. “Sayang uangnya, lagipula mas Joko udah cari orang.”
Yani menggeleng pelan. “Uang lo tuh udah banyak, ngapain lagi masih cari uang?”
Sasti diam, jari telunjuknya dia tempelkan di bibir mengisyaratkan Yani untuk diam. Yani tidak tahu saja bahwa tujuannya masih banyak yang belum tercapai, dari membangun rumah untuk sang paman di Jawa, membayar biaya kuliahnya, membuka bisnis baru, dan jangan lupakan bahwa pria idamannya sedang menunggu di negeri ginseng.