“Astaghfirullah!”
Sasti kaget bukan main, tubuhnya terjengkal ke belakang hingga hampir jatuh. Beruntung anak kecil tadi memegangi tangannya dengan cukup erat.
Dengan sisa keberanian yang ada, Sasti melepas pegangan anak itu dan mengatur nafas. Matanya bergantian melihat mata anak itu dan kakinya, masih menapak atau tidak. Memperbaiki posisi duduk agar terlihat lebih tenang. Baiklah, dia masih mengingat dengan jelas kata orang pintar dari desanya dulu, jika hantu tidak akan berani menganggu kita jika kita tidak mengganggunya.
“Emh, kamu rumahnya disini?” tanya Sasti pelan.
Anak itu tersenyum dan memberikan tangan kanannya sebagai tanda perkenalan. “Nama aku Almeron ”
Sasti menerima uluran tangan itu dengan kaku. Bibirnya meringis melihat perbedaan warna kulit antara dia dan bahkan telapak tangannya begitu halus.
“Kakak setiap minggu kesini?”
“Eh?”
“Kakak setiap minggu kesini?” tanya Almeron sekali lagi.
“Ah iya, kakak setiap minggu kesini berdoa buat orang tua kakak. Al sendiri kesini kenapa? Rumahnya dekat sini?”
Almeron mengerucutkan bibirnya ke depan. “Eron nggak suka dipanggil Al, udah pasaran. Panggil aja Eron Kak.”
Sasti mengangguk paham, tangannya terulur mengambil daun yang jatuh di kepala Almeron. “Jadi tujuan Eron kesini untuk?”
“Eron kesini juga buat doa, kita sama Kak. Kita anak idaman!”
Entah kenapa Sasti tertawa sendiri. “Oh ya? Karena apa?”
“Jelas kita idaman karena mendoakan orang tua setiap bulan, ini kan sudah tanda berbakti kepada orang tua,” Almeron membawa tangan Sasti agar mengusap kepalanya, “benar kan?” tambahnya.
Sasti sedikit mengerutkan kening melihat tangannya yang menurut ketika dibawa anak kecil yang belum kenal lebih dari 1 x 24 jam ini. Apa karena dia menyukai anak kecil? Mungkinkah semua anak kecil seperti ini? Kepalanya suka di usap?
“Kakak setiap hari berdoa untuk kedua orang tua kakak, dan kesini seminggu sekali setiap hari Kamis.”
Almeron menatap Sasti dengan kedua mata coklatnya, dari atas hingga bawah. Kakak cantik di depannya ini memakai kain panjang yang menutup seluruh tubuhnya, apa yang dipakainya di kepala?
“Kakak muslim, setiap hari melaksanakan ibadah.”
Almeron menganggukkan kepala seolah paham. Dia harus bersikap pintar di depan orang asing, itu kata papanya. Pulang dari sini dia akan menyari tahu apa itu muslim, sebentar, bukankah wanita tua yang selalu berada di rumahnya juga muslim? Baiklah, sebaiknya bertanya saja kepadanya.
“Eron umur berapa?” akhirnya Sasti berani bertanya kepada Almeron. Wajah orang luar sangat terlihat dari diri Almeron, bahkan anak seusia dengannya anak minder.
“Eron sendiri lupa Kak, tapi Eron kelas lima SD.”
Kelas 1 SD berarti sekitar 10 tahun. Bisa digaris bawahi bahwa Almeron berumur sangat belia, tetapi kenapa anak ini sangat berani kepada orang asing? Tidakkah dia takut?
“Kenapa Eron sangat berani kepada orang asing? Tidak takut nanti ada apa-apa?”
Almeron menggeleng dengan tegas. “Kakak orang baik, Eron tahu dari bapak penjaga makam. Katanya Kakak orang baik, dermawan, suka menolong.”
“Oh ya? Kakak penculik lho,” ujar Sasti dengan wajah mengintimidasi.
Bukan wajah takut yang dia dapat, melainkan tawa lebih keras daripada yang tadi.
“Bahkan anak yang akan Kakak culik akan senang hati bersama Kakak. Mana ada penculik yang membawa sepeda listrik? Mana ada penculik yang membawa bunga mawar sebagai senjatanya, bahkan penculik pun akan menangis melihat Kakak.”
Sasti menggelengkan kepalanya heran. Almeron baru berusia 10 tahun, kenapa kosakatanya lebih banyak? Bahkan jawaban tadi tidak terpikirkan olehnya.
“Hahaha bisa aja kamu,” ucap Sasti dengan mencubit hidung mancung Almeron.
“Ayo Kakak antar pulang, rumahmu mana?”
Almeron menggeleng, tangannya menunjuk seseorang yang berada tak jauh dari bangku mereka duduk. “Eron sama Jack Kak, Kakak yang seharusnya Eron antar.”
Sasti kembali dibuat kaget ketika melihat pria bertubuh tegap dengan menggunakan pakaian santai menatap ke arah mereka, kenapa orang-orang suka membuatnya kaget seperti ini?
“Ayo Eron antar, biar sepeda Kakak dibawa sama Jack.”
Sasti menatap Eron. “Siapa Jack?”
“Itu,” ucap Almeron yang kembali menunjuk pria disana. Sasti mensejajarkan tubuhnya dengan Almeron, tangannya mengusap rambut coklat Almeron.
“Jack jauh lebih tua daripada Eron, kenapa Eron memanggilnya dengan hanya sebutan nama?”
“Dia hanya bawahan Papa.”
Sasti menggeleng. “Tidak boleh seperti itu, yang muda harus menghormati yang lebih tua. Panggil paman Jack.”
“Ta-tapi dia hanya pela-”
Ucapan Almeron terhenti ketika Sasti meninggalkan tepukan kecil di kepalanya. Mata coklatnya menatap Sasti yang mulai berjalan meninggalkannya, menaiki sepeda listrik yang Ia bawa. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jari di tangan kecilnya terlihat.
“Kakak tidak suka anak yang tidak sopan terhadap orang tua,” ucap Sasti berhenti di depan Almeron, tangannya kembali merapikan anak rambut yang menempel di dahi Almeron, “tapi kakak percaya Eron anak baik,” tambahnya sebelum berlalu meninggalkannya.
Sasti tersenyum kecil ketika melewati pria tadi, dirinya sedikit mendengus kesal ketika pria itu tidak membalas. Jangankan membalas, bahkan wajahnya sangat datar. Bagaimana bisa ada manusia yang betah tanpa berekspresi seperti itu?
Sedangkan Almeron menatap Jack, pelayannya dengan tatapan tidak suka.
“Jack ayo pulang!”
Pria yang dipanggilnya dengan sebutan Jack tadi mengangguk patuh dan mulai menjalankan mobil mewah, membukakan pintu untuk Tuan Muda. Mobil mewah itu membelah jalanan Bali dengan tidak sabaran dan baru berhenti di depan rumah besar nan mewah.
Kaki kecil Almeron melangkah dengan angkuh tidak menghiraukan sapaan dari beberapa pelayan.
“Al.”
Almeron tetap melangkah maju menuju kamar miliknya.
“Al, papa call you to come here.”
Seorang pria dewasa menyebut namanya dengan tegas, membuat Almeron mau tidak mau harus berhenti di undakan tangga ketiga.
“Papa Al hari ini capek, nanti Al datang ke ruang kerja Papa untuk bicara.” Setelah mengatakan itu Almeron kembali melanjutkan langkahnya, membuat pria disana menghembuskan nafas kesal.
“Mark, Mark. Memang benar dia anak lo, nggak beda sedikitpun.”
Seorang pria yang menjadi rekan bisnis sekaligus teman masa kecilnya itu menahan tawa dengan kepala menggeleng takjub. Membuat pria yang bernama Mark tadi mendengus dengan kesal. “Jangan banyak bicara dan selesaikan pekerjaan ini, aku juga ingin istirahat.”
“Lo itu kecapean dude. Ngurus anak, ngurus kerjaan, ngurus ini itu sendiri. Bahkan kamar gede lo itu, juga lo sendiri yang beresin, lalu pelayan segini banyak buat apa?”
Budi menggeleng melihat Mark memijat kepalanya. “Lo butuh istri dude.”
“Jangan bilang lo masih trauma?”
“Semua wanita sama.”
Budi menggeleng mendengar perkataan Mark. Temannya ini selalu menggaris bawahi semua masalah dengan sudut pandangnya, semua dipukul rata. “Berarti nyokap lo juga sama?”
“Budi!”
Mendengar ucapan tinggi dari Mark membuatnya tertawa. “Jangan terlalu gengsi, nggak semua wanita sama kayak Jessi.”
Mark hanya diam. Menurutnya semua wanita hanya mengincar hartanya saja, tidak ada yang tulus dari hati. Membuat dirinya muak dengan makhluk manja dan cerewet seperti wanita, cukup sekali dalam hidupnya berurusan dengan wanita.
Jika dia menemukan wanita yang memang menurutnya cocok untuk dirinya dan mampu menerima Almeron dengan lapang d**a, dia berjanji tidak akan melepaskannya. Mark berjanji soal itu.
Kembali ke Almeron, mood-nya hari ini kacau karena memikirkan perkataan kakak yang bahkan belum Ia ketahui namanya.
Dari cara memperlakukannya, caranya mengajak bicara, hingga cara mengusap kepala sangat baik dan berperasaan. Perempuan yang dia temui sedang menangis di depan 2 gundukan yang dia duga sebagai makam kedua orang tua kakak itu. Dia ingin, dia ingin menjadikan perempuan itu utuh menjadi miliknya.
Menjadi sosok mama untuknya.