Syifa menepikan motornya di sebuah tempat yang sepi. Ia buka helmnya dan mengusap air mata yang sedari tadi dibiarkan mengalir. Ia tenangkan hatinya sebelum kembali melanjutkan perjalanan, yang ia sendiri tidak tahu mana yang akan dituju.
Ia teringat pada Hanan dan Faqih. Kedua anak itu hidup dengan seorang ayah yang pemarah dan tampak tak peduli dengan anak-anaknya. Syifa merasa miris. Pantas saja selama ini ia melihat Hanan berbeda dengan anak lainnya. Ia yakin kondisi psikis anak-anak Abrar disebabkan oleumih kematian ibunya, ditambah dengan sikap Abrar yang tidak bisa memberi kehangatan pada anak-anak itu.
Mendadak air mata Syifa kembali mengalir mengingat Hanan. Hanya dengannya, anak itu mau berbicara dan bermain. Hatinya sesak. Ingin sekali ia memeluk Hanan saat itu juga. Namun, ia sadar ia tak punya hak untuk melakukan apa pun pada Hanan selain menjadi gurunya di sekolah.
Syifa sudah bersiap untuk menyalakan motornya. Namun, ponsel di saku celananya bergetar. Ia pun mengambil ponselnya dan melihat sebuah nomor tak dikenal di layar. Syifa mengerutkan dahi. Sebab, sangat jarang ia mendapat telepon dari nomor yang tidak dikenal.
“Assalamualaikum,” sapa Syifa setelah ia menerima panggilan tersebut.
“Wa’alaikumsalam, Neng.” Sebuah suara wanita yang cukup lembut terdengar menjawab sapaannya dari ujung telepon. Tak hanya suara tersebut, Syifa juga mendengar suara lain yang sedang berteriak dan menangis. Ia mencoba mengenali suara-suara tersebut.
“Bi Sumi?” tebaknya.
“Iya, Neng. Ini Bi Sumi.”
“Ada apa, Bi?” tanyanya panik. Dari suara yang ia dengar di telepon, ia tahu saat ini Hanan sedang tantrum.
“Neng, Hanan ngamuk. Dia terus manggil-manggil Eneng,” ujar Bi Sumi, yang terdengar parau.
“Memangnya Hanan kenapa, Bi?“
“Hanan mencari Neng Syifa tapi Neng sudah tidak ada di rumah. Dia jadi marah dan ngamuk-ngamuk, Neng. Neng Syifa bisa ke sini?” pinta Bi Sumi dengan suara memelas.
“Tapi, Bi—“
“Tolong, Neng,” potong Bi Sumi. “Kasihan Hanan. Cuma Neng Syifa yang dia mau,” bujuk Bi Sumi.
Hati Syifa terasa teriris mendengar permintaan Bi Sumi, juga suara Hanan yang terus terdengar berteriak. Ia berpikir sejenak untuk memutuskan apakah akan kembali ke rumah Hanan atau tidak. Ia tak ingin bertemu dengan Abrar, tetapi Hanan sangat membutuhkannya. Syifa benar-benar dilanda dilema saat ini.
“Bu Guru, saya mohon. Kasihanilah keponakan saya.” Suara lelaki terdengar di telepon. Syifa tahu betul itu suara Ezra.
“Tolonglah, Bu Guru. Tolong kali ini saja. Hanan dikurung papanya, dan sekarang kami kewalahan membujuknya di kamar. Saya mohon, Bu Guru Syifa. Saya mohon ….” Ezra terus memelas. Di belakangnya, Hanan terus saja melemparkan barang-barang, bahkan sampai memukul-mukul kepalanya sendiri. Bi Sumi sekuat tenaga menahan anak itu, sedangkan Faqih juga turut menangis akibat kekacauan yang terjadi.
Mendengar suasana yang semakin tidak baik, Syifa segera mengambil keputusan.
“Baik. Tunggu saya!” ucapnya dan bergegas melajukan motor kembali ke rumah Hanan.
Di rumah besar itu, Ezra turun dan menghampiri Abrar yang masih terduduk di sofa dengan satu tangan memegangi kepala.
“Hati Kakak buta hingga membuat mata dan telinga Kakak juga tidak berfungsi!” berang Ezra begitu ia berdiri tepat di depan Abrar.
Abrar tak membalas, hanya menatap tajam adiknya itu.
“Hanan dan Faqih menangis-nangis di atas, papanya masih bisa duduk-duduk tenang di sini? Benar-benar tidak punya hati!” geram pemuda itu.
“Tidak ada yang menyuruhmu ke sini, Ezra! Mereka anak-anakku, aku yang punya peraturan di rumah ini!” tegas Abrar, membuat amarah di hati Ezra semakin besar terhadap kakaknya itu.
“Arogan, kasar! Pantas saja Mbak Farah kena penyakit jantung dan mati muda!” sentak Ezra.
Abrar langsung menarik kerah baju Ezra mendengar perkataan adiknya itu. Kemarahan tampak sangat jelas di wajahnya. Sorot matanya seolah-olah ingin menerkam adiknya hidup-hidup.
“Kenapa? Mau pukul aku? Pukul, Kak!” tantang Ezra.
Semakin ditantang, semakin Abrar ingin melayangkan tinjunya ke wajah tampan Ezra. Namun, sebelum kepalan tangannya menyentuh wajah sang adik, seseorang tiba-tiba masuk rumah dan berteriak.
“Hanan!”
Syifa mematung di pintu yang belum ditutup sejak ia pergi, menyaksikan dua kakak beradik bertengkar. Ia tak tahu harus berbuat apa hingga tanpa sadar berteriak memanggil nama anak didiknya.
Ezra menepis kasar tangan Abrar dari kerah bajunya, lalu menghampiri Syifa.
“Ayo, Bu Guru!”
Syifa mengikuti langkah lebar Ezra, melewati Abrar yang menatapnya tajam. Ia tak peduli. Baginya yang terpenting adalah menenangkan anak muridnya.
Syifa terperangah melihat kamar Hanan yang begitu berantakan. Anak sulung Abrar itu melempar semua benda di sekitarnya ke sembarang arah. Di sudut kamar, tampak Bi Sumi memeluk Faqih dengan erat.
“Hanan, ini Bu Syifa!” teriak Ezra dari depan kamar. Namun, anak itu tak peduli. Ia terus melempar barang-barang dan mainannya, hingga tak sengaja sebuah pistol mainan mendarat tepat di kening Syifa.
Semua terkejut, termasuk Hanan yang kini mematung menatap Syifa dengan penuh rasa bersalah.
“Hanan, tolong hentikan. Om tidak mau main ke sini kalau Hanan nakal!” bentak Ezra. Anak itu tampak ingin menangis. Air mata telah menggenang di pelupuk matanya.
“Jangan dimarah,” pinta Syifa pelan pada Ezra. Ia lantas berjalan mendekati Hanan yang tampak kacau.
“Hanan …,” panggil Syifa sambil terus melangkah mendekati Hanan sambil menghindari benda-benda yang berserakan di lantai.
Hanan tak menjawab, ia justru semakin mundur.
“Sini peluk Bu Syifa.” Syifa hendak meraih Hanan, tetapi anak itu justru mendorongnya dengan keras.
“Hanan benci Bu Syifa! Hanan benci semua orang!” teriak Hanan. Kini, air mata anak itu mulai mengalir deras.
Syifa tak ingin kalah. Ia langsung mendekap Hanan meski anak didiknya itu terus meronta.
“Maafin Bu Syifa, Sayang. Maafkan Ibu …,” lirih Syifa di telinga Hanan sambil tetap mendekapnya erat.
Perlahan Hanan mulai tenang meski tangisnya belum reda.
“Hanan anak pintar. Bu Syifa sayang sekali sama Hanan. Maafkan Bu Syifa, ya …,” tutur Syifa lembut, membuat hati Hanan semakin luluh.
Di depan kamar, Abrar yang sudah berdiri di samping Ezra, memperhatikan Syifa dan anaknya dengan hati teriris. Ia teringat bagaimana dulu sang istri memeluk anak-anaknya dan membuat mereka tertawa. Matanya terasa panas dan mulai tampak memerah.
“Kenapa Bu Syifa pergi?” tanya Hanan.
Syifa kini melepaskan pelukannya dan memegang kedua lengan anak itu.
“Maafkan Bu Syifa, ya. Bu Syifa tadi hanya keluar sebentar,” jawabnya.
“Bu Syifa tidak bohong, ‘kan?”
Syifa menggeleng dan tersenyum. Ia sadar telah membohongi anak itu. Namun, ia terpaksa agar Hanan tidak marah lagi.
Hanan memegang lembut kening Syifa yang terkena lemparan mainan. Rasa bersalah terlihat jelas di wajah polosnya yang basah dengan air mata.
“Apa sakit?” tanyanya polos.
Syifa tersenyum dan menjawab seraya bercanda, “Rasanya seperti digigit semut.”
Hanan pun tersenyum mendengarnya, yang diikuti oleh semua orang yang menyaksikan guru dengan murid itu.
“Jangan menangis lagi, ya. Sekarang Bu Syifa di sini. Kita akan main sama-sama,” bujuk Syifa.
Hanan mengangguk dan menghapus air matanya dengan tangan.
“Tapi … bagaimana kita main kalau kamar Hanan berantakan seperti ini?” Syifa memajukan bibirnya seperti anak kecil yang sedang merajuk, sambil melihat setiap sudut kamar Hanan.
Abrar hendak berbicara dan masuk ke kamar itu. Namun, dengan sigap Ezra menahannya dan memberi kode agar kakaknya tetap diam berdiri di sampingnya.
“Kan ada Bi Sumi,” jawab Hanan sambil melihat orang tua yang tengah memeluk adiknya itu.
“Bi Sumi lagi gendong adik Faqih. Bagaimana kalau Hanan dan Bu Syifa rapikan semuanya sambil kita main?”
“Om Ezra boleh ikut?” celetuk Ezra.
Hanan tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk.
“Ayo kita mulai? Satu … dua … ti—“
“Papa juga mau ikut!” Abrar masuk dan memegang sebuah mobil mainan yang terletak tak jauh dari kakinya.
Semua orang di dalam kamar itu terperangah melihatnya.
“Semakin banyak orang akan semakin cepat selesai. Nanti kita bisa main di luar kalau sudah,” ujar Syifa. Semuanya setuju. Mereka pun bergegas mengumpulkan barang-barang dan mainan Hanan, dan meletakkan kembali di tempatnya.
Syifa memandang Bi Sumi dan tersenyum. Faqih juga mulai ceria dan ingin ikut mengutip mainan di lantai.
Suasanya di kamar Hanan terasa ceria dan hangat. Semua orang berebut benda dan mainan di lantai untuk di susun kembali. Tak sengaja, tangan Syifa dan Abrar saling bersentuhan ketika mereka hendak mengambil benda yang sama. Keduanya pun menoleh hingga pandangan mereka bersirobok.
Abrar tak lagi menatapnya dengan tajam, melainkan dengan sebuah tatapan yang sulit untuk diartikan. Antara rasa terkejut, terima kasih, juga maaf yang sulit ia ungkapkan.
Suasana canggung mendadak tercipta di antara keduanya. Syifa tersadar dan segera berdiri, membiarkan Abrar mengambil mainan itu. Ia lalu kembali mengambil benda lainnya bersama Hanan. Sementara, Abrar menatap punggung Syifa dan mainan di tangannya bergantian. Tampak seulas senyum tipis di wajah tampan Abrar.
Di belakangnya, Ezra terus memperhatikan sang kakak dan guru cantik berhati lembut itu. Ia lalu mendekati Syifa dan menggodanya dengan mainan berbentuk ular yang tampak seperti asli.
Syifa menjerit saat Ezra menggantung ular-ularan tersebut di hadapannya. Ezra lantas tertawa keras melihat ekspresi Syifa yang sangat menggemaskan.
“Cuma mainan, Bu Guru. Takut sekali,” ledek Ezra sambil menggoyang-goyangkan ular-ularan tersebut di depan Syifa.
“Tetap saja geli dan bikin kaget!” seru Syifa.
Ezra justru semakin gemas dan mendekatkan mainan tersebut ke wajah Syifa hingga gadis itu berlari. Aksi kejar-kejaran pun terjadi di kamar Hanan. Anak itu juga turut berlari, mengejar Ezra agar berhenti mengganggu gurunya.
Abrar mematung melihat aksi kejar-kejaran tersebut. Kakinya hendak bergerak mengikuti mereka. Namun, ia urungkan dan kembali menyusun barang-barang Hanan. Sementara, Bi Sumi hanya tersenyum memperhatikan majikannya beserta Ezra dan Syifa, yang tampak seperti sudah kenal lama.
Tak butuh waktu lama untuk membereskan semua mainan dan barang-barang di kamar Hanan karena semua orang di rumah itu ikut andil. Kini, kamarnya kembali rapi dan bersih seperti sedia kala.
“Sekarang kamar Hanan sudah rapi lagi. Kita bisa main, deh!” ujar Syifa sambil memperhatikan seluruh sudut kamar Hanan.
“Tapi Hanan lapar, Bu.”
“Ayo makan. Tadi Bi Sumi udah masak ayam goreng untuk Hanan dan Faqih,” sahut Bi Sumi.
“Tidak mau! Hanan bosan makan ayam,” jawab anak itu.
“Hanan, Bi Sumi sudah masak, kamu harus makan!” bentak Abrar.
“Hanan tidak mau!” teriak anak itu tidak mau kalah, dengan ekspresi seperti menantang sang ayah.
“Kamu!” Abrar hendak marah, tetapi Syifa dengan sigap meraih Hanan dan menawarkan opsi lain.
“Hanan mau makan nasi goreng, tidak? Bu Syifa jagoloh bikin nasi goreng yang enak. Mau?” bujuknya.
“Pakai sosis!” sambut Hanan dengan wajah semringah. Syifa melirik Bi Sumi, yang dijawab dengan anggukan oleh wanita paruh bayah itu, seolah-olah mengerti apa yang dikhawatirkan Syifa.
“Lets go!”
Semua orang kini turun menuju dapur. Bi Sumi dan Syifa bersiap untuk memasak, sedangkan Abrar, Ezra, beserta Hanan dan Faqih duduk di kursi makan menunggu makanannya siap.
“Saya butuh bawang merah, putih, telur, dan sosis, Bi,” bisiknya pada Bi Sumi. Bi Sumi pun menyiapkan bahan-bahan sederhana yang dibutuhkan Syifa.
Selelah Bi Sumi menyiapkan bahannya, bergegas gadis itu mengiris bawang dan sosis. Ia akan membuat nasi goreng bawang dengan campuran sosis dan telur. Nasi goreng itu mengingatkannya akan masa-masa di mana ia dengan sang nenek sangat miskin hingga sehari-hari hanya bisa makan nasi yang digoreng dengan bawang, tanpa ada lauk dan sayuran. Tanpa sadar air matanya menggenang di pelupuk kala mengingat masa-masa itu.
“Kamu nangis?” tanya Ezra yang sedari tadi tak lepas memperhatikan Syifa.
Syifa mendongak dan menyadari bahwa kini ia sedang jadi pusat perhatian. Semua orang memperhatikannya menyiapkan makanan.
“Tidak. Mata saya pedih mengiris bawang,” alasan Syifa.
Ezra pun mengangguk percaya. Sedangkan Abrar hanya diam memperhatikan gerak gerik Syifa.
Tak berselang lama, nasi goreng tersebut selesai dimasak. Syifa segera menyajikannya di dua piring yang berbeda.
“Ini untuk Hanan, ini untuk Faqih.”
“Kenapa cuma dua? Untuk saya mana, Bu Guru?” protes Ezra dengan gaya manjanya.
“Maaf. Cuma untuk anak-anak.”
“Nasi goreng kok putih?” celetuk Abrar, heran melihat tampilan nasi goreng buatan Syifa.
“Ini namanya nasi goreng bawang, Pak. Tanpa kecap dan cabai, jadi warnanya putih,” jawab Syifa.
“Apa rasanya?” Abrar tampak meragukan rasa masakan Syifa.
“Bapak coba saja.”
“Biar kucoba!” Tanpa diminta, Ezra langsung menyendek nasi goreng ke mulutnya. “Enak sekali, Bu Guru!” pujinya, membuat Syifa tersenyum senang.
“Tidak sopan kamu, Ezra!” sentak Abrar.
“Kakak tidak mau coba, ya aku saja yang mencobanya,” balas Ezra. Abrar hanya menatapnya dengan tajam.
Melihat dua pria dewasa yang justru tampak seperti anak kecil itu, Syifa segera menggeser piring mendekati Hanan.
“Sini Hanan makan sama Bu Syifa. Adek Faqih juga, iya?” tanya Syifa. Namun, Faqih masih tampak takut padanya dan memeluk Bi Sumi dengan erat.
“Biar Bi Sumi saja yang suapin Faqih. Neng Syifa bisa suapin Hanan,” ujar Bi Sumi.
Syifa mengangguk. Ia menyuapi Hanan sembari mengajak anak itu bercerita tentang hal-hal yang disukainya. Abrar yang duduk di hadapan mereka, seketika teringat akan sang istri. Bayang-bayang istrinya yang sedang menyuapi Hanan, menjelma dalam sosok gadis yang beberapa saat lalu ia perlakukan dengan tidak sopan.
“Jadilah pengasuh anak-anakku,” ujarnya tiba-tiba. Namun, kali ini ia berucap dengan lembut, layaknya memohon pada seseorang, membuat Syifa, Ezra, dan Bi Sumi terkejut mendengarnya.