Seperti Papa dan Mama

1980 Kata
Syifa termenung di kamarnya yang mungil. Ia teringat akan tawaran Abrar sebelum meninggalkan rumah itu. Lelaki itu menawarkan pekerjaan sebagai pengasuh Hanan dan Faqih dengan gaji yang jauh lebih besar dibandingkan dengan gajinya sebagai guru TK. Bahkan, Abrar tetap mengizinkannya menjadi guru, dan mengasuh kedua anaknya sepulang mengajar. Tawaran tersebut membuat Syifa bimbang. Di satu sisi, ia tidak ingin meninggalkan sang nenek yang sering sakit. Selain itu, ia juga takut sekolah melarangnya menjadi pengasuh dari salah satu anak didiknya. Namun, gaji yang ditawarkan Abrar benar-benar ia butuhkan untuk biaya pengobatan nenek. Gadis itu benar-benar bingung sekarang. Ia pun memutuskan untuk salat istikharah, memohon petunjuk yang terbaik pada Allah. *** “Nenek, ayo sarapan!” teriak Syifa di dapur sambil mengisi dua gelas dengan air putih. Ia sudah siap menyajikan nasi goreng dengan telur dadar untuk ia dan nenek pagi ini sebelum berangkat mengajar. “Kenapa Nenek belum ke sini, ya?” gumam Syifa. Lama tak mendapat sahutan dari sang nenek, Syifa pun menuju kamar neneknya untuk memanggil orang tua itu untuk sarapan. Alangkah terkejutnya Sifa saat melihat neneknya terbaring lemah di kasur. “Nenek! Nenek kenapa?” Syifa meletakkan telapak tangannya di kening sang nenek yang terasa sangat panas. Napas Nek Imah terasa berat, matanya tertutup rapat, membuat Syifa sangat panik. Ia mencoba membangunkan neneknya, tetapi wanita itu tetap tidak memberikan respons. Bergegas Syifa berlari keluar untuk meminta pertolongan tetangga. Nek Imah sudah berada di rumah sakit dengan jarum infus di tangannya. Syifa duduk di kursi samping brankar sambil terus memegangi tangan sang nenek. Ia menangis melihat kondisi neneknya yang belum sadarkan diri. Penjelasan dokter tentang sakit neneknya pun terus terngiang. “Jantungnya lemah. Mungkin Nek Imah punya riwayat jantung. Kita perlu memeriksa kondisinya lebih lanjut,” jelas dokter sebelum keluar dari IGD. Syifa benar-benar syok mendengarnya. Selama ini, ia tidak pernah tahu perihal kesehatan jantung neneknya. Ia hanya tahu kalau sang nenek sering jatuh sakit dan terkadang pingsan secara mendadak. “Maafkan Syifa, Nek. Maafkan Syifa. Syifa kurang memperhatikan Nenek ...,” isaknya sambil mengusapkan punggung tangan neneknya di pipi. Perlahan mata tua itu terbuka. Sayup-sayup ia melihat sang cucu yang menangis di sampingnya. “Syifa, cucuku ....” “Nenek! Nenek sudah sadar? Alhamdulillah!” pekik Syifa bahagia. Ia segera menghapus air matanya dan memeluk Nek Imah. “Nenek tidak apa-apa, jangan menangis,” ujar Nek Imah. Syifa menggeleng. Ia tahu betul neneknya tidak sedang baik-baik saja. “Maafkan Syifa, Nek. Seharusnya Syifa lebih memperhatikan Nenek ....” “Kamu sudah sangat memperhatikan Nenek,” lirih Nek Imah. “Dokter bilang jantung Nenek lemah. Syifa takut ....” Gadis itu semakin terisak, sedangkan Nek Imah hanya tersenyum melihatnya, seolah-olah semua baik-baik saja. “Itu karena Nenek sudah tua. Kamu tidak usah khawatir,” pinta neneknya dengan lembut. “Tapi Nenek harus tetap diperiksa lagi.” “Tidak perlu, Sayang. Besok juga Nenek sudah bisa pulang,” lirih Nek Imah. Ia tidak ingin terlalu membebani cucunya dengan sakit yang selama ini diderita. Bukan Nek Imah tidak tahu bahwa selama ini ia menderita penyakit jantung. Namun, ia menutupinya agar sang cucu tidak perlu khawatir dan bisa beraktivitas dengan baik tanpa mencemaskannya. “Tidak, Nek. Syifa mohon, demi kesehatan Nenek, demi Syifa.” Gadis itu bersikeras. Nek Imah paham betul karakter cucunya. Jika sudah begitu, Syifa tidak akan menyerah dan akan terus membujuknya untuk melakukan pemeriksaan. Namun, ada kekhawatiran lain di hatinya, yakni biaya yang harus dikeluarkan sang cucu untuk pengobatannya. “Tapi—“ “Tidak ada tapi, Nek. Demi Syifa, cucu Nenek ....” *** Ia menemani neneknya di rumah sakit dan sudah minta izin agar tidak mengajar. Syifa tidak tahu kapan neneknya diperbolehkan pulang. Selama itu pula, ia akan terus menemani sosok orang tua yang sudah seperti ibunya sendiri itu di rumah sakit. “Bu Syifa!” Pintu kamar tempat Nek Imah dirawat terbuka, disusul oleh teriakan seorang anak yang begitu Syifa kenal. Ia yang baru selesai menyuapi neneknya makan siang pun menoleh. “Hanan? Pak Abrar?” gumamnya, sedikit terkejut dengan kedatangan ayah dan anak itu di rumah sakit. Tanpa menunggu perintah, Hanan segera berlari menghampiri Syifa, sedangkan Abrar berjalan mengikutinya. “Kenapa Hanan bisa di sini?” tanya Syifa. “Hanan cari-cari Bu Syifa. Kenapa Bu Syifa tidak mengajar?” Anak itu malah kembali bertanya pada gurunya dengan suara yang sedikit keras. “Hanan, pelankan suaramu!” tegas sang ayah. “Maafkan saya jika tiba-tiba ke sini. Salam, Bu. Saya Abrar, ayahnya Hanan,” ujar Abrar pada Nek Imah. Nek Imah tersenyum ramah, meski penasaran dengan ayah dan anak yang mencari cucunya hingga ke rumah sakit. “Saya neneknya Syifa,” sahut Nek Imah, yang disambut dengan senyum oleh Abrar. Senyum yang baru pertama kali dilihat oleh Syifa di wajah duda beranak dua itu. “Siapa yang kasih tahu Hanan kalau Bu Syifa di sini?” tanya Syifa pada muridnya. “Bu Raya,” jawab Hanan. “Katanya Bu Guru di rumah sakit, jadi Hanan bersikeras ingin ke sini juga. Maaf jika kami mengganggu dan tidak memberi kabar lebih dulu,” ujar Abrar yang tampak merasa tidak enak atas kehadirannya dan Hanan. “Tidak apa-apa. Jika ingin mengobrol, silakan,” jawab Nek Imah. Syifa pun paham atas situasinya. Ia meminta izin neneknya untuk keluar mengajak tamu-tamunya berbicara. Di depan kamar, Syifa dan Abrar duduk di kursi panjang yang menghadap taman, sedangkan Hanan duduk di antara keduanya. “Hanan kangen Bu Syifa,” ucap anak itu seraya memeluk lengan sang guru. Syifa tersenyum seraya mengelus kepala muridnya. “Bu Syifa juga kangen.” “Hanan tidak mau sekolah kalau tidak ada Bu Syifa ...,” rengek anak itu. “Hanan ... Hanan sayang sama Bu Syifa?” tanya Syifa lembut. Anak itu mengangguk. “Jika Hanan sayang Bu Syifa, Hanan tetap harus sekolah ya walau Bu Syifa tidak ada,” lanjut Syifa. Ucapannya terdengar seperti kalimat perpisahan di telinga Hanan dan Abrar. “Kamu tidak mengajar lagi?” Refleks Abrar bertanya, membuat Syifa tertawa kecil. Melihatnya, Abrar menjadi salah tingkah. “Saya masih mengajar, Pak. Apakah terdengar seperti saya tidak akan mengajar lagi?” “Begitulah,” jawab Abrar tanpa memandangnya. Ia alihkan pandangan pada bunga-bunga yang tumbuh di taman, di tengah rumah sakit ini. “Jika tidak mengajar ....” Abrar menghentikan kalimatnya, lalu menoleh untuk melihat respons Syifa. Syifa mengerutkan dahi tanda bertanya apa yang akan dikatakan lelaki di sampingnya. “Mau jadi pengasuh Hanan dan Faqih?” Pertanyaan Abrar membuat Syifa nyaris kehilangan kata-kata. Apakah lelaki itu senang jika Syifa tidak lagi mengajar, agar bisa menjadi pengasuh anak-anaknya? “Ma-maaf, Pak, saya—“ “Tidak apa-apa. Saya hanya memberikan penawaran jika kamu mau.” Syifa mengangguk ragu. “Tapi Bu Syifa besok ke sekolah, kan?” tanya Hanan. “Belum tahu, Sayang. Jika nenek Bu Syifa sudah sehat, insyaa Allah Bu Syifa akan langsung mengajar.” “Maaf, nenek kamu sakit apa?” tanya Abrar penasaran. “Untuk saat ini Nenek hanya demam. Tapi, dokter bilang Nenek lemah jantung dan harus dilakukan pemeriksaan.” “Jantung?” tanya Abrar lagi. Kata-kata lemah jantung membuatnya seketika teringat akan kematian sang istri yang disebabkan oleh penyakit tersebut. Ia tak ingin mendengar kabar yang sama dari orang yang dikenalnya. Syifa, meski baru beberapa kali bertemu, tetapi ia mengakui bahwa gadis itu telah menjadi bagian dari orang-orang yang ia kenal, meski sebatas sebagai guru anaknya. Syifa mengangguk menanggapi respons Abrar. “Kapan akan diperiksa?” Abrar tampak semakin penasaran. “Belum tahu, Pak. Saya masih menunggu instruksi dokter. Mungkin secepatnya.” “Saya punya teman dokter bedah jantung. Jika kamu mau, saya bisa mengenalkannya dan membantumu untuk mengobati nenekmu,” ujar Abrar. Syifa mengerutkan dahi mendengar penjelasan Abrar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia juga tidak ingin berutang budi pada orang lain. “Bagaimana?” tanya Abrar yang melihat Syifa hanya diam. “Terima kasih atas bantuannya, Pak. Mungkin saya akan mengobati Nenek di sini dulu,” jawab Syifa. Abrar mengangguk. “Bu Syifa sama siapa di sini?” tanya Hanan yang sejak tadi hanya diam mendengar percakapan ayah dengan gurunya. “Sama Nenek.” “Yang menemani kamu?” Kali ini Abrar yang bertanya. “Tidak ada, Pak. Saya hanya sendiri, sejak kecil dirawat oleh Nenek. Kami hanya berdua.” Abrar tak ingin lagi bertanya setelah mendengar pengakuan Syifa. Ia memilih diam dan kembali menatap bunga-bunga di taman rumah sakit. “Papa dan Mama Bu Syifa di mana?” tanya Hanan polos. “Hanan, kalau sudah puas ketemu Bu Syifa, ayo pulang. Paa masih banyak pekerjaan.” Abrar mencoba mengalihkan perhatian anaknya agar tidak bertanya lebih jauh tentang orang tua gadis itu. “Hanan mau temani Bu Syifa, boleh?” “Hanan ...!” tegur sang ayah. “Boleh. Tapi kalau Hanan sudah besar, ya.” “Hanan mau sekarang ....” Anak itu mulai merengek. “Hanan, jangan macam-macam!” Abrar tampak mulai marah dengan sikap sang anak. Syifa yang merasa tak enak pun berusaha membujuk anak itu. “Sekarang Hanan pulang dulu, ya. Ganti baju, makan siang. Jangan telat makan biar tidak sakit perut. Ya? Hanan harus sehat biar bisa temani Bu Syifa.” Anak itu pun mengangguk. “Anan pintar ....” Syifa mengusap kepala muridnya. “Kalau begitu kami permisi dulu. Maaf jika sudah mengganggu.” “Tidak apa-apa, Pak. Saya senang ada murid yang mencari saya,” jawab Syifa. “Terima kasih, ya, Hanan. Jangan lupa pesan Bu Syifa. Makan dan belajar yang baik, ya?” Hanan lagi-lagi mengangguk meski ekspresinya tidak menunjukkan apa pun. “Sampaikan salam saya untuk Nenek.” “Iya, akan saya sampaikan. Sekali lago terima kasih, Pak.” Abrar mengangguk dan membawa Hanan meninggalkan rumah sakit. “Kamu sangat dekat dengan murid-muridmu, ya, Nak,” ucap Nek Imah saat Syifa kembali masuk menemaninya. “Syifa hanya berusaha menjadi guru yang baik, Nek. Tapi Syifa tidak menyangka Hanan akan datang ke sini mencari Syifa.” “Nenek lihat, sepertinya anak itu sangat sayang denganmu.” Syifa mengangguk dan tersenyum. Ia tak ingin bercerita lebih mengenai Hanan dan ayahnya pada sang nenek. *** Bintang bertaburan menghiasi langit. Syifa duduk di bangku panjang, mendongak untuk menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan di malam yang gelap. Sementara, neneknya sudah terlelap di brankar. Esok, akan dilakukan pemeriksaan jantung orang tua itu. “Bu Syifa!” Syifa menoleh ke arah sumber suara. Ia terkejut melihat Hanan yang tengah berlari ke arahnya sambil membawa sebuah bungkusan dengan merek ayam goreng terkenal. Di belakangnya, Abrar berjalan mengikuti dengan membawa bungkusan dari restoran yang sama. “Hanan?” Anak itu mengangguk dan meletakkan bungkusan di samping tempat duduk Syifa. “Kenapa malam-malam ke sini?” tanya Syifa heran. “Bu Syifa belum makan, kan? Ayo makan dengan Hanan,” ajak anak itu. Syifa menoleh ke arah Abrar untuk mencari jawaban. “Hanan minta diajak ke sini. Katanya mau makan malam dengan kamu. Jika tidak, ia tidak mau makan.” Syifa berusaha tersenyum meski merasa sedikit canggung. Ia tak pernah menyangka Hanan akan sampai seperti ini padanya. “Bu, ayo makan. Ini Hanan beli untuk kita makan di sini,” ajak anak itu. Hanan mengeluarkan semua isi bungkusan. Terdapat tiga paket bento, tiga minuman bersoda, tiga kentang goreng, tiga burger, juga tiga minuman float. Syifa terperangah melihat semua makanan itu. Tak mungkin ia mampu menghabiskan semuanya. Ia lalu menoleh pada Abrar yang masih berdiri tak jauh di depannya. “Hanan yang minta. Kita bisa bagikan ke orang lain agar tidak ada yang tersisa,” kilah Abrar, seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran Syifa. Mereka pun membagikan sebagian makanan kepada pengunjung pasien di kamar sebelah sebelum menyantap makanannya sendiri. Ketiganya kini duduk seperti siang tadi, di bangku panjang depan kamar Nek Imah dirawat. “Seperti Papa dan Mama,” celetuk Hanan tiba-tiba, membuat Syifa memandang heran, sedangkan Abrar terbatuk akibat tersedak. Syifa segera menyodorkan minuman pada Abrar yang langsung diambil oleh lelaki itu dan menyeruputnya beberapa teguk. Tanpa sadar, keduanya kini saling menatap di bawah sinar rembulan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN