Dengan motor butut yang ia beli sebelum mengajar TK, dari hasil bekerja apa saja, mulai dari mengajar privat, menjaga toko, dan menjual kue buatan tetangganya, Syifa meluncur ke rumah Hanan. Sebuah kawasan elit dengan rumah-rumah mewah yang berdiri megah di sepanjang jalan.
Ia sempat ragu saat berdiri di depan gerbang yang cukup tinggi dari rumah yang bercat putih di depannya. Syifa mencoba memastikan lagi alamat anak didiknya dari data di sekolah.
“Tidak salah ini rumahnya.” Ia pun memukul gerbang dengan kunci motornya.
Tak lama, seorang wanita paruh baya menghampiri.
“Nyari siapa, Neng?” tanyanya ramah, tetapi belum membuka pintu gerbang.
“Apa benar ini rumah Hanan, Bu?”
“Iya, benar.”
“Saya gurunya Hanan. Sa—“
“Oo Bu Syifa, ya?” Wajah ramah orang tua tersebut tampak antusias begitu mendengar kata ‘gurunya Hanan’.
“I-iya, Bu,” jawab Syifa gugup sekaligus heran.
“Mari masuk.” Wanita itu membuka gerbang dan mempersilakan Syifa untuk mengikutinya ke dalam rumah. Berbagai macam bunga menghiasi halaman rumah yang tampak luas itu. Ada kolam ikan dan air mancur di tengahnya. Syifa tersenyum senang melihat pemandangan indah itu. Sebuah taman penuh bunga dengan kolam ikan, merupakan taman impiannya dari sebuah rumah, meski tak sebesar rumah orang tua Hanan.
“Maaf, Bu.” Ucapan Syifa membuat wanita itu berhenti dan menoleh padanya.
“Panggil saja saya Bi Sumi.”
“Hmm … Bi Sumi, apa Hanan dan pamannya ada di dalam?”
“Iya. Mereka sudah menunggu Bu Guru dari tadi,” ucap pelan Bi Sumi. Wajahnya tampak senang dengan kehadiran Syifa. “Ayo!”
Syifa mengikutinya kembali memasuki rumah besar tersebut. Sebuah ruangan yang sangat luas menjadi pemandangan pertama begitu pintu rumah dibuka. Tampak beberapa guci, mulai dari ukuran kecil hingga besar, menghiasi ruangan tersebut. Juga tanaman hidup di beberap sudut ruangan.
Langkahnya mendadak terhenti saat seorang lelaki bertubuh tinggi dengan kaus hitam dan celana jin turun dari tangga dan berjalan menghampirinya.
“Kamu gurunya Hanan, kan?” tanya Abrar yang sudah berdiri di hadapan Syifa.
“I-iya, Pak,” jawab Syifa gugup.
“Apa Hanan melakukan kesalahan?”
“Ti—“
“Bu Guru!” Panggilan yang cukup keras membuat semua orang menoleh ke atas. Di lantai dua, Ezra yang sedang menggendong anak berusia tiga tahun, melambaikan tangan pada gadis itu. Hanan yang berdiri disampingnya turut melakukan hal yang sama. Mereka lalu turun menghampiri Syifa.
“Terima kasih sudah datang, Bu Guru. Kenalin ini namanya Adik Faqih,” sapa Ezra sambil menyodorkan tangan balita yang digendongnya.
Namun, saat Syifa hendak menyambutnya, anak itu malah memeluk Ezra dengan erat dan tampak ketakutan.
Melihat Syifa yang tampak kikuk dan merasa bersalah, Ezra pun segera menjelaskan. “Faqih seperti Hanan, sulit berbaur dengan orang yang baru dilihat.”
Syifa mengangguk dan tersenyum.
“Ayo, Bu Syifa!” Hanan langsung menarik tangan Syifa untuk mengikutinya menaiki anak tangga.
“Kita mau ke mana, Hanan?” tanya Syifa bingung sambil terus mengikuti langkah anak didiknya itu.
Ezra menyusul di belakangnya sambil tetap menggendong Faqih. Sementara, Abrar mengerutkan dahi melihat apa yang terjadi di dalam rumahnya. Bi Sumi yang memperhatikan keluarga itu hanya tersenyum.
“Ini kamar Hanan,” ujar anak itu sambil membuka pintu kamarnya. Sebuah kamar yang cukup luas untuk ukuran anak seusia TK. Bahkan, kamar itu nyaris sama besarnya dengan rumah Nek Imah. Ada sebuah meja belajar, lemari pakaian, rak buku, sebuah sofa memanjang, juga beberapa mainan di dalam kamar itu.
Syifa masih tak mengerti untuk apa Ezra menyuruhnya datang ke rumah Hanan, apalagi ke kamar anak itu.
“Kenapa masih berdiri di pintu, Bu Guru? Ayo masuk!” Ezra yang kini telah duduk di sofa, menurunkan Faqih. Balita itu langsung berlari meraih mobil-mobilan di sudut kamar. Dengan kalimat yang masih belum jelas terdengar, anak itu menirukan suara mobil yang sedang melaju.
Meski ragu, Syifa akhirnya menuruti kemauan Hanan dan Ezra. Ia pun masuk ke kamar itu dan mendekati Ezra.
“Bukannya kamu masih sakit?” tanya Syifa pada Ezra yang tampak begitu sehat dan ceria bermain bersama dua ponakannya.
Ezra menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan ekspresi bersalah. Syifa segera menangkap apa maksudnya. Mendadak ia merasa marah. Demi tanggung jawab, ia rela meluangkan waktu siang ini hingga harus bergadang semalaman demi menyelesaikan pekerjaannya. Namun, semua hanya akal-akalan lelaki yang baru dikenalnya itu.
Melihat Syifa hanya terdiam sambil menatapnya tajam, Ezra bergegas mencari alasan.
“Pagi tadi masih sakit. Iya, kan, Hanan?” Ezra berusaha mencari pembelaan. Namun, Hanan justru menggelang.
“Kenapa harus berbohong?” tanya Syifa pelan. Matanya yang tampak memerah membuat Ezra semakin merasa bersalah.
“Sa-saya … hanya ingin—“
“Bu Syifa, ayo main sama Hanan.” Permintaan Hanan membuat Ezra tak melanjutkan kalimatnya. “Bu Syifa gak mau main sama Hanan?” tanya anak itu lagi saat melihat gurunya hanya diam.
Melihat ekspresi muridnya yang begitu memelas, Syifa tak tega untuk pergi dari rumah itu. Apalagi, selama di sekolah, Hanan hanya mau berbicara dengannya. Ia akan merasa sangat jahat jika tak mengindahkan permintaan muridnya.
Ia pun tersenyum dan mengangguk, melupakan kemarahannya pada Ezra.
“Hanan mau main apa?” tanyanya lembut.
“Ini!” Hanan mengeluarkan puzzle berukuran besar dari dalam laci mainannya.
“Ayo kita main sama adik Faqih,” ajak Syifa. Namun, saat ia mendekati Faqih, balita tersebut malah menangis kencang dan tampak ketakutan.
Syifa tak mengerti apa yang terjadi. Semakin ia ingin menenangkan anak itu, semakin kencang tangisnya. Syifa semakin bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ezra segera menggendong Faqih dan menghiburnya dengan berbagi mainan yang masih berserakan di lantai.
“Apa yang terjadi, Ezra?!” Sebuah suara keras dari arah pintu membuat Syifa terkejut. Abrar berdiri dengan aura yang membuatnya semakin tersudut. Aura kemarahan jelas terlihat di wajah tampan duda beranak dua itu.
“Gak ada apa-apa, Kak. Faqih cuma belum terbiasa dengan Syifa,” sahut Ezra. Namun, sang kakak tak menggubrisnya.
“Kamu, ikut saya!” perintah Abrar dengan tegas pada Syifa.
Abrar duduk tegak di sofa ruang tengah, dengan kedua tangan terpaut di atas paha. Ia menatap tajam pada Syifa yang berdiri di hadapannya dengan tertunduk takut.
“Apa ada masalah di sekolah dengan Hanan?” tanya lelaki itu dengan sikap dingin dan mengintimidasi. Ia bahkan tak mempersilakan Syifa untuk duduk.
“Tidak ada, Pak,” jawab Syifa. Meski terdengar lembut, tetapi hatinya berdetak cepat. Mendengar suara Abrar saja membuatnya tak berani menatap wajah lelaki itu.
“Lalu, apa sebenarnya tujuanmu ke sini?”
“Saya hanya bertanggung jawab, Pak.”
“Tanggung jawab apa? Apa yang sudah kamu lakukan pada Hanan?” Abrar tampak semakin curiga, sementara Syifa semakin bingung menjelaskannya bahwa ia bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap Ezra.
“Sa-saya ….”
“Katakan dengan cepat. Seorang guru harus bisa menjelaskan dengan baik!” sindir Abrar yang tak sabar menunggu Syifa berbicara.
“Ezra yang minta Syifa datang, Kak!” sahut Ezra dari lantai dua. Abrar dan Syifa mendongak untuk melihat lelaki yang kini berjalan menuruni tangga untuk menghampiri Syifa dan kakaknya. Sementara, di kamar sudah ada Bi Sumi yang berusaha menenangkan Faqih yang masih terus menangis.
“Jangan salahkan gurunya Hanan. Ezra yang minta Bu Guru Syifa untuk datang ke sini,” jelas Ezra. “Bu Guru, ayo duduk,” pinta Ezra sambil memegang pergelangan tangan Syifa hingga membuat terkejut. Reflex Syifa menarik tangannya, dan merasa bersalah setelahnya.
“Ma-maaf,” ucapnya pada Ezra.
‘Apa dia tidak pernah dipegang laki-laki?’ batin Ezra yang melihat keterkejutan di wajah Syifa.
“Siapa yang menyuruhmu untuk meminta gurunya Hanan ke rumah ini, Ezra?!” Kali ini sorot kemarahan di mata Abrar ia arahkan ke adiknya.
Ezra yang baru duduk di sofa lantas menjawab dengan santai, “Tidak ada.”
“Lantas apa maksudmu?” Abrar yang tak bisa menahan emosi, kini berdiri dan menatap tajam pada Ezra. Syifa yang masih berdiri, merasa semakin tidak enak dengan situasi tersebut. Ia bingung harus berkata apa. Ia takut salah bicara, yang akan membuat lelaki tempramen di hadapannya akan semakin marah.
“Saya hanya ingin Bu Syifa bermain dengan Hanan. Itu saja.”
“Tidak ada yang pernah betah dengan Hanan!” desis Abrar.
“Syifa berbeda!” sahut Ezra. Kedua kakak beradik itu kini memandang Syifa. Gadis itu semakin kikuk ditatap oleh dua lelaki yang sedang bersitegang karenanya.
“Hanan menyukai Syifa. Apa Kakak tidak bisa lihat?” sindir pemuda itu.
Abrar merapatkan gigi-giginya mendengar ocehan Ezra. Ia lantas bertanya dengan ketus pada wanita yang berdiri di hadapannya. “Kenapa tidak menjadi pengasuh Hanan saja?”
Syifa terkejut mendengar ucapan Abrar, entah itu permintaan, atau hanya sekadar sindiran.
“Kak! Syifa itu gurunya Hanan,” sahut Ezra dengan tegas. Ia merasa Abrar sangat tidak sopan terhadap wanita yang menjadi guru anaknya sendiri.
“Memangnya kenapa kalau guru? Apa saya harus tunduk padamu?” Abrar kembali menatap Syifa. Gadis itu membalas tatapannya dengan sorot mata yang tak mampu diartikan oleh Abrar.
Hati Syifa tersentak mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Abrar. Ia merasa benar-benar tidak dihargai oleh lelaki kaya itu. Matanya terasa panas. Syifa menyesal telah mengikuti kemauan Ezra untuk datang ke rumah besar yang terasa begitu sempit ini.
“Kak!” sentak Ezra yang tak senang dengan perlakuan kakaknya ke Syifa. Namun, Abrar tak menghiraukannya. Ia hanya fokus pada wanita yang berdiri di depannya.
“Pak Abrar yang terhormat, saya menghargai Anda sebagai orang tua murid saya, tetapi sepertinya Pak Abrar yang terhormat tidak tahu bagaimana menghargai orang lain. Saya minta maaf karena telah membuat gaduh suasana di rumah ini. Sampaikan maaf saya juga pada Hanan. Permisi.”
“Bu Guru ….”
Syifa terus berlalu tanpa menghiraukan panggilan Ezra. Ia bergegas keluar dari rumah mewah Abrar dengan melajukan motor bututnya. Air matanya yang sedari tadi tertahan, kini ia biarkan mengalir dari balik kaca helm yang ia kenakan.
Di rumah besar yang baru ditinggali Syifa, Hanan turun dari kamarnya dan mencari sang guru.
“Di mana Bu Syifa?” tanyanya pada dua orang dewasa yang saling berhadapan dan menatap tajam.
“Papamu mengusirnya!” sindir Ezra yang masih tak melepas tatapannya dari sang kakak.
“Papa! Hanan mau Bu Syifa. Hanan mau Bu Syifa!” Anak itu mulai memukul-mukul Abrar dan berteriak.
“Masuk kamar!” bentar Abrar. Suara keras lelaki itu malah membuat Hanan semakin tantrum. Ia melempar apa saja yang ada di ruangan itu. Abrar dan Ezra panik, mencoba untuk menenangkan Hanan. Namun, seperti biasa, semua sia-sia. Hanan tak akan tenang dalam waktu singkat, apalagi dengan Abrar.
Bi Sumi yang sedang bermain dengan Faqih di lantai dua, segera membawa balita itu turun. Ia pun segera memeluk Hanan, dan terus mendekapnya meski anak tersebut meronta-ronta.
“Tenang, ya, Sayang. Ini ada Bi Sumi. Besok kita main sama Bu Syifa, ya,” bujuk Bi Sumi sambil terus memeluk Hanan yang terus meronta.
“Hanan mau Bu Syifa! Papa jahat! Hanan benci Papa!”
Teriakan Hanan tak dihiraukan oleh Abrar. Ia malah meminta Bi Sumi untuk membawa kedua anaknya ke kamar mereka.
“Jangan biarkan mereka keluar kamar sebelum saya izinkan!” perintahnya pada Bi Sumi.
Wanita paruh baya itu pun membawa Hanan ke kamarnya, sementara Ezra menggendong Faqih untuk mengikuti Bi Sumi dari belakang.
“Kamu benar-benar ayah yang kejam, Kak!” celetuk Ezra sebelum berlalu meninggalkan sang kakak.
Abrar memijit-mijit dahinya. Setiap kali ia berada di rumah, ia selalu saja pusing dengan tingkah anak-anaknya. Mendadak Abrar merindukan suasana hangat di rumahnya, seperti ketika sang istri masih ada. Penyakit jantung yang diderita sang istri membuatnya meninggalkan ia begitu cepat, juga buah hati yang masih sangat kecil.
Abrar mendesah pelan, lantas menjatuhkan tubuhnya di sofa dan mengusap wajahnya dengan kasar.
“Apa yang harus kulakukan?” gumamnya.
***