Hidup itu memang random. Ada yang sekali minta langsung dapat ada juga yang serba kerja keras dulu baru bisa mendapat apa yang diinginkan.
Dari dulu sampai sekarang, Yasmin selalu kerja keras baru bisa mendapat apa yang dia inginkan. Contoh kecilnya saja, saat dirinya minta izin pada Pak Ilham untuk pulang dan bertemu dengan ayahnya. Butuh waktu tiga hari baginya untuk mendapatkan izin.
Dan sekarang, setelah kondisinya sudah bisa dikatakan baik, Yasmin diperbolehkan ke rumah ayahnya dengan catatan Pak Ilham ikut pergi bersamanya tentu saja.
Sejak keluar dari rumah dan menuju perjalanan ke rumahnya yang dulu, perasaan Yasmin sudah tidak enak. Dia tidak tahu kenapa tapi dia merasa tidak tenang.
“Yas, ayo!” kata Pak Ilham menyadarkan Yasmin dari lamunannya. Gadis itu terkejut tahu-tahu sudah ada di pelataran depan rumahnya.
Hendrawan yang sejak awal merasa aneh karena ada mobil yang berada di depan rumahnya, lantas keluar dari rumah. Dia langsung melayangkan tatapan tajam saat melihat Ilham yang keluar dari mobil terlebih dahulu baru disusul oleh Yasmin dari pintu lainnya.
Melihat Yasmin keluar dari sana, Hendrawan langsung berjalan cepat dan sudah menyeret paksa gadis itu agar masuk ke dalam rumah.
“Dasar anak kurang ajar, kamu!”
“Berhenti!” kata Pak Ilham sembari menahan tangan Hendrawan yang sudah terangkat. “Jangan sakiti Yasmin lagi! Sudah cukup kamu menyiksanya selama ini!”
Hendrawan langsung menarik tangannya kasar. Dia tidak sudi disentuh oleh pembunuh istrinya.
“Maafkan saya!” kata Pak Ilham menyesal. Sedari dulu, dia selalu meminta maaf, tapi sampai sekarang, dia belum dimaafkan juga. Setelah delapan belas tahun berlalu. Lama sekali. Mungkin, kesalahannya tidak termaafkan. Namun semua orang punya kesempatan kedua bukan? Hendrawan tidak punya hak untuk mencabut kesempatan seseorang itu.
Kalau Tuhan Maha Pemaaf, kenapa dia yang manusia, tidak ada apa-apanya, sombong sekali sampai tidak mau memaafkan kesalahan seseorang. Seharusnya dia sadar, dia juga banyak salah. Apalagi dengan putrinya sendiri. Bahkan, selama ini, Yasmin lebih mirip budaknya dari pada anaknya.
“Ayah,” panggil Yasmin pelan.
Tak mau menjawab, Hendrawan langsung masuk ke dalam rumah lebih dahulu. Kemudian baru disusul oleh Yasmin dan Pak Ilham. Rama sengaja tidak ikut keluar, dia memilih menunggu di mobil. Bahkan saking tak pedulinya, dia tetap diam saja saat hampir terjadi pertengkaran tadi.
“Silakan duduk, Pa.” kata Yasmin lembut.
Pak Ilham langsung duduk di bangku kayu itu.
Hendrawan yang sedari awal sudah duduk di kursi langsung menatap Yasmin tajam saat mendengar putri kecilnya itu memanggil Pak Ilham dengan sebutan, pa.
Yasmin yang sadar akan tatapan tajam ayahnya langsung menunduk, sedari dulu, dia paling takut ditatap seperti itu.
“Ohh..." Hendrawan berujar sarkas, namun tercekat. "Saya lupa kalau kamu sudah menikah dengan putra pembunuh ini. Bagaimana rasanya, bagaimana rasanya hidup bermandikan darah ibumu?"
Tak mampu menjawab, Yasmin hanya bisa menautkan jemarinya cemas.
Karena tahu kalau Yasmin tidak akan membuka suara, Pak Ilham akhirnya buka mulut.
“Maafkan saya, tapi saya sudah meminta Anda untuk datang menjadi wali nikah Yasmin."
Hendrawan tertawa miris, bagaimana bisa putrinya menjadi istri dari anak yang papanya membunuh ibunya sendiri. "Tapi Anda tetap menikahkan anak ini dengan putramu tanpa kehadiran saya!"
"Lalu saya harus bagaimana, Pak? Saya hanya ingin menjaga harga diri putri Bapak. Saya tidak mungkin membiarkan Yasmin tinggal bersama kami tanpa status yang jelas."
"Anda bisa mengantarkannya pulang. Pernikahan ini hanya omong kosong!" Nada bicara Hendrawan naik satu tingkat.
"Dan membiarkan Yasmin diperlakukan tidak adil lagi?" Pak Ilham menggeleng, "Tidak. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi."
"Tak payah jadi pahlawan kesiangan di sini. Istri saya saja Anda biarkan celaka.
Yasmin menunduk, bibirnya bergetar hebat, matanya sudah memanas sedari tadi.
“Tolong jangan salahkan Yasmin, saya yang memaksa anak saya untuk menikah dengan Yasmin. Saya yang salah, bukan Yasmin.” Kata Pak Ilham.
Yang namanya orang benci dan sudah sampai ditahap kecewa yang teramat sangat, Hendrawan tidak mau mendengarkan siapa pun. Baginya, yang dia pikirkan itulah yang benar.
“Ayah-“
“Jangan panggil saya ayah!” kata Hendrawan.
Tak selang lama kemudian, Imas masuk ke dalam rumah. Dia terkejut bukan main melihat Yasmin berada di sana.
“Lhoh—kenapa kamu kembali lagi? Dasar anak tidak tahu diri!”
Imas hampir saja menampar Yasmin kalau saja Pak Ilham tidak menahan tangannya. “Jangan kurang ajar pada Yasmin atau saya akan mengatakan kelakuan tidak bermoral yang sudah kamu lakukan pada Yasmin selama ini,”
Imas tersentak, tapi dia berusaha terlihat biasa saja.
“Mohon maaf bapak yang sudah membunuh istri ayah saya. Memangnya apa yang sudah saya lakukan?” tanya Imas menantang.
Pak Ilham sudah siap mengatakan hujatan ready stoknya kalau saja Yasmin tidak menahan tangannya. Bersyukurlah Imas karena Yasmin sama saja membantunya. Namun Imas tidak peduli.
“Pa, jangan!” pinta Yasmin.
Pak Ilham menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Yasmin benar, tidak ada gunanya bicara dengan anak tidak punya pikiran seperti Imas. Imas sudah tidak tertolong lagi, dia gila uang. Saking gilanya, sampai menjual Yasmin. Dia pikir, Yasmin dagangan atau apa. Harusnya, dia sesama perempuan mengerti peresaan perempuan yang lainnya. Namun tidak, Imas lebih mirip dengan monster yang mengerikan.
Jujur saja, Hendrawan muak mendengar Yasmin memanggil Pak Ilham dengan sebutan pa dan pa terus sedari tadi. Dia benci mendengar semua itu.
“Maaf,” kata Pak Ilham. “Seharusnya kalau ada orang yang bapak benci itu saya, karena saya yang menabrak istri anda dan langsung pergi begitu saja. Yasmin tidak salah apa-apa. Sudah cukup deritanya menjadi anak piatu selama ini, jangan menambah kesedihannya dengan membencinya juga. Bagaimana pun, Yasmin adalah putri bapak. Anak kandung bapak. Jangan mudah percaya dengan omongan orang lain.”
“Ayo, Yas! Kita pulang,”
Pak Ilham berdiri. Yasmin turut berdiri. Dia ingin izin dengan ayahnya tapi saat Yasmin mendekat, Hendrawan malah menghindar.
“Sudah Yas,”
Yasmin menunduk, dia menggigit bibir bawahnya kuat, takut menangis. Sebenarnya, dia tidak ingin pulang ke rumah Pak Ilham, dia ingin di rumah bersama ayahnya saja. Meskipun kalau di rumah bersama ayahnya dia akan dimarahi, tidak apa. Asalkan bisa bersama ayahnya, Yasmin merasa tenang.
Karena sadar kalau ayahnya tidak suka dengan kehadirannya, Yasmin memilih pergi. Mereka hampir mencapai mobil saat Imas lari dari dalam rumah dan langsung menjambak dan memukul Yasmin di pelataran rumah.
Rama yang di dalam mobil langsung keluar dan menahan Imas. Dia mencengkeram kuat tangan perempuan itu agar tidak melukai Yasmin lagi.
Pak Ilham menarik Yasmin menjauh, sedangkan Hendrawan yang sudah ingin berlari langsung menghentikan langkahnya saat dua lelaki itu lebih dulu menyelamatkan Yasmin.
Rama menatap Imas tajam, kemudian menghempas tangan perempuan itu sampai membuatnya mundur beberapa langkah.
Saudara tiri Yasmin ini langsung menatap dirinya tajam dengan napas yang naik turun tak beraturan. “Dasar murahan!”
“Hei!” seru Rama, “Lihat dirimu!"
Imas kesal sekali. Niat hati, dia menjual Yasmin agar menderita hidupnya. Dan sekarang, dia malah terlihat baik-baik saja dengan tumpangan mobil bagus lagi.
“Memangnya kamu siapa sampai ikut campur?”
“Karena dia suami Yasmin,” kata Pak Ilham memukul hati Imas telak. Perempuan itu lantas terdiam kaku. Dia menatap Rama tapi Rama langsung membuang muka dan berlalu masuk ke dalam mobil.
Bagiamana Imas tidak ingat? Bukankah pemuda itu yang dirinya temui malam dirinya menjual Yasmin pada bapak-bapak bau tanah.
Pak Ilham menyentuh bahu menantunya, Yasmin yang tersentak langsung bergegas masuk ke dalam mobil. Sebelum benar-benar tidak bisa kembali ke dalam rumah ini, Yasmin menatap rumahnya dalam-dalam. Sebagus apapun tempat yang akan dia tempati nanti, rumah bersama sang ayah akan tetap dan selalu menjadi rumah ternyaman baginya.
***
Selepas dari rumah, Yasmin langsung berdiam diri di kamar. Rama sedang mengantar Pak Ilham pulang karena jarak rumahnya lebih dekat dengan apartemen.
Gadis itu terdiam menatap langit yang terpampang jelas dari jendela kaca besar di kamarnya. Indah memang. Di sini memang semuanya serba ada tapi sekali lagi, Yasmin lebih nyaman di rumahnya yang dulu.
Ah, Yasmin memang harus mulai terbiasa dari sekarang. Dia sudah menjadi istri seseorang sekarang, tidak ada gunanya menyesali segala yang telah terjadi.
Menghembuskan napas penjang, Yasmin kemudian keluar kamar dan kinerja jantungnya langsung diuji saat melihat ada perempuan di dalam apartemen. Bukan karena dia perempuan cantik, bukan. Namun karena pemuda yang duduk di sampingnya itu adalah suaminya.
Yasmin tidak akan berpikiran buruk kalau mereka saling menjaga jarak. Yasmin yakin, penglihatannya masih normal. Dua sejoli itu duduk bersebelahan. Bagaimana bisa dia berpikiran baik kalau Bi Ijah saja sudah mengatakan kalau Rama adalah anak tunggal. Tidak mungkin kalau itu adiknya bukan. Dan lagi, tidak mungkin saudara sampai berduaan begitu bukan?
Memang mereka tidak sampai bersentuhan atau apapun itu. Tapi bagi Yasmin, berdua di satu ruangan yang mana mereka bukan pasangan suami istri, bisa-bisa ketiganya setan.
Yasmin berjalan tiga langkah lebih dekat. “Kak,” panggilnya pelan.
Rama yang sadar ada Yasmin tengah memperhatikannya hanya menatap sekilas, kemudian sibuk membolak-balikkan lembaran yang ada di pangkuannya. "Ini rekan kerjaku. Masuklah ke kamar atau kamu bisa buatkan kami minuman."
Yasmin yang sadar diri langsung balik badan dan kembali masuk ke dalam kamar, tidak membuatkan mereka minum.
Orang seperti Yasmin mana tahu kalau bisa bekerja di apartemen mewah seperti ini, hanya berdua? Di luar jam kerja pula. Ini memang Yasmin yang bodoh atau terlalu polos.
Memang benar jika dirinya tidak menyukai Rama, tapi sebagai istri tentu saja dia tahu apa yang terjadi ini tidak benar.
Selama pindah di apartemen, Rama sering tidak pulang saat malam atau tidur di sopa.
Pernah sekali Yasmin berniat membangunkan Rama, tapi saat berada di dekatnya, Yasmin mati kutu, dia tidak berani. Lalu sekarang, dia lebih mirip perempuan bodoh yang diam saja saat suaminya berduaan dengan perempuan lain di rumahnya.
Entah bagaimana, mata Yasmin tiba-tiba terpaku pada monitor CCTV yang menampilkan keadaan di ruang tamu.
Mata Yasmin terpaku di sana, memperhatikan sang suami yang sibuk dengan berkas-berkasnya dan perempuan yang tidak Yasmin ketahui namanya ini mencoba untuk mendekat, tapi Rama selalu menghalau—tidak berniat untuk merespon balik, tetap sibuk dengan berkasnya yang berserakan.
Yasmin mungkin lupa atau benar-benar terlalu polos. Sudah jelas kalau pernikahan mereka adalah pernikahan paksa. Kalau dia jelas tidak punya pasangan, pacar atau apalah itu, tapi kalau Rama, kenapa Yasmin baru memikirkannya sekarang. Ke mana saja dia selama ini.
Suaminya itu tampan, kaya raya pula, siapa yang tidak mau memiliki suami seperti dirinya.
“Yasmin bodoh!” maki Yasmin pada dirinya sendiri.
“Bagus kalau kamu sadar,”
Refleks, Yasmin langsung menoleh. Dia mendapati Rama tengah bersandar pada pintu dengan tangan yang terlipat di depan d**a.
Tanpa sadar, Yasmin mengembuskan napas lega. Suaminya di sisinya sekarang, tidak bersama perempuan itu lagi.
Sedetik kemudian, Yasmin kembali memalingkan wajahnya. Dia rasa, dia tidak punya hak untuk menatap suaminya sendiri. Mereka terlalu jauh, saling berseberangan.
Tersenyum miring, Rama tak peduli dan berjalan menuju lemari. Dia mengambil pakaian dan berlalu menuju kamar mandi, meninggalkan Yasmin yang terdiam di tempatnya dengan tatapan nanar. Karena tak mau satu ruangan dengan Rama, Yasmin memutuskan keluar, sekalian memantau keadaan di luar, masih ada perempuan itu atau tidak.
Yasmin menghembuskan napasnya perlahan saat tidak mendapati seorang pun di sopa. Gadis itu kemudian menuju meja makan, menuang air dalam gelas dan meneguknya perlahan.
Sedari awal, dia tidak pernah berharap akan pernikahan ini, tapi tidak begini juga Rama memperlakukannya. Bagaimana pun, Yasmin adalah perempuan. Perasaannya lembut. Tidak pantas untuk dikasari.
Tak lama kemudian, Yasmin mendengar pintu berderit, dia tak perlu menoleh untuk melihat siapa yang membuka pintu, karena sudah pasti Rama yang berada di sana. Gadis itu lelah sekali hari ini, dia ingin naik ke atas ranjang dan tidur sampai pagi.
Ayahnya, suaminya, semuanya membuat kepalanya ingin pecah. Pernikahan ini? Demi Tuhan, Yasmin ingin melarikan diri saja. Dirinya takut melihat yang lebih parah dari hari ini.
Beberapa saat kemudian, Yasmin mendengar suara langkah kaki menjauh dan suara pintu terbuka kemudian tertutup kembali. Seperti itu yang dia alami setiap hari. Rama tidak menginginkannya, dirinya pun begitu. Lalu pertanyaannya, untuk apa pernikahan ini terus dilanjutkan? Bukankah semakin lama, semakin dalam pula kedua orang itu saling tersakiti?
Yasmin yang sederhana
Dan Rama yang tidak menyukainya
Pernikahan paksa memang tidak mengenakkan dilihat dari berbagai sudut pandang manapun.
Menyangga kepalanya yang berat, Yasmin memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Banyak berpikir membuatnya sakit kepala. Namun mau bagaimana lagi, ingin menghindari semua yang ada kaitannya dengan Rama, tidak mungkin. Karena Rama adalah suaminya, mereka tinggal di bawah satu atap yang sama walaupun belum pernah sekalipun berbagi ranjang.
Memang apa yang diharapkan dari semua ini, sudah pasti tidak ada yang berharap lebih. Dan kedua orang itu sama-sama tahu, kalau semua yang terjadi ini tidak benar, tapi mereka memilih untuk diam dan menganggap kalau semuanya akan berjalan lancar.
Yasmin tidak tahu besok apa yang akan terjadi, tapi selagi dia masih mampu bertahan, Yasmin akan bertahan. Karena di sini, bukan perasaannya saja yang perlu dipikirkan, tapi ada Pak Ilham yang sakit-sakitan juga. Yasmin takut kalau keputusannya nanti membuat keadaan Pak Ilham semakin buruk. Dia takut jika mengulang hari itu untuk yang kedua kalinya. Dia tidak mau melihat Pak Ilham diambang maut.
Jadi orang yang tidak tegaan memang seperti itu. Apa-apa, Yasmin selalu berpikir berulang-ulang. Dia tahu ini adalah hidupnya, tapi dia tidak boleh melupakan kalau hidupnya berhubungan dengan beberapa orang. Dia tidak berdiri sendiri, ada orang-orang yang selalu ada di belakangnya.