8. Serumit Kata

2166 Kata
Dua bulan berlalu, Yasmin masih bertahan dengan semua keasingan yang lama-lama menjadi sebuah sesuatu yang terbiasa. Rama, lelaki itu tetap saja dingin kepadanya. Tentang perempuan yang pernah masuk ke apartemen beberapa waktu lalu, kini tak pernah Yasmin jumpai lagi. Benar mereka tidak melakukan apa-apa dan nampak seperti rekan kerja yang suaminya katakan. Hanya saja saat perempuan itu terlihat mendekati suaminya, Yasmin tidak nyaman. Apakah ini artinya Yasmin sudah mulai ada rasa dengan suaminya? Kalaupun iya, itu justru bagus. Sudah sewajarnya suami istri saling menyayangi satu sama lain. Bukan berlagak menjadi orang asing seperti yang tengah menimpa Rama dan Yasmin saat ini. Ah entahlah, Yasmin tidak tahu. Lagi pula kenapa kalau Rama dengan perempuan lain? Apa Yasmin diberikan hak untuk mengingatkan atau apapun itu ketika Rama melakukan kesalahan? Tidak. Lelaki itu bahkan tidak sudi mendengar suara Yasmin, apalagi keberadaannya. Lalu, apa Yasmin menangis diperlakukan seperti itu dua bulan belakangan ini? Oh, tentu saja tidak. Dia sudah biasa diabaikan oleh orang yang dia sayang. Kalau hanya Rama, suami asing yang baru saja dia miliki, Yasmin merasa biasa saja. Dia tidak terluka atau belum sadar saja. Selama itu pula, mereka benar-benar pisah ranjang. Seperti pagi ini. Rama terbangun di sopa ruang tamu dengan kesal. Tubuhnya pegal-pegal tidur di sopa terus, tapi dia juga tidak mungkin tidur satu ranjang dengan Yasmin. “Sial!” gerutunya. Kemudian, terdengar keributan kecil di dapur. Rama menoleh dan mendapati Yasmin tengah masak di pantry. Berulang kali Rama mengingatkan kalau Yasmin tidak perlu memasak atau apalah itu. Dia tidak akan mempan dengan masakan murahan yang Yasmin buat. Kekeras kepalaan Yasmin juga yang membuat Rama merasa pengap berada di rumah. Gadis itu berani sekali menentangnya. Dulu, dia kira kalau Yasmin adalah perempuan polos dan akan diam saja saat ditindas karena itu dia sampai dijual di pinggir jalan seperti itu. Namun sekarang, Rama merasa kalau Yasmin tidak sepolos itu. Rama selalu saja berpikiran negatif tentang Yasmin. Apa-apa yang ada hubungannya dengan Yasmin, Rama pasti berpikiran buruk. Semuanya buruk menurut lelaki itu. Tak mau banyak berpikir, Rama pergi ke kamar. Dia langsung merebahkan tubuh ke ranjang dan terlelap setelahnya. Sementara Yasmin kembali ke kamar bermaksud untuk membersihkan diri tapi dia sedikit terkejut melihat Rama tidur di ranjang. Tak mau mengganggu, dia langsung menuju kamar mandi. Butuh waktu tiga puluh menit bagi Yasmin untuk membersihkan diri. Saat keluar, Rama masih tertidur di ranjang. Yasmin menggeleng pelan, kemudian keluar dari kamar. Dia termenung sendirian di meja makan. Tangannya yang menggenggam gelas, nampak gemetaran. Tak lama kemudian terdengar suara bell, Yasmin lantas berdiri untuk melihat siapa yang ada di depan sana. Saat melihat perempuan yang sama yang dilihatnya terakhir dua bulan lalu, tanpa sengaja kinerja jantungnya langsung meningkat signifikan. Yasmin mendesah lelah harus berada di keadaan seperti ini. Namun, karena perempuan itu terus saja menekan bell, mau tak mau, Yasmin kembali menuju kamar. Dia akan membangunkan Rama, dia tidak mungkin membiarkan perempuan itu memasuki kamar di apartemen ini. Saat sampai kamar, Yasmin bingung harus melakukan apa. Jujur dia tidak berani membangunkan Rama. Dia takut kalau suaminya itu marah seperti yang sudah-sudah. Sebenarnya, Yasmin sudah terbiasa dimarahi, tapi kali ini, Rama terlihat pulas sekali dalam tidurnya. Yasmin tidak berani membangunkannya. Sejauh ini, Yasmin tahu kalau suaminya itu bukan orang malas. Ketika di apartemen, kerjaannya meeting dan sibuk dengan personal komputernya sendiri. Baru sekarang Yasmin melihat Rama bangun dan kembali tidur lagi. Seperti ada yang tidak beres. Karena masih mendengar bell dibunyikan berkali-kali, Yasmin memberanikan diri untuk membangunkan Rama. Dia mengguncang pelan bahu Rama kemudian berhenti dan kembali menguncangnya lagi sampai terbangun. “Apa?” tanya Rama dengan mata memerah hebat. “Ada perempuan di luar,” Rama mendengkus, kemudian ganti posisi untuk membelakangi Yasmin. Yasmin menggaruk kepalanya frustasi, “Ada-“ “Biarkan saja!” Potong Rama tidak sabaran. Gadis itu menggembungkan pipinya tidak tahu lagi, alhasil dia duduk di kursi kerja Rama. Dia terduduk di sana sembari memandang buku-buku tebal yang berjejer rapi di rak samping. Hampir 15 menit pada posisi yang sama dan karena tak mendengar bunyi lagi, ditambah Rama melanjutkan tidurnya, Yasmin memutuskan untuk keluar dari kamar. Di luar pun, dia tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk di meja makan dan memandang makanan yang mulai mendingin. Sebenarnya mubazir juga dia terus masak dan tidak dimakan, tapi mau bagaimana lagi? Semoga saja, besok, besoknya lagi atau mungkin nanti, Rama akan duduk di sana dan memakan yang Yasmin masakkan. Bukan, Yasmin bukannya sudah jatuh cinta pada suaminya sendiri. Hanya saja, dia merasa tidak berguna jika kerjaannya diam saja. Yasmin benar-benar tidak terbiasa dalam suasana seperti ini. Menghela napas berkali-kali, Yasmin mengusap perutnya yang nyeri. Perutnya bermasalah akhir-akhir ini, tapi dia tidak perlu mengatakannya pada semua orang. Karena ambang batas rasa sakit yang dirasakan seseorang berbeda di setiap orangnya. Di saat orang A bilang kalau rasa sakitnya biasa saja, maka lain lagi dengan orang B yang mengatakan kalau rasa sakitnya luar biasa. Karena rasa sakitnya tak kunjung mereda, Yasmin memutuskan istirahat di sopa. Dia berharap semoga rasa sakitnya menghilang atau paling tidak sedikit mendingan saat dia bangun nanti. *** Yasmin terbangun saat mendengar erangan marah. Dia yang terkejut refleks duduk dengan jantung yang berdetak kencang. “Yasmin!" Karena efek bangun tidur, mungkin saja nyawa Yasmin masing melayang-layang, karena itu dia diam saja. Ditambah lagi dia takut mendengar teriakan amarah seperti itu. “Yasmin!” teriak Rama lagi. Gadis itu berdiri dan berjalan cepat untuk menghampiri Rama di kamar. Saat sampai di ambang pintu masuk, dia melihat Rama tengah mondar-mandir tak karuan di dekat meja kerjanya. “Kak-“ “Bodoh!” maki Rama. Dia langsung berjalan cepat menghampiri Yasmin dan menariknya menuju meja kerja. “Kamu bisanya ngapain, sih?” Rama berkacak pinggang saat Yasmin berusaha mencari tahu kesalahannya, tapi lama berpikir, dia tak menemukan sesuatu yang salah. Yasmin merasa tak melakukan kesalahan sedari tadi. “Aku-“ Rama terduduk di tepi ranjang, diurut kepalanya yang terasa berat. Yasmin yang bingung, tak tahu harus melakukan apa hanya bisa diam di tempatnya, menatap Rama yang mengurut pelipisnya sedari tadi. “Kamu pusing?” cicit Yasmin pelan. Menghentikan aktivitasnya, Rama kemudian mendongak untuk menatap Yasmin. “Peduli setan,” makinya. Yasmin menahan napas saat perutnya kembali didera rasa sakit.Tangannya terulur untuk berpegangan pada meja kerja dan tidak sengaja menyenggol lampu belajar di sana sampai jatuh dan pecah berkeping-keping. Tak memperdulikan lampu itu, fokus Yasmin adalah perutnya yang sekarang terasa lebih sakit dari yang sebelumnya. Rasanya seperti ada jarum yang menusuk-nusuk. Rama yang hendak pergi jadi langsung tertahan. Dia berjalan cepat untuk menahan Yasmin yang hampir limbung. “Jangan pura-pura sakit saat dimarahi!” tegur Rama. Menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, Yasmin hanya menunduk. Percuma juga kalau dirinya menjelaskan, Rama tidak akan percaya. Dari pada tenaganya terbuang sia-sia, lebih baik dia diam saja untuk menahan rasa sakit di perutnya. Rama termenung melihat pelipis Yasmin yang dibanjiri keringat dingin. Tubuhnya merasa kaku berdiri terlalu dekat dengan istrinya ini. “Tolong bantu aku ke kasur!” pinta Yasmin lirih. Rama mendengkus dan bergegas memegangi Yasmin menuju ranjang. Setelah itu, tanpa mau banyak bicara, dia langsung pergi keluar kamar. Yasmin terdiam dengan raut wajah menahan sakit. Perutnya benar-benar sakit. Tangannya semakin kuat mencengkeram perutnya. Karena tak berpengaruh apa-apa padahal sudah duduk, Yasmin memutuskan untuk mengambil air. Tapi saat berdiri, pandangannya mengabur sampai dia kehilangan kesadaran. *** Yasmin terbangun setelah lama pingsan. Yang disentuh pertama kali adalah permukaan perutnya yang sakit. Mencoba untuk bangkit, Yasmin berpengangan pada tepi ranjang dan berhasil duduk selonjoran di lantai. Dia menarik napas dalam-dalam karena rasa sakit di perutnya samakin menjadi-jadi. Jangankan untuk mendongak, menatap sejajar depan pun, Yasmin tak kuasa. Tak ada yang dia pikirkan selain ayahnya saat ini. Dia membatin perasaannya sendiri. Andai saja dia meninggal beberapa saat kemudian, bagaimana dengan ayahnya? Dia belum sempat meminta maaf kepada ayahnya dan ayahnya juga belum menerima maafnya. Itu yang Yasmin takutkan. Mencoba menguatkan dirinya sendiri, Yasmin menepuk dadanya yang sesak, selagi masih bisa bertahan, dia akan bertahan. Lagi pula, di saat-saat seperti ini, hanya Tuhan yang bisa membantunya. Jangankan orang lain, suaminya sendiri saja tidak peduli kalau dirinya sakit, malah menganggap kalau dirinya sedang cari muka, pura-pura dan sebangsanya. Hendak mencari bantuan, Yasmin berdiri, dia berjalan dan berpegangan pada dinding untuk sampai di luar kamar. Yang dia lihat pertama kali adalah pemandangan Rama tengah berbincang dengan perempuan di sofa ruang keluarga. Perempuan itu adalah perempuan yang sama yang Yasmin lihat tadi dan juga 2 bulan yang lalu. Cantik? Tentu saja, Yasmin mengakui itu. Namun rasa sakit di perutnya lebih mendominasi. Dia berjalan tertatih ingin mengambil air minum di dapur. Baru beberapa langkah, dia berhenti dan hampir terjatuh karena perutnya semakin sakit. Yasmin memutuskan duduk, berharap rasa sakitnya berkurang. Rama yang mendengar suara berdebum langsung menegakkan tubuhnya dan mencari sumber suara tersebut. Begitu melihat Yasmin di dekat meja makan, segera lelaki itu menghampirinya. “Kamu bisanya apa, sih?" Yasmin menggeleng, tangannya terulur, "Air?" Pintanya. “Tolong?" lirih Yasmin hampir tak terdengar. Rama yang mendengar lirihan Yasmin walau samar langsung jongkok, dia melihat Yasmin yang menunduk kesakitan. Baru saja ingin membuka suara, Yasmin lebih dulu tumbang tepat di depan matanya. Spontan, Rama dengan cepat menangkap tubuh Yasmin dalam dekapan. “Hei!” kata Rama saat Yasmin terpejam dalam dekapannya. “Yasmin bangun!” seru Rama sekali lagi. Berdecak sebal, Rama menyentuh pipi Yasmin, dan itu benar-benar dingin sekali. “Sepertinya dia sakit betulan Ram, wajahnya pucat sekali,” ujar perempuan yang bernama Devi yang sedari tadi bersama Rama. Yang sama Rama akui sebagai rekan kerjanya. Rama menggangguk. Tubuh Yasmin benar-benar dingin, tak mau ambil risiko, Rama langsung membopong Yasmin dan keluar dari apartemen saat itu juga, diikuti Devi di belakangnya Sepanjang parkiran hingga IGD, Rama berlari, suhu tubuh Yasmin dalam dekapannya semakin rendah. Sampai akhirnya, petugas kesehatan yang berjaga melihat paniknya Rama dan membantu lelaki itu dengan menunjukkan bilik di salah satu ruang yang berada di IGD. Saat sampai ruangan itu pun, Rama menjambak rambutnya frustasi, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Hatinya menolak sedari tadi, tapi tubuhnya malah berkata yang lain. Tadi, Rama bisa saja membiarkan Yasmin tergeletak di lantai. Melihat Yasmin menyedihkan seperti itu, Rama tak tahu kenapa tubuhnya seolah bergerak sendiri untuk menolong Yasmin. Sebenarnya, tanpa diminta atau disuruh, pun, Rama harus melakukannya. Itu sudah tugas dan kewajibanya sebagai seoarang suami untuk melindungi istrinya, apalagi Yasmin sedang sakit seperti ini. “Nyusahin aja!” maki Rama pada dirinya sendiri. Dia benci karena merasa peduli dengan Yasmin. Dia merasa telah megkhianati Devi. Rekan kerja yang dirinya akui kepada Yasmin sebenarnya adalah kekasihnya—tiga tahun sudah dirinya menjalin hubungan dan harus kandas begitu saja karena permintaan konyol sang ayah. Terduduk di bangku tunggu, Rama menunduk dengan mata terpejam, dia merasa ada yang salah dengan otaknya. Belum juga tiga bulan bersama Yasmin, bayangan perempuan itu mulai lancang memenuhi otaknya akhir-akhir ini. Ya bagiamana, tidak? Mereka bertemu setiap hari dan Rama membenci semua momen itu. Memang benar kalau orang yang paling dibenci adalah orang yang paling dipikirkan. Buktinya, karena membenci, Rama malah sering memikirkan Yasmin. Dia jadi memikirkan apa-apa yang dilakukan Yasmin dan mulai membayangkan yang tidak-tidak. “What the hell!” desisnya tak habis pikir pada dirinya sendiri. Rama lantas menegakkan tubuh, dia menyandarkan tubuhnya pada bangku dan menatap datar ruangan tepat di depannya. Dia benar-benar tidak suka dengan keadaan asing seperti ini. Entah berapa lama Rama terdiam di sana, sampai akhirnya ada perawat yang keluar, dia meminta Rama untuk masuk ke dalam ruangan yang dimasuki Yasmin tadi. Karena tak punya pilihan, Rama masuk ke dalam ruangan itu. Semakin dalam melangkah, Rama melihat Yasmin tengah bernapas menggunakan alat bantu, wajahnya pucat sekali. “Pak, mohon maaf sebelumnya-“ “Hah? Iya?” tanya Rama seperti orang bingung. Tadi, waktunya seperti berhenti beberapa detik karena melihat Yasmin seperti itu. Ada semacam rasa asing yang tiba-tiba hadir namun Rama tak ingin membesarkan rasanya. “Pasien mengalami usus buntu, harus dioperasi segera.”kata Dokter singkat padat dan jelas. Memang seperti itu, kadang ada dokter yang humble ada juga dokter yang bicara seperlunya. Rama terdiam, mencoba mencerna kalimat sederhana yang disampaikan oleh dokter di hadapannya. “Pak-“ panggil dokter itu pelan. Rama menggeleng pelan. Lelaki itu kemudian menatap dokter di depannya tanpa ekspresi. “Apa dia akan mati?” tanya Rama begitu saja. Sang dokter terdiam dengan wajah yang sulit diartikan pula. Baru pertama kali dia mendengar pertanyaan seperti itu. Dari dulu, dia selalu mendengar kalimat, “Dia pasti selamat, kan? Dia akan sembuh, kan? Lakukan apa saja, asal dia selamat.” Namun yang dilakukan Rama sekarang, dia seolah mendoakan sesuatu yang buruk. Padahal sudah jelas, mau bagaimana pun Yasmin, bagaimana pun pernikahan paksa mereka, mereka tetaplah pasangan suami istri yang seharusnya saling mendukung dalam segala hal yang merujuk kebaikan pastinya. "Kami akan berusaha yang terbaik," kata sang dokter. Rama menahan napas sejenak, dia kembali menoleh pada Yasmin. Perempuan itu menatap Rama nanar seperti ingin mengatakan sesuatu. Namun saat Yasmin membuka mulutnya, Rama malah keluar dari ruangan itu. Tanpa diminta, air mata Yasmin mengalir begitu saja. Dia takut, tapi kenapa Rama tidak mengerti itu. Namun, untuk apa juga Yasmin meminta pengertian seorang Rama? Dia terbiasa merajut lukanya seorang diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN