Setelah kejadian malam itu, Yasmin mencoba meminimalisir bertemu dengan Rama walaupun kenyataannya tidak bisa. Mereka tinggal satu rumah. Bagaimana dirinya bisa pergi kalau memang di sana lah dia memang tinggal.
Memang benar Rama tidak melakukan apa-apa padanya, lelaki itu hanya menggertak sampah. Namun tetap saja, gadis seperti Yasmin ketakutan karena ulahnya.
Sebenarnya, sampai saat ini pun, Yasmin masih merasa kalau ini semua hanyalah mimpi buruk. Hidupnya seperti drama sekali kalau dirasa-rasakan. Dijual kakak tirinya, kemudian menikah dengan orang asing dan sekarang harus tinggal satu rumah. Tapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin juga Yasmin menentang kehendak-Nya.
Meskipun dijahati begitu, Yasmin tetap berusaha menjadi istri yang baik. Umurnya memang baru 18 tahun tapi dia tahu tugas seorang istri karena sedari dulu, tanpa sadar ayahnya sudah mendidiknya untuk menjadi perempuan yang tangguh dan serba bisa.
Yasmin tetap masak walaupun Rama tidak mau memakan masakannya. Ya, kan Yasmin juga harus makan. Kalau Rama tidak mau makan masakannya, Yasmin tidak peduli. Yang terpenting, dia sudah melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri. Kalaupun Rama sampai sakit nantinya, salahnya sendiri. Siapa suruh sok jual mahal, kan?
Istri? Rasanya Yasmin ingin tertawa terbahak-bahak saat sadar dirinya sudah memiliki gelar istri orang sekarang. Namun masalahnya, Yasmin kehilangan rasa hormat kepada Rama sejak malam lelaki itu menggertaknya.
Seperti pagi ini pun masih sama. Walaupun sudah seminggu berlalu, mereka tinggal satu atap tapi tak berbicara sama sekali. Mereka benar-benar mengalahkan orang asing. Jika ada lomba apa yang paling asing, maka mereka lah pasti yang memboyong piala penghargaan.
Rama, entah apa yang dipikirkan lelaki itu sekarang. Dia langsung pergi begitu saja saat Yasmin di dapur untuk membuat teh panas. Logikanya, ini apartemen miliknya. Seandainya dia mengusir Yasmin dari sana, Yasmin pasti akan pergi juga. Papanya tidak akan tahu. Namun, dia masih memikirkan ayahnya. Dia tidak bisa egois dengan memikirkan dirinya sendiri dan melupakan fakta kalau kesehatan ayahnya terganggu.
Saat Rama pergi, Yasmin mengusap dadanya yang bergemuruh hebat. Dia selalu seperti itu jika melihat Rama. Melihat dari kejauhan saja reaksinya sudah seperti itu kalau dari dekat dijamin bisa pingsan dia. Ini takut atau apa?
Yasmin langsung berjalan cepat untuk menjangkau hapenya di meja. Dan senyumnya langsung mengembang saat melihat notifikasi pesan dari Della. Beruntung Yasmin ingat nomor handphone Della jadi dia bisa menghubunginya.
“Yas kamu apa kabar? Kita main ke rumah lo, ya. Kemarin gue mata-matain rumah lo dari gang depan, tapi kok lo gak pernah keliatan, sih? Lo sakit apa gimana? Gue ditanyain mulu sama Bu Arum, tapi bingung mau jawab gimana."
Yasmin langsung murung saat itu juga. Dia jadi ingat rumah, sungguh dia ingin pulang saja. Bagaimana keadaan ayahnya sekarang? Apa dia khawatir karena Yasmin tidak pulang?
Perlahan jari lentiknya itu mengetik pesan balasan untuk Della.
“Aku gapapa, Del. Lain kali aja, ya. Aku juga kangen sama kalian.”
Hampir sepuluh menit menunggu balasan chat dari Della yang tak kunjung dijawab, Yasmin langsung kembali ke dapur untuk mengambil tehnya yang masih tertinggal di pantry. Belakangan ini Yasmin jarang makan, dia tak bernapsu sama sekali. Dan dia lupa kalau punya mahg akut.
Yasmin merasa kepalanya pusing bukan main saat berjalan ingin meninggalkan dapur. Sebenarnya, dia biasa seperti ini. Hanya saja, kali ini tak kunjung mereda. Pandangannya yang mengabur semakin lama semakin menggelap, hingga Yasmin jatuh dengan tangan yang tidak sengaja menyenggol pisau di atas pantry dan jatuh melukai pergelangan tangannya sendiri.
***
Rama mengumpat sepanjang perjalanan karena melupakan proposal penting di kamarnya. Mau tak mau dia harus kembali ke apartemen lagi. Kalau saja perempuan yang menjadi istrinya itu pintar, Rama pasti akan menyuruhnya untuk mengantarkan proposal itu ke kantor. Tapi ini Yasmin, menurut Rama tak ada pintar-pintarnya sama sekali. Gadis payah.
Saat masuk, Rama tak peduli sama sekali meski tak lagi ada Yasmin. Setelah mengambil proposalnya di kamar, dia kembali ke dapur karena haus usai berlarian dari basement.
Namun, proposalnya jatuh berantakan saat melihat Yasmin dengan wajah pucat pasi dengan pergelangan tangan yang berdarah seperti orang bunuh diri dengan memotong nadinya sendiri.
Rama berlari, menghampiri Yasmin dengan jantung yang berdebar hebat. Kemudian dia berlutut untuk memangku tubuh memprihatinkan itu, “Hai, bangun! Yasmin bangun!” Rama menepuk pipi Yasmin cukup keras agar gadis itu terbangun. Namun gadis itu tak ada tanda-tanda akan membuka mata.
Tanpa sadar, Rama berkeringat, dia bisa merasakan tubuh Yasmin yang dingin bukan main. Tanpa buang waktu lagi, Rama menyobek kaos Yasmin dan melilitkannya di pergelangan tangan Yasmin yang terluka. Setelah itu, dia membawanya pergi ke rumah sakit terdekat.
Sampai ruamh sakit Yasmin langsung ditangani. Rama menunggu dengan cemas di luar IGD. Dia kembali mengingat kelakuan jahatnya yang menakut-nakuti Yasmin tadi malam.
Tidak munafik, jujur Rama ingin Yasmin pergi dari hidupnya, tapi tidak seperti ini. Tidak dengan bunuh diri di dalam apartemennya.
Demi Tuhan... Menyusahkan saja gadis ini.
Waktu cukup lama berlalu,, dokter keluar, beliau menjelaskan kalau Yasmin kehilangan banyak darah dan harus mendapatkan transfusi darah secepatnya.
“Pasien kehilangan banyak darah. Kita harus melakukan transfurtasi darah segera. Pasien bergolongan darah AB.”
“Saya AB dok, ambil darah saya saja.” kata Rama tanpa pikir panjang.
“Baik. Mari ikut saya untuk mengikuti pemeriksaan.”
Meski sudah mengatakan bahwa golongan darahnya AB, Rama tetep mendapatkan berbagai pemeriksaan lebih lanjut guna mendonorkan darahnya. Memastikan bahwa lelaki itu dalam keadaan yang baik untuk mendonorkan darahnya.
Begitu selesai mengikuti semua prosedur, dan diputuskan boleh mendonorkan darahnya, Rama dipersilakan untuk masuk ruangan khusus, tidak satu ruangan dengan Yasmin. Sampailah bagian lengannya ditusuk jarum yang terhubung dengan tube darah yang nantinya akan diberikan untuk Yamsin karena persediaan di rumah sakit untuk golongan AB sedang menipis.
Perlahan mata Rama terpejam. Dia ketiduran. Dalam hati, bisa-bisanya dia masih mengumpat. Gadis itu memang keterlaluan.
Samar-samar Rama terbangun karena mendengar seseorang berbincang. Saat bangun, dia masih di brangkar seperti tadi.
Langsung berdiri, sejurus itu pula kepalanya seperti dihantam sesuatu. Untung perawat yang berjaga menyarankannya untuk memakan makanan yang sudah dihidangkan di nakas.
Niat hati, Rama hendak bertanya bagaimana keadaan Yasmin. Namun, baru bertanya, "Pasien yang-” Perkataan Rama mengambang diudara karena melihat Yasmin baru masuk dengan menggunakan kursi roda yang didorong Bi Ijah.
“Den Rama sudah bangun.” Kata Bi Ijah sembari tersenyum.
Rama tidak tahu pasti bagaimana Bi Ijah bisa ada si sini. Namun Rama yakin, papanya pasti ada di sekitar sini juga. Entah siapa yang memberi tahu mereka.
Kalaulah tidak ada Bi Ijah, Rama pasti sudah memaki-maki Yasmin dari Ujung Kulon sampai Panarukan.
***
Rama tidak tahu untuk apa mereka terus bertahan di rumah sakit kalau keadaan Yasmin baik-baik saja.
Gara-gara gadis itu, Rama harus absen kantor hari ini. Gadis itu benar-benar!
Rama menggeleng selepas keluar dari kamar mandi, dia menatap Yasmin tak percaya. “Bagus, habis buat drama langsung ketawa cekikikan nonton TV!” katanya sembari berkacak pinggang.
Yasmin menoleh menatap Rama. “Maaf, Kak. Tadi tidak sengaja,” kata Yasmin jujur.
"Omong kosong!” Rama langsung pergi dari ruangan itu, tak lupa menutup pintu dengan keras agar Yasmin tahu kalau dirinya tidak suka dengan semua yang terjadi.
Sampai luar, Rama malah berpapasan dengan dokter yang menangani Yasmin tadi. Jadinya, Rama malah ikut dokter ke ruangannya untuk mengetahui keadaan Yasmin yang sebenarnya. Dia tak ingin tahu, hanya basa-basi saja.
Dokter memulai pembicaraan terlebih dahulu saat Rama sudah sampai di ruangan.
“Jadi begini, pak. Tekanan pasien saat sampai di sini tadi sudah sangat rendah. Saat sadar tadi, pasien bilang kalau pandangannya gelap setelah itu tidak ingat apa-apa.”
Rama menyerngitkan keningnya, dia bingung. Bukankah Yasmin berniat bunuh diri?"
“Menurut laporan setelah pemeriksaan tadi, asam lambung pasien juga naik."
Rama tak merespon apa-apa. Lagipula, dia tidak terlalu peduli. Toh, Yasmin yang sakit, bukan dirinya. Dia tidak peduli.
“Untuk kedepannya, mungkin Anda bisa menjaganya lebih sebagai seorang kakak. Dan untuk luka di pergelangan tangannya, saya yakin itu tidak disengaja. Mungkin saat jatiuh, dia tidak sengaja menyenggol atau bagaimana mengingat Anda menemukannya di dapur. Ada beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi saat pasien mulai tidak sadar.”
Akhirnya Rama mengangguk juga. Dia kemudian berpamitan dan kembali menuju ruang rawat Yasmin setelah berterima kasih.
Saat kembali, pertama kali yang Rama lihat adalah Yasmin sudah tertidur. Tanpa ragu, Rama mendekat. Dia melihat istri kecilnya itu dari jarak dekat. Pening berdiri, akhirnya Rama duduk di kursi, samping ranjang Yasmin.
Dia menatap lantai nanar. Kebenarannya adalah, dia tidak suka seperti ini. Sebelum menikah, dia bisa melakukan apapun tanpa ada yang melarang tapi sekarang malah begini. Apa-apa Yasmin. Apa-apa sudah punya istri. Rama tidak nyaman, dia ingin kembali seperti dulu lagi, sebelum Yasmin datang dan menghancurkan hidupnya yang sudah berantakan.
Mungkin, Yasmin merasa kalau sedang diperhatikan, karena itu dia membuka matanya dan terkejut saat melihat Rama duduk di sampingnya.
“K-kak,”
“Ayo pulang,” kata Rama datar.
Lelaki itu langsung berdiri, Yasmin langsung menegakkan tubuhnya. Tak lama kemudian suster datang dan membantu Yasmin untuk melepas jarum infus di tangannya.
Yasmin tersenyum tulus ke arah suster yang sudah membantunya ini, “Terima kasih, Sus.”
Suster itu balik tersenyum, “Sama-sama. Jangan datang ke sini lagi, ya.” katanya.
Ada senyum penuh harapan yang Yasmin tampakkan.
“Baik kalau begitu saya permisi dulu.” Suster itu lantas berdiri.
Sepeninggalan suster, Yasmin langsung turun dari ranjang. Kepalanya sudah agak ringan. Pandangannya tidak menggelap lagi.
Rama yang sadar kalau Yasmin sudah siap langsung berjalan lebih dulu, sedangkan Yasmin mengikutinya dari belakang.
Karena berjalan sambal menunduk, Yasmin tidak sengaja menenggor orang yang kebetulan lewat berlainan arah dengannya.
“Aw,”
“Kamu punya mata tidak?”
“Ma—ayah,” cicit Yasmin dengan mata berkaca-kaca saat melihat Hendrawan tepat di depan matanya.
“Ayah,” ulang Yasmin saat Hendrawan tetap diam saja.
Melihat Yasmin, wajah Imas langsung berubah pucat pasi.
“Nga-ngapain kamu di sini?!” tanya Imas.
Yasmin tak peduli, dia berusaha untuk menjangkau ayahnya. “Ayah,” panggil Yasmin lagi entah untuk yang keberapa kalinya.
“Ayo, Yah!” ajak Imas. Dia merasa takut saat Yasmin tiba-tiba muncul di depannya. Bagaimana kalau anak itu mengadu kalau sudah dijual dengan harga satu miliar sebelum dinikahkan.
Yasmin tidak tinggal diam, dia berusaha menghadang langkah ayahnya yang terus didesak Imas agar pergi.
“Ayah sakit?” tanya Yasmin khawatir, “Wajah ayah pucat.”
Imas memutar otak, kemudian ide cemerlang terlintas di otaknya yang selalu berisi rencana jahat.
“Kenapa memangnya kalau ayah sakit? Kamu mau ngurusin ayah? Cih!” Imas menatap Yasmin jijik, “Kamu aja kabur dari rumah,”
Yasmin tidak terkejut sama sekali mendengar Imas mengatakan itu semua. Sedari dulu, Imas memang sering memutar balikkan fakta. Jadi, Yasmin sudah biasa.
“Sakit apa, yah? Karena aku, ya?” tanya Yasmin sendu. “Aku tidak apa-apa, besok aku akan pulang, insya Allah” kata Yasmin tanpa pikir panjang terlebih dahulu.
Rama yang sampai menghentikan langkahnya tadi hanya diam saja, menjadi penonton. Dia bahkan tak ada niat sama sekali untuk membantu Yasmin.
"Saya tidak butuh anak pembawa sial sepertimu!”
Yasmin terdiam di tempatnya saat Hendrawan berjalan lebih dulu. Kemudian, Imas tersenyum meremehkan ke arahnya dan baru mengikuti Hendrawan setelahnya.
Gadis itu masih mematung di sana, rasanya sakit sekali saat orang tua satu-satunya malah mengabaikan sedemikian dalamnya. Kalau ayahnya benci dengan dirinya, kenapa sedari dulu dia tidak dibunuh saja. Kenapa dia harus menjalani hidup seperti ini? Hidup dengan penuh kebencian semua orang. Bahkan, suaminya sendiri membenci dirinya.
Yasmin mengusap wajahnya perlahan. Tidak baik menangis di depan umum seperti ini karena tidak semua orang berpikiran sama. Pasti ada saja yang menganggap Yasmin alay, lebay dan sebangsanya. Karena itu Yasmin menahannya. Lagi pula, dia tidak mau membuat masalah dengan Rama setelah ini. Dia lelah, rasanya ingin tidur saja.
Rama masih menatap Yasmin datar saat gadis itu berbalik. Namun Yasmin memilih menunduk dan berjalan mendahului Rama. Rama menggeleng tak percaya, bisa-bisanya gadis itu malah meninggalkannya.
Karena gengsi, Rama sengaja berjalan cepat untuk mendahului Yasmin. Dia tersenyum karena merasa kalau Yasmin kalah jauh, tapi saat dia menoleh, dia malah melihat orang-orang sedang mengerumuni sesuatu.
Rama celingak-celinguk, masih mencari keberadaan Yasmin. Tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak, karena itu dia langsung berlari dan membelah kerumunan. Benar bukan, Yasmin terduduk di lantai dengan ibuk-ibuk yang menahan tubuhnya.
“Permisi, dia istri saya,” kata Rama pertama kali.
Ibuk-ibuk itu langsung bangkit dan memberi tempat untuk Rama. “Yasmin!” panggilnya.
“Aku mau pulang, kak,”
Pulang? Jujur, Rama tidak mengerti pulang yang Yasmin maksud ini pulang ke mana. Karena itu, tanpa menjawab, Rama memilih untuk membantu Yasmin berdiri dan pamit pada orang-orang di sana. Sebelum orang-orang di sana mengecapnya bodoh.
Saat sampai mobil, Rama terdiam cukup lama. Dia mendesah lelah kemudian menoleh ke arah Yasmin. Perempuan itu terlihat pucat lagi, padahal, tadi baru ada rona di wajahnya. Benar, kalau pikiran memang memengaruhi banyak hal, termasuk kesehatan sekalipun.
"Bisa membantuku?" tanya Yasmin setelah terdiam cukup lama.
Rama memutar bola matanya jengah, kenapa juga dia harus terjebak dengan gadis kecil seperti ini.
"Apa?" tanya Rama tak berminat.
"Aku mau pulang, aku ingin bertemu ayah sebentar. Setelah itu, aku akan ikut bersamamu lagi." kata Yasmin memohon.
Rama menggeleng, tentu saja dia tahu kalau Yasmin akan dipertemukan dengan ayahnya kembali bersama Pak Ilham nanti, bukan dengan dirinya.
"Papa sudah bilang kalau dia yang akan mengantarmu sendiri," kata Rama.
"Tapi ayah sedang sakit. Aku ingin menengoknya." kata Yasmin, "Sebentar saja,"
Rama mendesah lelah, "Kita pulang dulu, izin pada Papa,"
Daripada tidak diperbolehkan sama sekali, Yasmin menyetujui tawaran Rama untuk bicara pada Pak Ilham terlebih dahulu.
"Terima kasih." kata Yasmin tulus.
Rama tak merespon apa-apa, dia langsung tancap gas membelah kerumunan di jalan dengan kecepatan sedang.
Apakah lelaki itu sadar? Dia sudah cukup banyak bicara dengan Yasmin tadi? Bukankah Rama sudah sangat baik?