Munculnya Pria Misterius

1329 Kata
Sella dan Moris berdiri berdampingan saat menghadap atasan. Meskipun begitu, Sella mengabaikannya saat mores memberikan kode agar mau menoleh padanya. Sella merasa jijik dan masih belum melupakan adegan panas yang dilakukan suaminya itu bersama Rosy. "Kalian tidak boleh membawa urusan pribadi ke dalam kantor. Apa kalian sudah bosan kerja di sini?" Pertanyaan pria yang masih tidak dikenali Sella belum mampu masuk ke dalam nalarnya. Sella merasa yakin kalau sebenarnya dia tidak berada di alam roh, atau sedang sekarat. Beberapa kali dia mencubit lengannya, rasa sakit masih bisa dia rasakan. "Apakah ini benar-benar masih tahun dua ribu empat belas?" batinnya risau. "Artinya, aku masih berpacaran dengan Moris dan orang itu adalah kepala divisi pemasaran yang baru. Apakah itu artinya—" "Marsella Hare!" Sella tersentak. Entah sudah panggilan ke berapa hingga kesadarannya bisa kembali dari lamunan. Tiba-tiba saja Sella sudah tidak melihat Moris di sampingnya. Pria itu terlihat kembali ke kubikel tempatnya bekerja, sedangkan dia masih menjalani interogasi di kantor kepala divisinya. "Kau bisa ceritakan, apa yang terjadi padamu?" tanya pria itu, terdengar lebih ramah daripada saat masih ada Moris di dalam ruangan itu. Sella hanya menatap manik cokelat mata pria itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dia bingung, karena saat pria itu masuk menjadi kandidat kuat calon kepala divisinya, dia seharusnya dimutasi ke bagian lain. "Kau tidak mengenalku, tapi aku tahu siapa kau," ucap pria itu sambil berkeliling, seolah-olah dari luar yang terlihat dari dinding kaca, dia sedang memarahi Sella. "Anda Erick Halton. Pria keturunan campuran Indonesia dan Inggris yang menjabat sebagai Kepala Divisi Pemasaran di kantor ini," ujar Sella, melanjutkan tebakannya yang sempat terpotong panggilan pria itu, "Ternyata ingatanmu cukup tajam, meskipun telah lama berlalu." Pria yang disebutkan namanya langsung menoleh pada Sella. Merasa puas dengan jawaban perempuan itu, meskipun tatapannya masih linglung. Erick segera duduk di kursi, sedangkan Sella masih tetap berdiri. Mereka bertatapan dalam waktu beberapa saat, hingga akhirnya Sella beralih dengan menunduk. "Aku tahu, kau seharusnya sudah mati, tepat di tanggal dan hari yang sama. Akan tetapi ...." Alih-alih melanjutkan perkataannya, pria itu malah diam dan langsung tersenyum saat Sella terlihat mendongak dengan wajah kaget. Sella merasa bulu kuduknya meremang, seolah ada yang baru saja meneteskan es ke atas permukaan kulitnya. Mendengar ucapan yang sama persis dengan kejadian yang menimpanya—beberapa jam lalu bila dikalkulasikan dari waktu dia mulai tersadar. "Kau tahu, apa yang sebenarnya ...." Sella tampak ragu membagi rahasianya. Namun, saat melihat senyuman yang terpancar dari raut wajah pria di hadapannya, Sella segera sadar bahwa Erick bahkan lebih misterius dari yang dia duga. "Hidupmu menderita dan mati setelah menikah dengan Moris. Nasib itu tidak bisa dihindari, kalau kau tidak mengubah alurnya dimulai dari sekarang." "Aku akan putus dengannya, pernikahan itu tidak akan pernah terjadi," sahut Sella penuh kepercayaan diri. "Kau kira akan semudah itu? Dia bahkan jauh lebih berbahaya dari yang pernah kau bayangkan, Sella. Aku hanya memperingatkan, tentu saja demi kebaikan dirimu sendiri." Erick meletakkan sebuah map ke hadapan Sella, memberikan kode agar perempuan berpenampilan rapi dan enerjik di hadapannya bisa memikirkan dengan bijak, apa yang baru saja dia katakan. Sella memperhatikan dengan seksama pola-pola tulisan yang tertera pada sampulnya. Dia segera paham, berkas ini pula yang membuatnya dekat dengan pria bernama lengkap Moris Rafael itu. Entah bagaimana pula awal mulanya, hingga dia tertarik dan bersedia untuk berpacaran dengannya. "Kau bisa mulai memperbaiki dari sini, Sella." Erick memberikan saran sambil menyerahkan map yang lain pada Sella. "Aku akan membantumu, tapi dengan sebuah syarat," imbuh pria itu lagi, saat menyadari ekspresi Sella menunjukkan sikap defensif. Mereka tidak mengenal secara dekat, tentu saja Erick memahami karakteristik Sella, ceria hanya luarnya saja. Akan tetapi, dia memiliki alasan lain, kenapa harus menyelamatkan Sella kali ini. "Apa syaratnya?" Sella menarik Map yang ada di hadapannya dengan gerakan ragu-ragu. "Menikahlah kontrak denganku." Jawaban Erick tentu saja membuat Sella sangat terkejut. Dia sama sekali tidak paham kenapa pria itu bisa memberikan syarat seperti itu. Baginya, pernikahan bukanlah lelucon. "Apa! Tunggu, apa alasanmu ingin membantuku?" "Kau tidak perlu tahu. Pikirkan saja baik-baik, karena aku rasa pilihan ini bisa menyelamatkan hidupmu ke depannya," tukas pria itu seraya melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan Sella yang masih menatapnya tidak percaya. "Baik. Aku akan mempertimbangkannya," sahut Sella kemudian, mengakhiri percakapan mereka hari ini. *** Sella izin pulang dari kantor lebih awal. Semua rekannya tampak cemas, begitu pun Rosy, orang yang dikenalnya sebagai sahabat baik—yang kelak akan berkhianat. Sekalipun demikian, Sella tidak bisa menunjukkan kebencian secara membabi buta. Kisah menyedihkan yang menimpanya, bahkan baru akan terjadi sepuluh tahun mendatang. Selesai mandi, Sella membuka lemari di kamarnya. Dia memperhatikan satu persatu pakaian di dalam sana dan mendapati kesemuanya dibeli atas rekomendasi sahabatnya, Rosy. Mata Sella berkaca-kaca penuh murka. Tanpa ampun, dia mulai mengacak-acak isinya, mengoyaknya sampai berserak ke seantero ruangan. Belum puas menghamburkan segala kenangan bersama sahabat yang dulu dianggapnya paling tulus, Sella menyingkirkan semua foto-foto yang mengabadikan momen bersama Rosy maupun Moris. Sella merosot ke bawah ranjang, menangis tergugu ketika menyadari dua orang itu pantas mendapatkan balasan. "Aku tidak akan membuat hidup kalian menjadi mudah. Terutama kau, Rosy. Aku tidak akan membiarkan kau memanfaatkan aku demi kariermu lagi!" Tangan Sella mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Sella beralih menuju ke dapur. Hatinya sangat lega saat menyadari rumah yang dulu dia tinggali bersama Moris, kini bisa dinikmati sendirian lagi. Penyuka warna oranye itu segera membuka lemari pendingin, perutnya terasa lapar. Dia mengecek beberapa snack yang tersusun di dalam rak, tanggalnya pun menunjukkan bahwa hari ini benar-benar masih tahun dua ribu empat belas. Selama ini dia sudah bekerja keras dan mencintai dengan tulus orang-orang di sekelilingnya. Mungkin saja malaikat itu tidak rela melihatnya berakhir dengan menyedihkan. Sella makan malam setelah menghangatkannya. Dia merasa kesepian. Kerinduan pada orang tua pun kembali hadir. Dia tidak akan melupakan jasa-jasa keduanya. Sella membuka map yang diserahkan Erick tadi siang. Dia mengira isinya sebuah berkas rahasia mengenai kejahatan Moris ataupun Rosy. Sesuatu yang membuat kedua orang itu masuk penjara, atau paling tidak dienyahkan dari perusahaan. Namun, begitu Sella membuka dan membaca tulisan di atas kertas berukuran A4, yang terdiri dari tiga lembar itu, seolah membuat jantungnya berhenti berdetak. Dia kembali membalik dari halaman depan ke belakang, tetapi tidak menemukan berkas yang lain. "Apa sebenarnya tujuan Erick mau menolongku, sampai menawarkan pernikahan kontrak seperti ini? Apa aku harus menerima tawarannya?" Sella mendesah, menutup map itu lagi, lalu menempatkannya ke atas kulkas. Bulu kuduknya meremang lagi, seolah saat ini pria itu melihat apa yang sedang dia lakukan. Nada notifikasi ponsel membuyarkan lamunan Sella. Perempuan itu mengembuskan napas panjang lalu meraih benda pintar itu dari atas meja. Pesan dari Moris dan Rosy masuk bersamaan. Sella bahkan harus berdecak sebelum membaca isinya. "Jangan lupa, kita udah ada janjian makan bersama. Oya, kebetulan aku ketemu Moris di jalan, kami datang barengan." Bunyi pesan dari Rosy. Sella berdeham pelan. Mulai hari ini dia bertekad harus bisa mengontrol emosi, bila berhadapan dengan dua manusia pengkhianat itu. Setidaknya harus pura-pura tidak tahu, apa yang dilakukan mereka di belakangnya. "Oke, aku sudah di jalan," balas Sella singkat. Sella segera berganti pakaian. Setelah mengubrak-abrik jejak kekacauan yang dia timbulkan tadi sore, dia menemukan gaun yang lumayan indah dipandang mata. Saat ini Sella sudah turun dari taksi. Dia harus menahan diri untuk tidak mendesah kesal, saat sepatunya menginjak genangan air. Beberapa menit lalu gerimis memang turun. Hatinya cukup lega, ternyata masih mengingat momen malam ini. Dulu dia menganggap Moris pria yang sangat baik. Sampai-sampai beberapa kali direpotkan Rosy sebagai temannya pun, pria itu dengan senang hati membantu. Kini, Sella tahu. Drama yang diciptakan Moris dan Rosy telah mengaburkan pengelihatannya, atas bibit pengkhianatan kedua orang itu. Seperti yang dilihatnya malam ini. Seolah, membuka jalinan takdir yang tidak pernah dia sadari sebelumnya. Rosy dan Moris tampak tertawa bersama, menonton sebuah video yang diputar dari ponsel layaknya sepasang kekasih. Jarak mereka begitu dekat. Namun, sepertinya keduanya belum menyadari kedatangan Sella, yang saat ini tengah menatap sinis adegan manis itu dari dinding kaca luar restoran. "Aku akan menggunakan ini sebagai jalan mengubah takdirku, Rosy," gumam Sella menampakan aura dingin. Dia memutuskan untuk segera berjalan memasuki restoran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN