“Yo!” sapa Oase, begitu masuk ke restoran.
Hideo yang sedang mengawasi karyawannya menunjukkan wajah tak senang. “Jangan datang main saat jam operasional.” Apalagi tingkah Oase itu agak aneh. Mahasiswa itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mengendus-endus, sambil memelototi makanan yang tersaji di meja pelanggan, membuat Hideo illfeel.
“Aku datang sebagai tamu.” Namun, ketika Oase berkata demikian, Hideo mengubah sikapnya seketika. “Jika demikian, silakan ikuti saya, Tuan.” Jiwa bisnis Hideo muncul, lengkap dengan senyuman yang mampu membuat beberapa orang pelanggan wanita melirik memuji padanya.
“Sifatmu menyeramkan. Beda sekali saat buka toko dan tutup toko.” Oase refleks mundur, bersikap waspada.
“Pelanggan yang terhormat, silakan ikuti saya ke meja Anda.” Gara-gara respons Oase, Hideo makin emosi. Pandangan matanya sudah menusuk, tapi sikapnya masih tak berubah. Hideo selalu menjaga sikap profesionalnya, tak peduli seburuk apa kepribadiannya yang asli.
Pas melihat itu, Maria yang baru saja membawakan makanan pesanan ke depan segera menarik tangan Oase. “Ayo ikut ke dapur.” Maria mengantisipasi kemungkinan terburuk, membuat Hideo mengamuk misalnya? Soalnya bukannya kenapa-kenapa, Maria hanya cemas hati Oase bakal terluka akibat kalimat menusuk Hideo.
“Wuah, ada banyak makanan.” Oase sendiri sudah bersemangat. Baru kali ini dia masuk ke dapur ketika jam kerja. Langsung duduk di kursi yang biasa ia duduki, melihat-lihat sambil menunggu dengan manis, menebak-nebak makanan apalagi yang akan Maria beri hari ini.
Maria yang selalu ia lihat berpenampilan santai, saat ini mengenakan seragam chef. Rambut yang biasanya hanya dikuncir seadanya, digulung dengan rapi. Dengan cepat, tangannya bergerak memasak pesanan, tubuh mungil namun sedikit berisi itu ternyata sangat lincah dan cekatan. Sikap ramah Maria tak terlalu terlihat, berganti dengan sisi seriusnya. Bukti dari keseriusan wanita itu dalam melakukan pekerjaannya. Satu lagi sisi baik yang Oase temukan dari Maria. Sosok seorang wanita luar biasa yang berusaha keras untuk hal yang ia sukai. Akan tetapi, kecintaannya pada masakan masih bisa terlihat dengan jelas. Oase suka sosok itu, suka melihat sosok Maria yang berbeda dari biasanya.
“Nak, kau siapa?” Lamunan Oase pecah, punggungnya ditepuk oleh seorang laki-laki berumur sekitar pertengahan tiga puluhan, seorang sous chef yang membantu Maria.
“Um, teman Maria...?” jawab Oase ragu, untuk kedua kalinya ditanya hal yang sama.
Laki-laki bernama Wael itu langsung tertawa terbahak-bahak. “Aku mengerti, yang semangat ya!” menepuk punggung Oase berkali-kali, lebih keras dari yang tadi. Oase bingung jadinya, semangat buat apa?
Wael salah paham padanya, mengira kalau Oase tengah melakukan pendekatan pada Maria dan Maria terlalu tidak peka akan perasaan pemuda itu. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya, ketika Maria bersikap terlalu baik pada seorang tamu, orang itu malah salah paham sendiri. Berakhir terluka saat penyataan cintanya ditolak dengan alasan Maria hanya ingin memeliharanya, bukan ingin dijadikan pacar.
Padahal, kenyataannya hubungan Maria dan Oase saat ini sudah menjadi mutual. Keduanya tak butuh pacar dan tak berusaha memilikinya. Maria hanya butuh sosok manis yang bisa ia rawat untuk memuaskan naluri dalam dirinya dan Oase hanya butuh makanan enak.
“Spaghetti untuk hari ini ya?” Maria meletakkan sebuah piring di atas meja, menjamu Oase ketika pesanan sudah mulai sepi. Jam sibuk mereka tampaknya sudah lewat.
Wael juga sudah meninggalkan dapur untuk beristirahat, sekalian memberi kesempatan pada mereka agar bisa berduaan. Laki-laki itu memang suka seperti itu, menilai segala sesuatu hanya dari sudut pandangnya dan bertindak membantu dengan caranya sendiri.
Maria yang sudah paham sifat rekan kerjanya itu hanya tertawa geli, membiarkan Wael salah paham. Menerima niat baiknya sudah cukup bagi Maria, tak masalah apa itu ada gunanya atau tidak untuknya.
“Enak,” komentar Oase ketika piringnya sudah kosong.
Maria mengambil sebuah toples, memberikannya ke Oase. “Ini untuk camilan di rumah ya.” Isi dari toples itu terlihat agak mencurigakan, sekalipun sudah Oase buka dan endus, ia masih tak bisa menebak cookies apa itu.
“Terima kasih, kayaknya enak.” Oase makin senang, menemukan jenis makanan baru yang belum pernah ia coba. Tangan Oase lantas meronggoh, mencari beberapa lembar tiket dari sakunya. Salah satu alasan kenapa ia datang hari ini. Tiket itu diserahkan pada Maria dua lembar, sisanya disimpan untuk diberikan kepada temannya. “Ini, kalau sempat, datang nonton ya!”
Maria menerimanya, mengerutkan alis. “Aku diajak nonton sama-sama?” Maria menarik kesimpulan, menebak bahwa Oase sedang mengajaknya. Namun, Oase menggeleng, mencomot satu cookies dan dimasukkan ke mulutnya. “Enggak, aku ikut manggung. Di babak ke tiga, solo piano.” Dan barulah menjawab setelah ia selesai mengunyah.
“Sungguhan?” Maria kaget, ia tahu Oase mengambil jurusan keyboard instruments dari isi tas yang pernah ia pungut, tapi Maria tak pernah menyangka bahwa permainan Oase cukup bagus untuk naik ke atas panggung. Apalagi ini adalah konser tahunan yang cukup besar, gabungan dari ratusan musisi dan beberapa orkestra veteran.
“Ini apa? Enak!” Oase juga kaget di saat yang sama, comot cookies kedua. Terkejut akan rasa unik dari cookies anjing yang Maria berikan padanya dengan tujuan iseng.
“Aku akan pergi nonton!”
“Cookies-nya ada lagi?”
Keduanya bersemangat untuk hal yang berbeda, bikin Hideo yang mengintip terpaku. Geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. Sedikit mengernyit melihat mulut Oase yang lebih banyak mengunyah daripada berbicara, satu toples habis dalam waktu lima menit.
“Aku akan mengajak Hideo.” Tak lama, Maria memutuskan secara sepihak.
Oase mengangguk saja, mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang bisa dan boleh dimakan. “Oh, Hideo. Ada apa?” Namun, yang ditemukan malah sosok Hideo yang sedang mengintip.
“Tidak, hanya mengecek apa yang kalian lakukan.” Mau tak mau, Hideo terpaksa bergabung dengan mereka.
Maria segera mendekatinya, menggenggam tangan Hideo antusias. “Ayo pergi nonton konser Oase.” Hideo menarik tangannya kasar, “Tidak mau.” menolak. Laki-laki menyebalkan itu tak suka nonton konser klasik yang hanya ada bunyi instrumen tanpa ada liriknya.
“Baiklah! Sudah diputuskan.” Maria tak peduli, pura-pura tak dengar. Tangannya ia kepalkan, diangkat tinggi-tinggi penuh semangat.
“Hei! Aku tidak bilang mau pergi!” Hideo memprotes.
“Masih ada makanan?” Oase malah sibuk sendiri dengan perutnya.
Wael yang baru kembali dari istirahat terpaku di depan pintu, mukanya datar. Kehilangan kata-kata melihat kekacauan di sana. Ketiga manusia itu malah sibuk bicara sendiri tanpa ada yang mau mendengarkan. Maria sibuk membuat rencana pergi konser yang Hideo terus tolak dan Oase yang minta ditonton konsernya itu malah terus saja ciap-ciap seperti anak ayam minta makan.
***
Malam itu, akhirnya Hideo berhasil diseret Maria untuk pergi nonton konser Oase. Mereka mengambil katalog di pintu depan, Hideo membacanya sendiri. Sedangkan Maria sudah terhanyut dengan penampilan pertama. Duet violin dan cello yang menurut Hideo tak bagus-bagus amat.
“Anak itu hanya main satu lagu untuk penutup.” Hideo mendengus usai membaca katalog, kesal setelah mengetahui kalau Oase hanya membawakan satu instrumen, tapi berlagak mengundang mereka segala. “Kita harus duduk selama tiga jam hanya untuk mendengarkannya bermain selama sepuluh menit.” Keluhan pun lolos dari mulut Hideo.
“Tak apa-apa, kan, sudah bagus bisa main satu lagu. Jangan berisik, Hideo.” Maria menganggap keluhan Hideo sebagai angin lalu. Wanita cantik itu suka mendengarkan konser, baginya tak masalah apa Oase main berapa kali. Mendapatkan tiket pertunjukan sebesar ini secara cuma-cuma saja sudah bagus.
“Tapi ini membosankan.” Hideo mulai mengeluh lagi, “Memangnya permainan Oase bagus?’ meragukan kemampuan Oase. Ia merasa tak ada gunanya datang hanya untuk menunggu permainan yang belum tentu bagus.
“Tidak tahu, aku tak berharap banyak sih.” Kekesalan Hideo bertambah saat tahu Maria bahkan lebih meragukan Oase daripada dia.
Namun, ketika akhirnya Oase naik ke atas panggung, mereka berdua tak mampu memalingkan mata dari panggung, terpesona pada permainan luar biasa indah itu. Sama halnya dengan para penonton yang lain. Tak ada yang bersuara, semuanya terkagum-kagum akan teknik dan bunyi yang dihasilkan oleh jari-jari lelaki manis itu.
Usai pertunjukan, buket-buket bunga dilemparkan ke atas panggung, tepuk tangan begitu meriah hingga mampu menelan suara lainnya.
“Wow, bukan hanya bisa main, tapi luar biasa,” puji Hideo. Laki-laki yang tak punya ketertarikan akan musik itu bahkan tahu betapa bagusnya alunan musik yang Oase mainkan. Apalagi Maria yang memang merupakan salah satu fans? Wanita itu sudah tak bisa berkata-kata, terlalu takjub. Matanya tak kedip hingga lampu dinyalakan dan penonton sudah mulai bersiap-siap untuk pulang.
“Maria! Ayo pulang!” Hideo menyenggol tangan Maria, menyadarkan wanita itu.
“Eh, iya. Aku kaget, Oase kelihatan berbeda.” Namun, hanya kesadarannya saja yang terbangun, sedangkan sisa-sisa euforia yang Maria rasakan masih ada.
Hideo jadi cemberut, tak senang melihat Maria yang terpesona pada Oase. Selama ini, Hideo meremahkannya, mengira bahwa pemuda itu tak akan pernah bisa membuat Maria melihatnya sebagai seorang laki-laki dan hari ini, setelah melihat kelebihan Oase yang bahkan tak bisa ia sangkal membuat Hideo mau tak mau mengakui Oase sebagai rivalnya. Bukan lagi seorang yang patut ia kasihani karena bahkan tak dianggap sebagai manusia oleh Maria.
“Itu hanya efek cahaya dan kemeriahan panggung.”
“Tapi Oase benar-benar luar biasa. Dia terlihat bersinar.”
“Iya, iya, sinar dari lampu sorot.”
“Bukan itu, kau lihat sendiri tadi. Penonton yang lain juga memujinya.”
Lama kelamaan, mendengar Maria yang terus saja memuji Oase, membuat Hideo kehilangan kesabarannya. Mantan pacar Maria itu, menarik tangan Maria agar berdiri, menyeretnya ke pintu keluar.
“Dia hanya anak kecil, Maria. Sampai kemarin kau bahkan memperlakukannya seperti anak anjing. Jangan berlebihan.” Kata-kata penuh penekanan itu dilontarkan Hideo tanpa bisa ia tahan, Hideo tak ingin sampai Maria menyukai Oase.Ia bahkan berusaha secepatnya untuk membawa Maria keluar dari sana, khawatir kalau-kalau mereka tak sengaja bertemu dengan Oase jika terus berada di gedung pertunjukan itu. Insting Hideo merasa bahwa hati Maria akan tersenggol sedikit jika saja sampai melihat Oase dengan penampilan yang begitu menawan dari jarak dekat.
“Aku tahu kok. Aku hanya kaget, anak anjingku sudah dewasa sekarang.” Namun, ketika Maria membalas perkataannya, Hideo menjadi sedikit lebih tenang.
Syukurlah, Maria masih tak melihat Oase sebagai seorang manusia, dan tentunya tidak juga sebagai seorang laki-laki. “Sudah kukatakan, jangan samakan manusia dengan binatang.” Di sisi lain, hal itu membuat Hideo menjadi marah pada dirinya sendiri, merasa bodoh karena sempat cemburu pada Oase yang tak tahu apa-apa.
“Apa sih! Padahal tadi kau juga mengatakan hal yang sama.”
“Aku tidak. Ayo pulang.”
Pada akhirnya, Hideo tetap menyeret Maria pulang. Tak peduli apa pun pemikiran Maria, kewaspadaannya tak akan ia turunkan. Hideo tak buta, ia tahu kata-kata Maria tak datang dari hati. Mesti merasa lega mengetahui bahwa Maria masih melihat Oase sama seperti sebelumnya, tapi ia juga tahu bahwa Maria hanya terlalu tidak peka untuk memahami dirinya sendiri.
Itu bukan perasaan bahagia seorang tuan yang melihat perkembangan peliharaannya, dasar bodoh, umpat Hideo dalam hati.