CHAPTER 3

1599 Kata
Oase kembali lagi menemui Maria di hari ketiga. Sesuai perkataannya, ia akan datang membawakan pengganti dari keju yang ia makan. Kali ini Oase membawa sekardus buah-buahan, teringat pada isi kulkas Maria. Hari ini, pintu depan tidak dikunci seperti kemarin. Malahan terbuka sedikit, jadinya Oase langsung masuk saja. Melebarkan pintu menggunakan kaki, “Maria! Aku bawakan buah nih!” memanggil dengan pelan seperti tidak ada niat memanggil. Tak lama, suara langkah kaki terdengar mendekat. “Maria sedang keluar membeli rempah, kau siapa?” Hideo yang datang, bukan Maria. Oase menatap dengan datar, “Oase!” mengenalkan dirinya. Hideo menatap meneliti dari ujung kaki hingga ujung rambut, bak seorang ayah yang tengah menilai calon menantu. Dia bersedekap di depan Oase, tinggi mereka sama, jadinya mau tak mau mata mereka jadi bertemu pandang. Tak lama, wajah Hideo menjadi sinis, “Kau siapa?” ia mengulang pertanyaan yang tak Oase jawab tadi. Hideo merasa familier dengan wajah Oase, tapi dia tak ingat siapa lelaki muda di hadapannya itu. Seorang pelanggan? Hideo tak yakin, sebab seorang pelanggan tak akan datang dua jam sebelum jam buka toko, tak akan masuk dengan santainya memanggil Maria. Penampilan Oase rapi, simple dan santai. Rambutnya terlihat fluffy dan halus, berwarna cokelat terang, dengan kulit putih yang mulus, dari aksennya terdengar seperti orang asing. Tubuh tinggi dengan postur yang bagus, tidak kurus, tidak juga gemuk, malahan terlihat ideal dan menarik. Wajahnya bisa digolongkan dalam kategori manis, ada sedikit aura-aura binatang kecil minta diperhatikan. Hideo yang awalnya mau menginterogasi jadi ragu. Tatapan sinis Hideo berubah jadi ngeri setelah lima menit mereka saling tatap. Oase tak bergerak, diam seperti patung di sana, membuat Hideo mulai merasa waswas. Menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran Oase, sedikit curiga adanya niat terselubung. Di sisi lain, Oase masih saja bergelut dengan pikirannya sendiri. Bingung mencari jawaban dari pertanyaan Hideo. Seingat Oase, laki-laki dewasa itu pernah ia temui dua hari lalu, yang mungkin saja keluarga Maria. Takutnya, salah-salah dia malah dicap orang mencurigakan dan dilarang untuk menemui Maria. Oase tak mau itu sampai terjadi. “Katakan sesuatu!” Hideo mulai frustrasi, ia lebih dulu mengalihkan pandangan. Oase berhenti berpikir seketika mendengar bentakan Hideo. “Habis aku bingung mau jawab apa.” Akhirnya menjawab dengan ambigu. “Aku tidak tahu apa aku boleh bilang aku temannya Maria, soalnya aku rasa, Maria tidak melihatku sebagai teman. Menurutmu gimana?” Ia berbalik bertanya pada Hideo, masih dengan ekspresi wajah tak terbaca dan intonasi suara yang datar. Hideo makin bingung, ragu apakah Oase itu bodoh atau hanya kurang memahami bahasa lokal hingga kalimatnya membingungkan. Mengingat dia terlihat mirip dengan orang asing dan memang banyak mahasiswa asing yang datang belajar jauh-jauh ke kampus dekat restoran mereka. Hideo tak jarang bertemu dengan pengunjung yang menggunakan bahasa asing, bahasa isyarat hingga memakai gambar dan aplikasi translate untuk memesan. Masuk akal jika Oase juga salah satu dari keajaiban itu. “Apa Maria berkata dia temanmu?” Hideo mengubah pertanyaannya, menurunkan nada bicaranya. Kalah oleh tekanan aura binatang kecil Oase. Sedikit banyak, Hideo bisa menerka, bagaimana bisa Oase dan Maria menjalin hubungan yang dikatakan teman tapi dirasa bukan. Mungkin maksud Oase, mereka berpacaran. Entahlah, laki-laki itu kurang paham. Oase menggeleng, mulai makan buah yang ia bawa untuk Maria, terlalu lama berdiri membuatnya lapar. “Mungkin dia mengira aku peliharaannya, hem... apa iya?” Kepala Oase jatuh ke kanan dan ke kiri, mirip mainan yang ada pegas di bawahnya. Ah! Hideo mendapat pencerahan setelah mendengar kata peliharaan. Kalau itu mungkin saja, sebab seingat Hideo, Maria sangat sering memungut anak anjing dan terkadang memungut manusia yang mirip anak anjing. “Mungkin saja,” Hideo mengiyakan, Oase mengangguk lagi. “Sudah aku duga.” Terima begitu saja disamakan dengan binatang peliharaan. Hideo yang tak enak jadinya, merasa bersalah sebagai ganti Maria, “Tolong jangan dimasukkan ke hati, Maria sebenarnya wanita yang baik.” Hideo lantas meminta maaf. Oase terdiam bingung, dia merasa ada perbedaan pola pikir dan alur percakapan dengan Hideo. “Iya, aku tahu.” Tapi ya sudahlah, Oase tak mau peduli. “Kalau begitu, untuk apa kau datang?” Hideo juga sudah tak menganggapnya sebagai orang mencurigakan. Laki-laki itu kini mengurangi jarak dengan Oase, matanya berpindah fokus ke kardus berisi buah yang sudah dimakan seper empatnya oleh Oase. “Apa Maria menyuruhmu membeli persediaan buah?” Hideo agak ragu, apa itu titipan Maria atau bukan. Mengingat Oase tengah memakannya dan biasanya mereka selalu memesan di toko langganan mereka dan diantarkan pagi-pagi sekali. “Bukan, ini had – “ Perut Oase berbunyi dengan nyaring sebelum ia sempat menjawab deretan pertanyaan Hideo. Di saat yang sama, Oase tersadar akan kelakuannya. Lagi-lagi, ia memakan hadiah yang ia bawa untuk Maria. Oase tertunduk lemas, merasa bersalah sekaligus kelaparan. Serius. Benar-benar terlihat seperti anak anjing terlantar, membuat Hideo merasa kasihan. “Mau makan ini?” Refleks Hideo mengambil beberapa roti rosetta dari dapur, memberi makan Oase. Entah kenapa rasanya kali ini Hideo bisa sedikit memahami perasaan Maria. Kebaikan Hideo membuat Oase menjadi jinak, mata mati itu kini menatap lebih hangat ke Hideo. “Mau!” Seolah laki-laki itu adalah tuannya, antusias Oase akan makanan mengalahkan segalanya. Tanpa rasa sungkan, Oase langsung menggigit roti yang masih berada di tangan lelaki itu saat Hideo menyerahkannya. Hideo kaget, tak tahu harus bagaimana bersikap. Hanya diam saja membiarkan Oase makan seperti itu. Secara alamiah, tangan Hideo mengambilkan lagi roti kedua dan disuapi ke Oase, ia merasa seperti memberi makan kambing di kebun binatang. Bertepatan dengan itu, Maria yang baru saja pulang masuk ke dalam. “Maaf lama, ayo kita mulai menggilingnya.” Membawa sebungkus besar rempah-rempah yang rencananya akan ia giling bersama dengan Hideo. Wanita pencinta binatang kecil itu menghentikan langkahnya ketika melihat pemandangan di mana sahabatnya tengah menyuapi Oase. “Kalian sedang apa?” tanya Maria, heran. Mengapa Oase tak makan sendiri? “Memberi makan peliharaanmu...?” jawab Hideo tak yakin, sama herannya dengan Maria. Tak paham kenapa dia bisa berakhir mengurus Oase, padahal dia bukan penyayang binatang kecil seperti Maria. “Muach... muach... sualamat duatang.” Oase menyambut Maria sambil mengunyah, yang disambut dengan tawa oleh wanita itu. Maria lantas menghampiri mereka, memainkan rambut Oase dengan gemasnya. Tangannya bergerak refleks mengambil roti dari Hideo, “Oase, ah... buka mulutmu.” memberi makan Oase dengan cara yang sama dengan Hideo. Setelahnya, Maria menyenggol lengan Hideo. “Oase lucukan? Sekarang kau bisa memahami perasaanku, kan? Pesona binatang kecil itu luar biasa. Iyakan, Hideo?” bicara seolah-olah Oase yang ia bahas tak ada di sana, tak sedang ia suapi. Hideo menghela napas lelah, mau tak mau mengakui pesona mengerikan dari makhluk yang minta dirawat itu. “Iya, iya. Tapi dia manusia, perlakukanlah Oase seperti manusia.” Meski dia memang mirip anak anjing. “Aku akan menggiling rempah itu, kau bisa lanjut memberinya makan.” Hideo kemudian meninggalkan mereka, membawa rempah yang Maria beli. Sedangkan Maria langsung menoleh ke Oase, “Aku memperlakukan mu seperti manusia, kan?” meminta pendapat pemuda yang tengah sibuk mengunyah itu. Oase mengangguk sambil makan, baginya selama diberi makan makanan manusia, maka dia masih dianggap sebagai manusia. Setelah puas makan, Oase berpamitan pergi ke kampus. Meninggalkan Maria dan Hideo yang sudah sibuk kembali bekerja, dia berjanji akan datang lagi besok. *** “Anak itu, jangan bilang dia anak anjing kau pungut tiga hari lalu?” Tanya Hideo ketika Oase telah pergi, baru ingat kalau mereka pernah bertemu sebelumnya. Tepat tiga hari yang lalu. Maria menepuk tangannya, tertawa lebar dengan aura berbunga-bunga. “Dia lucukan? Rambut Oase mirip bulu pomeranian!” Hideo jadi lelah, “Oase bukan anjing, jangan jadikan anak orang mainan.” Dalam hati merasa kasihan pada Oase. Wajah yang selalu terlihat kesal itu membuat Maria sebal, Hideo memang tak ada manis-manisnya sama sekali. Laki-laki yang sudah Maria kenal sejak muda itu selalu saja mengucapkan hal yang menyebalkan. Memprotes tentang kesukaan Maria terhadap binatang kecil tanpa mau memahaminya. Tidak seperti Oase yang manis dan menyenangkan. Meski tak banyak bicara, tapi pemuda yang lebih muda lima tahun darinya itu sangat patuh pada Maria, tak pernah marah atau mengeluh. Sangat berbanding terbalik dengan Hideo. “Aku tidak mempermainkan Oase kok. Lihat, aku akan membuatkannya cookies.” Balas Maria, mengabaikan segala omelan Hideo, wanita itu malah sibuk sendiri mengumpulkan bahan untuk membuat cookies, membuat Hideo mendelik curiga ketika melihat bahan-bahan yang Maria siapkan. “Maria, dengar, aku memang tidak bisa memasak. Tapi aku jelas tahu kalau membuat cookies yang normal tak butuh daging dan wheat germ.” Dengan segera ia mencoba menghentikan Maria sebelum temannya itu membuat cookies mencurigakan untuk Oase. Takutnya anak itu sakit perut dan reputasi restoran jadi jatuh. Maria masih saja terlihat bahagia, tertawa dengan riang. “Ini cookies daging, enak kok. Kau bisa memakannya juga kalau sudah jadi.” Semangatnya meluap-luap, mulai mengoceh ini itu sambil mencampurkan  bahan-bahan. Lama kelamaan, Hideo menyerah sendiri. Akhirnya dia membiarkan Maria membuat cookies daging itu. Yang jelas, Hideo tak akan mau mencobanya. Laki-laki dengan wajah tampan dan penampilan yang stylist ini mungkin terlihat bagus dan menawan saat diam. Namun ketika berbicara, mulutnya tak ada saringan dan yang jelas Hideo tidak pernah tahu cara menyenangkan hati seorang wanita. Mungkin karena itulah, meski keduanya pernah saling jatuh cinta satu sama lainnya, hubungan mereka tidak berhasil. Maria terlalu bebas, bersemangat dan keras kepala untuk orang seperti Hideo. Sama halnya bagi Maria, Hideo yang terlalu banyak menuntut dan tak bisa bersikap baik itu membuatnya merasa sulit mempercayai perasaan lelaki itu. Pada akhirnya, menjadi seorang sahabat dan membangun bisnis bersama jauh lebih cocok untuk mereka berdua. Selama tidak melibatkan perasaan dan hubungan romantis, mereka berdua bisa saling berkompromi. Masalah perbedaan sifat dan cara pandang tak lagi jadi masalah dan entah sejak kapan semuanya berjalan dengan baik hingga hari ini.                  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN