“Eh!?” Oase berdiri di depan restoran Maria yang terkunci. Baru sadar bahwa di dinding samping pintu tertera tulisan jam buka dan keterangan libur setiap hari Minggu. Tulisan dengan papan kayu yang tak pernah ia lirik sedikit pun.
“Dasar bodoh, masa hari liburnya saja kau tak tahu.” Ciro yang datang menemani Oase memukul kepala Oase dengan telapak tangannya.
“Ayo kita makan di tempat lain saja.” Kemudian Ciro menarik tangan Oase, diseret mengikutinya ke sebuah restoran lokal.
“Di sini saja, ayam gorengnya terkenal enak.” Ciro merekomendasikan makanan paling aman yang pasti disukai oleh siapa saja, tapi tetap saja, Oase menatapnya tak puas. Membuat Ciro makin kesal, mengingat betapa tak sinkronisasinya muka datar teman yang baru ia kenal selama beberapa bulan itu.
“Jadi kau maunya apa!?” Ciro menaikan nada bicaranya.
“Aku, kan tidak bilang apa-apa.” Hal itu sama sekali tak mengganggu Oase.
“Ayam goreng juga boleh kok.” Malahan, Oase sudah membuka pintu lebih dulu, hidungnya mengendus secara refleks terpikat pada aroma ayam goreng yang memenuhi ruangan dengan begitu banyak meja dan kursi tersebut.
“Matamu berkata lain. Bisa tidak, kalau mengubah cara tatap, ekspresimu juga diubah.” Laki-laki berambut ikal itu jadi merasa bodoh sendiri sempat emosi tadi, harusnya ia yang paling tahu betapa omnivora dan rakusnya Oase.
“Ekspresi aku berubah-ubah kok.” Oase duduk di meja paling dekat dengan pintu, ambil buku menu sebelum pelayan datang. Diikuti oleh Ciro, mereka memesan semua menu yang ada demi memenuhi perut Oase yang kini tengah berbunyi tanda kelaparan.
Ciro mendengus. “Apanya?” Seingat Ciro, muka Oase tak pernah berubah. Mau itu senang, sedih, marah, kesal, ngantuk atau kelaparan pun, satu-satunya bagian wajah Oase yang menunjukkan perubahan hanya matanya. Misalnya, saat lapar jadi mirip ikan mati, saat main musik jadi agak dingin dan serius, saat ada makanan jadi berbinar-binar layaknya heroine manga tahun 90-an. Selain itu, mata Oase seperti kosong, tampak menerawang ke dunia lain.
“Lihat baik-baik, Ciro.” Demi meyakinkan Ciro, Oase meraup kedua pipi temannya. Menarik wajah ketus itu hingga ke depan wajahnya.
“Ekspresi aku sekarang sedang senang.” Oase ingin menunjukkan wajah senangnya dengan lebih jelas, ingin Ciro bisa melihat bagian ujung bibirnya yang sedikit tertarik membuat sebuah senyuman.
“Masih sama.” Ciro yakin tak ada bedanya muka Oase dengan yang biasanya. Mata kosong itu tetap saja menyebalkan dan nada bicara seperti sedang baca buku pedoman hidup itu masih memprihatinkan.
Mereka berdua sibuk bertatap-tatapan dengan posisi yang sama, menunggu pesanan datang dengan usaha meyakinkan Ciro akan adanya perubahan mimik pada wajah Oase yang Ciro yakini memang tak ada.
Mereka sama sekali tak memerhatikan sekeliling. Tidak sadar akan tatapan pengunjung di sekitar mereka. Tidak juga mendengar suara pintu terbuka yang berada di belakang Ciro. Oase yang arah pandangannya harusnya strategis pun, tidak menyadari kedatangan Maria.
Wanita itu kini sudah duduk di antara Ciro dan Oase, bertopang dagu menahan tawa. “Kalian main tatap-tatapan, ya?” Dan ketika Maria melontarkan pertanyaannya, Ciro refleks mendorong wajah Oase dengan telapak tangan.
“Siapa?” tanya Ciro, waspada. Menatap penuh meneliti pada wanita dewasa yang tengah tertawa sambil memainkan rambut Oase. Muka temannya itu, masih saja menyebalkan di mata Ciro.
“Maria Kanna, kamu bisa memanggilku Maria, sama seperti Oase.” Maria berhenti memainkan bulu kepala Oase sejenak, mengulurkan tangan kanannya untuk berkenalan dengan Ciro.
Tatapan Ciro makin tak menyenangkan, mirip seperti ibu tiri. Laki-laki itu teringat akan cerita Oase mengenai seorang wanita yang baru-baru ini memperlakukan temannya itu seperti puppy. Meski Oase terlihat tak masalah, tapi sebagai seorang teman, Ciro tidak bisa membiarkannya. Bisa-bisa itu jadi kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan.
“Oase bukan puppy!” Ciro menepis tangan Maria, mulutnya nyolot.
“Mulai sekarang jangan beri dia makan lagi. Kalau Oase lapar, dia bisa beli sendiri.” Ciro benar-benar bertingkah seperti ibu Oase.
“Aku senang diberi makan. Kalau beli, menunya tak lengkap.” Sedangkan Oase tak terima, dia membantah. Sebagai seorang manusia yang dengan bangga meletakkan makanan dalam prioritas utama hidupnya, Oase tak peduli soal pandangan Ciro mengenai hubungan tuan dan peliharaan itu dengan Maria.
“Oase, diam!” Ciro membentak, dengan tekat kuat untuk mendidik Oase.
“Tapi aku mencintai masakan Maria.” Oase tentunya bebal, tak ada didikan yang bisa masuk selain didikan sang Bunda.
“Sudah, sudah, jangan bertengkar.” Maria mencoba melerai, kasihan melihat pelayan yang ingin membawakan pesanan mereka, tapi tak berani mendekat. Masih dengan tawa, Maria mengusap kepala Ciro dan Oase sekaligus. Memperlakukan mereka yang hanya lima tahun di bawahnya itu seperti anak-anak.
“Aku akan memperlakukan Oase seperti manusia, kalau begitu tak masalahkan? Memberi makan Oase.” Ciro semakin bete, menepis tangan Maria jauh, tak seperti temannya yang malah mendekatkan kepala kepada Maria. Oase bahagia dimanja-manja.
“Terserah!” Melihat itu, Ciro merasa lelah sendiri, khawatir pada orang yang tak ingin dicemaskan.
***
Setelah mereka selesai makan, Ciro pulang lebih dulu karena kesal dengan Maria. Meninggalkan temannya pada wanita yang tidak ia sukai. Yang penting Oase bahagia, Ciro bahkan mulai berpikir bahwa Oase memang suka petted and pampered oleh Maria. Mungkin temannya itu terlahir salah sebagai manusia, harusnya Oase lahir jadi maltese saja.
Maria mengajak Oase ke pusat perbelanjaan. Maria ingin membeli biji kopi dan dia butuh tukang angkut belanjaannya. Itulah sebabnya, ketika melihat Oase dari kaca jendela restoran, ia segera masuk dan ikut makan dengan mereka.
“Kemarikan tanganmu.” Maria mengulurkan tangannya untuk Oase gandeng, khawatir pemuda berwajah manis itu tersesat setelah melihat tingkah Oase yang sedikit-sedikit menoleh setiap melihat ada penjual makanan.
Oase menerima uluran tangan Maria seperti anak kecil, dia mengangkut sekarung biji kopi itu di atas pundaknya dengan satu tangan seolah karung seberat 25 kg itu tak berarti apa-apa.
“Ada toko kue, mampir yuk!” Oase bahkan masih bersemangat untuk singgah membeli kue. Pemandangan itu membuat Maria geli.
“Iya, tapi dibawa pulang ya.” Namun, tetap saja Maria masuk ke toko kue itu dan membelikan beberapa potong untuk Oase.
Setelah itu, mereka singgah ke restoran untuk menyimpan biji kopi, berlanjut dengan makan kue bersama sambil mengobrol menghabiskan waktu luang.
“Permainanmu bagus, aku suka.” Maria kemudian memuji permainan piano Oase saat konser tempo hari.
“Aku ingin mendengarnya sekali lagi.” Jadinya Oase kesenangan, hatinya berbunga-bunga. Padahal itu bukan pertama kalinya permainannya dipuji, tapi terasa spesial saat kalimat itu masuk ke telinganya saat ini.
Tawa lepas Maria begitu menyejukkan. “Aku juga suka,” tanpa sadar Oase bergumam, menjatuhkan kepala di atas meja, menatap penuh arti ke wanita cantik di hadapannya itu. “Suka masakan kamu.” Oase baru menyambung kalimat ambigu itu saat tawa dan ocehan Maria terhenti.
“Eh!? Oh, iya.” Maria jadi gugup, mungkin karena tatapan kosong Oase terasa sangat hidup hari ini. Ada pantulan dirinya di mata besar itu.
“Huaaa, kau punya bulu mata yang panjang.” Sayangnya efek itu tak bertahan lama. Semenit setelahnya, Maria sudah berpindah fokus saat menemukan betapa lentiknya bulu mata Oase.
“Coba saja kau lebih sering tersenyum.” Jari-jari Maria sudah berpindah ke pipi Oase, menyentuhnya penasaran sambil memerhatikan wajah laki-laki manis di hadapannya itu.
Maria selalu takjub pada halusnya rambut khas bulu anjing Oase, juga pada mata berbinar bahagia saat Oase makan. Dan sekarang ia mulai menemukan lebih banyak alasan untuk menyukai Oase. Kulit Oase begitu halus seperti kulit gadis belia, putih mulus tanpa adanya bercak apa pun. Wajahnya manis mirip perempuan, tapi tidak sampai cantik dan bila diteliti lebih jauh, Maria masih bisa menemukan sisi maskulin dari wajah itu.
Setelah puas meneliti wajah Oase, tangan Maria mulai menjalar ke bawah, meraba pundak, punggung, d**a dan perut Oase. “Kamu punya ABS!” Dan sekali lagi, Maria takjub. Tak pernah menyangka bahwa seorang Oase yang bisa pingsan di jalan hanya karena kelaparan, memiliki tubuh yang atletis.
Oase cemberut. “Aku, kan sering melatih tubuh. Perintah Bunda, kalau tidak, nanti disuruh diet ketat.” Mulai merasa sebal pada cara Maria memandangnya. Padahal biasanya dia tak peduli selama diberi makan, tapi kali ini tumben-tumbenan Oase peduli mengetahui bahwa Maria memandangnya terlalu remeh.
“Kamu anak bunda sih ya.” Maria malah tak sadar dengan kesebalan Oase, soalnya di mata Maria, ekspresi Oase masih sama saja, datar. Malahan, dia lebih fokus ke kalimat yang Oase lontarkan. Teringat akan seringnya Oase menyebut kata ‘bunda’. Maria mulai berpikir bahwa Oase memang asalnya dimanja sekali, hingga sudah tinggal mandiri saja masih memutuskan segala sesuatu berdasarkan keputusan orang tua.
“Bukan begitu! Diet ala Bunda itu lebih kejam dari karantina agen khusus. Aku takut....” Oase langsung berusaha meluruskan saat melihat perubahan reaksi Maria, tapi karena perkataannya sulit untuk diterima oleh akal sehat dan suara Oase makin mencicit di akhir kalimat, hasilnya malah membuat nilai Oase yang baru saja naik di mata Maria, turun lagi kurang dari satu jam.
Kepala Oase kemudian dibelai, punggungnya ditepuk penuh perhatian atas dasar rasa iba. “Tak apa-apa, Oase. Setiap orang punya waktu yang berbeda-beda untuk dewasa.” Maria bahkan tersenyum amat manis dan tulus untuk menghiburnya, tapi semua kebaikan yang Oase suka itu, kini malah membuat harga dirinya pecah berkeping-keping. Kepala Oase tertunduk dengan lemas, tak sanggup berkata-kata. Takutnya ia salah ucap dan membuat dirinya semakin menyedihkan di mata Maria.
“Makan dan bersemangatlah.” Maria menjadi salah paham lagi. Mengira bahwa Oase sudah lapar, makanya lesu. Wanita itu meninggalkan Oase, mengambil satu loyang utuh tiramisu dari kulkas, memberikan semuanya untuk Oase.
Hidung Oase mengendus, kepalanya terangkat perlahan, matanya berbinar seketika, tangannya menerima garpu yang Maria berikan. “Hmm... enak!” Dan setelah gigitan pertama, semua harga diri Oase ia buang jauh-jauh bersama dengan semua kemurungannya.
“Syukurlah, kamu terlihat lebih imut saat senang.” Maria ikut senang, merapikan rambut Oase yang berjatuhan ke atas kue, dia tersenyum hangat hingga membuat Oase tersipu malu. Sekali lagi, kepala Oase tertunduk, ia makan dengan pelan.
Memikirkan alasan dari panas di wajahnya yang tak pernah ia rasakan. Juga alasan dari debaran tak beraturan di dadanya.