8

1122 Kata
Begitu sampai dirumah, Shei segera membereskan belanjaannya yang rata-rata bahan masakan empat sehat lima sempurna itu ditambah tentu saja beragam makanan rasa mathca. Sesekali ia menghela nafas karena stok mi instan kian menipis tapi ia tidak menambah satu pun stoknya. Padahal mi instan adalah penyelamat dikala ia lapar dan malas masak yang sulit. Memang Shei tidak bisa masak juga sih. Jadi mi instan adalah andalannya. Ditambah Shei yang seorang penulis, seringkali begadang dan lapar tengah malam. Dulu kalo sama Bian mah bebas toh mereka sama-sama penyuka mi dengan kadar mecin yang banyak itu. Tapi ia sadar sekarang suaminya, Alden si dokter anak pastilah berbeda tipe lidah dengannya. "Ini siapa yang mau ngolah coba." Shei menatap isi kulkasnya yang sudah hampir penuh. Biasanya paling masih banyak space kosong. "Kenapa?" Alden yang baru selesai mandi tiba-tiba sudah berada disampingnya dengan hanya memakai kolor dan mengusap-usap rambut basahnya dengan handuk. Shei menelan ludah seketika." Apa sih? Sono pake baju. Gatau malu banget." Shei melengos tidak mau menatap suaminya itu. Alden tersenyum kecil." Iya tau yang gak bisa menahan hasrat kalo deket-deket gue. Tenang aja. Iman gue kuat kok." Ia berlalu begitu saja masuk ke kamar dan menutup pintu. Shei mendengus kesal. Siapa juga yang nafsu sama dokter gak jelas macem Alden. Gayanya aja tengil tapi didepan orang lain sok dingin." Besok lo yang masak ya! Gue gak bisa masak!" Ucapnya cukup keras. "Nanti gue ajarin. Enak aja yang kerja gue yang masak juga gue." Balas Alden tak kalah nyaring. Untung aja apartemen ini temboknya cukup tebal jadi kecil kemungkinan suara mereka terdengar dengan tetangga. "What the...." Gue juga nyari duit kali meski gak tiap hari kayak lo. Batin Shei akhirnya. Ya namanya penulis, cukup bekerja didepan laptop. Asal gak sampe deadline, dijamin kerjaannya santai. Tapi tentu butuh mood yang bagus. Sedangkan bersama Alden moodnya jadi gak jelas. "Apa, Shei?" Teriak Alden dari dalam kamar. Argh! Shei hanya mampu menjerit dalam hati. Ia mengambil sebotol air dingin dan meminumnya. "Minum tuh duduk, Shei." Ucap Alden lagi yang entah sejak kapan sudah didepan TV. Ia tampak santai dengan celana training dan kaos abu-abu yang melekat pas di tubuhnya. Shei melirik sinis kearah pria yang hanya 3 tahun lebih tua darinya itu. Kata orang melihat wajah suami bisa menenangkan, meningkatkan mood seseorang tapi bagi Shei ngeliat Alden sama aja seperti setelah mimpi buruk. Moodnya akan hancur seketika. "Gue laper." Shei melirik malas kearah kulkas dua pintunya itu. Biasanya ia akan dengan semangat memasak ramen atau mi instan favoritnya. Tapi stoknya jelas sudah habis. Malas rasanya harus ke minimarket dibawah hanya untuk beli mi instan dan belum tentu akan boleh dimasak oleh Alden. Yang ada mi instannya di buang nanti. Kan mubazir. Alden beranjak dari sofa, meninggalkan TV yang menayangkan berita terkini. Ia menghampiri Shei yang duduk membelakanginya. Ia pun membuka kulkas dan mengambil beberapa potong ayam serta sayur mayur yang entah apa namanya. Shei tidak tau dan tidak mau tau. Ia hanya memperhatikan Alden yang menyiapkan bahan-bahan itu kemudian memotong-motongnya. Shei menelungkupkan wajahnya keatas meja. Hari ini ia tidak sempat tidur siang karena harus ke rumah orangtuanya dan mengantarkan makan siang ke tempat Alden bekerja. Pagi pun ia sibuk dengan laptopnya, kasur jelas tidak dalam jangkauannya sampai hampir malam ini. Entah sudah berapa lama Shei tertidur hingga hidungnya menangkap bau sedap dari masakan yang ada didekatnya. Perlahan kelopak matanya terbuka dan melihat Alden menyiapkan ayam kecap dengan capcay di meja makan. "Buruan makan dulu. Baru lo istirahat. Jangan laptop aja lo pantengin." Ucap Alden sambil meletakkan piring kosong didepan Shei. Shei hanya menatap piring kosong didepannya." Gue gak doyan sayur." Ucapnya dengan tatapan nanar ke setumpuk sayuran didepannya. Alden tergelak. Jika pasiennya sudah biasa tidak suka sayuran karena masih anak-anak, tapi Shei yang sudah dewasa ini ternyata tidak suka sayuran juga. Padahal harusnya jika sudah dewasa bisa memprioritaskan makanan yang harus dimakan dan harus dihindari." Tapi mi instan mah doyan. Entah udah jadi apa perut lo." Shei berdecak." Yang penting sekarang gue sehat." "Makanan tuh tabungan lo dimasa depan. Apa yang lo makan sekarang, akan jadi apa yang lo rasain di masa depan. Ya gak lo rasain sekarang lah." "Iya pak Dokter." Balas Shei malas. Ia pun menyendok nasi dan mengambil sepotong ayam. Tapi Alden malah menambahkan setumpuk sayuran pada piringnya." Ihhh gak gue makan nanti." "Harus." Ucap Alden tak terbantahkan. Ia pun duduk disamping Shei dan mengisi piringnya sendiri. Tok tok tok Tak lama saat Shei tengah mencoba menghabiskan sayurnya, suara pintu apartemennya diketuk. "Siapa tuh?" Ucap Alden yang bergegas beranjak. Tapi Shei lebih dulu beranjak dari kursinya dan menuju ke pintu. Hitung-hitung kabur sejenak dari tanggung jawabnya menghabiskan sayur buatan Alden itu. "Bian. Kenapa, Bi?" Tanya Shei begitu melihat sosok Bian yang berdiri didepannya. Bian? Mendengar nama itu, Alden beranjak dan menghampiri Shei. Rasanya sungguh senang melihat tatapan cemburu pria itu padanya." Eh ada Bian. Mau makan malem bareng?" Shei saat itu juga menyilangkan tangannya pertanda Bian jangan mau diajak makan malam bersama mereka." Gue aja tersiksa apalagi elo." Ucapnya memperingatkan. Bian menaikkan sebelah alisnya." Loh bukannya kalian udah saling janji tetap dijalan masing-masing dan gak boleh saling ganggu ya? Kok ini lo sampe kesiksa gini. Emang kenapa?" Ia malah nyelonong masuk ke apartemen sahabatnya itu dan melihat kearah meja makan." Lo makan sayur?" Ia membalikkan badannya menatap Shei. Wanita itu hanya mengangguk lemah dengan tatapan memelas seakan meminta pertolongan darinya. "Ada yang salah?" Tanya Alden sok gak peduli. Tapi melihat Bian yang asal masuk kerumahnya seperti itu membuatnya sedikit terusik. Ia memang tau jika Bian dan Shei sahabatan dan mungkin hal ini sudah biasa bagi mereka. Tapi tidak untuk Alden, ia merasa privasinya sedikit terusik. "Jangan melewati batas, bro. Biarin Shei lakuin apa yang dia suka dan yang dia mau. Inget sesuai janji lo yang gak bakal usik kehidupan Shei." Ucap Bian yang memang tau perjanjian apa diantara Alden dan Shei. Jelas karena Shei yang cerita. Alden menautkan alisnya." Tapi itu juga demi kebaikan Shei. Dia harus hidup sehat bukan semaunya. Kalo dia sakit gue juga yang repot." "Selama Shei sakit gue gak pernah kerepotan. Yuk Shei. Kita ke kedai ramen biasa." Bian langsung menarik tangan Shei keluar dari apartemen itu. Shei hanya menatap Alden sebentar kemudian mengikuti sahabatnya keluar dari sana. Shei tampak berpikir. Iya juga sesuai perjanjian seharusnya ia bisa melakukan apa saja sesuai kehidupan sebelum adanya Alden. Tapi kalo dipikir juga mungkin Alden hanya sekedar sedikit peduli dengan kehidupannya yang cenderung terlalu bebas. Bebas makan apa aja maksudnya. "Lo kok mau aja sih." Ucap Bian setelah ramen pesanan mereka datang dan langsung Shei lahap sampai habis.  "Gue laper. Tadi aja baru makan dikit." "Lain kali jangan mau disuruh-suruh tuh orang." Ucap Bian yang kelihatan sekali tidak menyukai Alden.  Shei hanya mengangguk. Dalam pikirannya sekarang yang penting ia kenyang dan bisa tidur nyenyak. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN