Prolog
Semilir angin disertai hujan rintik-rintik kala itu di tengah kota...
Suasana yang sangat disukai gadis manis yang baru menginjak umur 24 tahun itu. Tangannya sibuk menari diatas keyboard laptopnya. Tatapan matanya lurus dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Sesekali ia terdiam, membaca kembali apa yang telah ia ketik, sesaat membayangkan apa yang telah ia ketik dalam laptopnya untuk berusaha merasakan menjadi si tokoh utama.
Ya. Sheina Sabria Shanum. Biasa dipanggil penulis Shei, bagi para penikmat bukunya. Ia telah menjadi penulis n****+ sejak umur 21 tahun. Walaupun hobby menulisnya sudah sejak ia menginjak sekolah menengah pertama. Bagaimana pun juga Shei merasa sangat puas dengan pencapaiannya walau belum setenar penulis Tere Liye atau Boy Chandra.
Shei menyandarkan punggungnya di sofa empuk sebuah cafe yang berada di pusat kota. Salah satu cafe favoritnya karena minuman Matcha disini sangat enak. Selain hujan, matcha adalah moodbosternya untuk menulis. Tentu saja ketika mulai menulis maka suasana hati harus terasa sangat baik atau bahkan sangat buruk. Siapa sangka jika suasana hati buruk bisa saja malah menginspirasi orang tersebut. Tapi selama ini Shei selalu menjaga suasana hatinya untuk selalu baik. Karena setiap buku yang ia terbitkan lebih ke happy ending. Seperti kehidupannya yang selalu dikelilingi kebahagiaan, membuat wanita ini begitu yakin bahwa hidup memang selalu berakhir pada kata bahagia.
***
Suasana rumah sakit yang tampak ramai nampaknya tidak berlaku untuk suasana hati Pria berambut coklat gelap dengan warna bola mata yang sama. Jas putih yang dikenakannya makin memperlihatkan kegagahannya. Walau berada di tempat seramai ini, hatinya selalu terasa kosong.
Alden Danuwijaya, salah satu dokter spesialis anak termuda di rumah sakit swasta pusat kota ini. Diumur 27 tahun ia berhasil menjadi dokter spesialis dan mendapat pekerjaan yang diinginkannya. Berada di rumah sakit dengan suasana ramai ini setidaknya dapat menyamarkan kekosongan hidupnya.
***
Sementara di lain tempat...
"Baiklah. Ini sudah kesepakatan sejak Ayah kita masih ada. Toh mereka sudah sama-sama dewasa. Sudah waktunya untuk menyatukan dua keluarga. Sebelum mereka keburu tua gara-gara ngejar karir terus."