7

1025 Kata
Suasana rumah sakit swasta ini sangat ramai. Apalagi di pagi hari seperti ini. Antrian dokter anak dan dokter kandungan yang paling banyak. Antrian untuk Alden saja sudah mencapai delapan pasien. Padahal ia hanya praktek sampai sebelum jam makan siang, rencananya ia mau segera pulang untuk mengajak Shei belanja bulanan demi mengisi kekosongan kulkas di tempat tinggal mereka. "Ini data rekam medisnya dok. Sebelumnya si anak pernah di operasi disini satu tahun lalu. Ada riwayat kelainan jantung juga." Reta, salah satu perawat yang mendampinginya menyerahkan file pasien anak perempuan berusia 3 tahun. "Yaudah panggil aja." Tak lama sosok perempuan yang mungkin seumuran dirinya masuk bersama gadis kecil dengan rambut dikuncir ekor kuda. Alden sempat terkejut melihat kedua bola mata yang sangat mirip dengan kekasih masa lalunya itu. Buru-buru ia mengenyahkan pikiran anehnya. "Pagi dok." "Keluhannya apa bu?" "Ini anak saya suka kejang dan nafasnya berat terus dok." "Mari saya periksa." Reta membimbing anak perempuan bernama Tasya itu tidur di ranjang pasien. Alden memeriksa detak jantung dan beberapa hal penting lain. Merasa ada yang janggal apalagi riwayat penyakit bawaan pasien ini berat, Alden merasa harus ada tindak lanjut lebih. "Mungkin saya beri rujukan untuk cek darah dan EKG ya, Bu. Terakhir cek EKG kapan?" "Udah enam bulan mungkin dok." Jawab wanita itu yang nampak tidak fokus. Entah karena ketampanan dokter muda di hadapannya. Alden mengangguk. Sudah cukup waktu untuk cek EKG kembali. Ia pun menulis surat rujukan dan memberikannya ke Reta. "Apa ada keluhan lain?" "Sering muntah aja dok kalo abis makan." Alden paham pada penyakit berat begini kadang sistem pencernaan akan bekerja lebih berat dari orang dengan keadaan jantung yang normal. Miris memang di usia sekecil ini harus memiliki banyak penyakit, apalagi dilihat dari riwayatnya pernah operasi cangkok ginjal dan kelahiran prematur di usia enam bulan lebih. Alden kembali menuliskan resep." Saya beri anti mual dan obat kejang ya. Diminum saat malam untuk obat kejangnya. Bisa ditebus di apotek nanti." "Terimakasih... mas Al." Ucap wanita itu dengan pelan tapi cukup terdengar di telinga Alden. Panggilan itu? "Apa kita pernah kenal?" Tanya Alden yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. "Maaf?" "Panggilan anda ke saya barusan." "Siapapun kenal dokter Al. Tapi saya lebih suka panggilan simpel seperti mas Al?" Wanita itu tersenyum tipis. "Siapa tau itu bisa mengakrabkan kita." Ucapnya kemudian keluar dari ruangan Alden bersama putrinya. Alden menggaruk batang hidungnya. Ia terlalu sensitif soal masa lalu. Memangnya apa yang spesial dari panggilan Mas Al? Banyak yang memiliki nama panggilan begitu. Benar kata Aldo, ia harus berhenti hidup di masa lalu. Sudah terlalu lama rasanya ia terkubur dalam ruang masa lalu, kini saatnya ia menjalani kehidupan yang sebenarnya. *** Alden merenggangkan tangannya, pasien terakhir baru saja keluar dari ruangannya. Untung hanya penyakit-penyakit ringan jadi tidak memerlukan penanganan banyak. Hanya pasien pertama saja dengan riwayat anak penyakit berat. "Jadwal saya sudah selesai kan Ta?" "Eh iya dok. Mau langsung pulang dok?" Alden mengangguk. Rasanya masih lelah sekali akibat kemarin jadi pajangan di resepsi pernikahannya. Memang harusnya ia ambil cuti hari ini. Ia pun beranjak dari kursinya dan melepaskan jas putihnya, ia sampirkan jas itu di lengannya dan keluar dari ruangan. "Shei?" Alden menajamkan pandangannya, takut salah lihat. "Eh. Mas Al." Shei malah nyengir." Ini loh tadi mamah aku nyuruh nganterin makan siang buat kamu." Ia menunjukkan paper bag yang bisa dipastikan berisi makanan itu. Perut Alden mendadak lapar apalagi ia tau Tante Trias- mertuanya pintar sekali memasak. "Ya udah kita ke kantin rumah sakit aja." Shei mengangguk setuju. Mereka pun berjalan di lorong rumah sakit menuju kantin yang berada di paling ujung dekat taman. Meja paling ujung yang menghadap ke taman menjadi pilihan mereka. Shei membuka kotak makannya dan diberikan ke Alden." Nih dimakan." "Kamu gak makan?" "Udah duluan." Shei nyengir lagi menampilkan deretan giginya yang rapih. Alden memutar bola matanya. Mana mungkin ia mengira Shei akan menjadi istri yang menunggu suaminya makan duluan. Tapi bener juga sih. Ya daripada keburu laper mending makan duluan. Selagi Alden makan, Shei sibuk dengan ponselnya. Ia mengetik cerita di salah satu aplikasi bacaan online. Pengikutnya sudah mencapai sepuluh ribu orang. Jauh lebih banyak dibanding pengikutnya di i********:. "Sehari aja tanpa benda-benda pipih itu bisa?" Alden agak jengah dengan kehidupan Shei yang dikelilingi dua benda elektronik itu. Shei memutar bola matanya." This is my life, mr Alden." Cibirnya. Alden bergeming. Benar juga. Hampir aja ia melewati batas. Akhirnya ia menghabiskan makan siangnya dalam hening. Sesekali ia melihat Shei tersenyum membaca cerita buatannya. "Eh iya aku mau ke supermarket." Seperti dapat membaca pikirannya, Shei beralih dari ponselnya dan menatap Alden. Makan siangnya sudah habis." Ya udah setelah ini. Aku juga udah selesai." Shei kembali menatap layar ponselnya, kali ini sosial media yang selalu ia buka setiap hari. Seseorang tampak memperhatikan dua orang yang dengar-dengar adalah pengantin baru itu. Walaupun tidak nampak seperti pengantin baru pada umumnya, entah kenapa ia merasa mereka cocok. *** Menyusuri rak-rak tinggi, tujuan utama Shei adalah rak minuman instan. Apalagi kalo bukan bersachet-sachet mathca latte bersama teman-temannya. Alden hanya menggelengkan kepalanya melihat apa yang memenuhi keranjang belanjanya. Mathca latte, greentea, kitkat matcha, selai matcha dan segala hal soal matcha. Bahkan beberapa bungkus mi instan sukses masuk ke dalam daftar belanjaannya." Kita mau isi kulkas bukan buka warung." Ia mengembalikan beberapa bungkus mi instan itu ke raknya. Matcha boleh lah tapi big no untuk mi instan. "Kok dibalikin sih, Mas?" "Kita tuh harus cari bahan makanan yang sebenernya. Bukan yang instan gitu. Saya gak makan yang begituan." "Begituan yang kamu maksud makanan juga loh." "Yang lain aja." "Samyang? Ramen? Udon?" Shei mensejajarkan langkahnya dengan Alden tapi pria itu terus berjalan dan menggelengkan kepalanya sekali tanda tidak setuju. Shei mengerucutkan bibirnya." Tau gini gue belanja sendiri deh." Alden mendengar keluhan istrinya itu tapi ia tak peduli. Ia mendorong keranjang belanjanya menuju rak-rak sayur dan daging. Ia mengambil beberapa sayur seperti brokoli, wortel, tomat, sayuran hijau, ayam fillet, dan beberapa fillet ikan salmon. Shei tampak tidak terlalu tertarik. Ia hanya mengambil beberapa buah apel dan jeruk. Setelah selesai, mereka berjalan menuju kasir. Shei memilih untuk menunggu didepan sambil membeli satu cone matcha ice cream di salah satu gerai fastfood. Alden hanya geleng-geleng kepala melihat wanita yang baru sehari menjadi istrinya itu matcha addict.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN