Hujan masih setia pada bumi, seakan menumpahkan kerinduan selama pergantian musim. Bahkan tambah deras dan disertai petir. Sheina merasa perasaannya tidak enak. Ia merenggangkan otot-otot tangannya yang mulai tegang.
Tring!
Suara pintu Cafe terbuka bersamaan dengan masuknya pria bertumbuh tinggi tegap dengan rambut hitam yang sedikit ikal. Ia mengedarkan pandangannya, detik kemudian bibirnya menyunggingkan senyum ketika melihat sosok yang dicarinya. Tak lupa sebelumnya ia memesan dua cup minuman, yang satu tentunya khusus untuk wanita yang telah ia kenal sejak kecil itu.
"Matcha latte with extra wipcream?" Pria bernama Debian Ranandra meletakkan minuman favorit sahabat kecilnya itu tepat disamping laptopnya. Shei mendongakkan wajahnya dan tersenyum melihat keberadaan pria yang selalu ada untuknya selama 24 tahun ini.
Sahabat, ya dan akan selalu begitu. Shei belum pernah menjalin hubungan khusus seperti kekasih pada siapapun. Berbeda dengan Bian, panggilannya untuk sahabatnya itu yang suka gonta ganti pacar. Setidaknya dalam tiga bulan ia pasti mengganti pacarnya. Entah sudah berapa lusin wanita yang mendapat gelar mantan darinya itu. Alasan Bian hanya menikmati hidup. Berbeda dengan Shei yang menikmati hidupnya cukup dengan laptop, hujan dan Matcha. Tiga hal itu sudah sangat membahagiakannya ditambah sahabat seperti Bian yang melebihi pacar atau bahkan kakaknya sendiri. Mungkin karena kebetulan mereka sama-sama anak tunggal.
"Kerjaan lo udah kelar?" Shei meminum matcha lattenya tanpa sungkan. Memang sudah kebiasaan Bian jika melihat cup minumannya telah habis, ia akan memesankannya lagi.
Bian duduk tepat didepan Shei sambil meminum white coffenya, tidak ada yang spesial dari minuman yang dipesannya. Ia hanya memesan menu random. Baginya semua minuman sama. Cuma sekedar dirasa di lidah dan melewati tenggorokannya. Pekerjaannya adalah seorang manajer yang sibuk meeting sana sini. Tak jarang ia harus meeting keluar kota dan mengajak Shei untuk ikut sekalian liburan dan mencari suasana baru, demi memanjakan suasana hati Shei agar selalu dalam keadaan baik. Apalagi jalan-jalan akan menambah inspirasi tersendiri bagi gadis itu. Jika Shei menyukai hujan dan matcha, maka Bian menyukai segala sesuatu tentang Shei, terutama ketika wanita itu sedang hanyut dalam cerita yang ia buat sendiri.
Memang benar tidak ada sebuah persahabatan murni antara wanita dan pria, pastinya salah satu akan memiliki perasaan lebih dan ini yang dirasakan Bian. Meski bertahun-tahun telah berlalu namun perasaan ini tetap sama. Tapi melihat Shei yang selalu bahagia bahkan tanpa pernah menjalin hubungan, ia enggan melangkah ke hubungan lebih dari sahabat. Ia takut kelak akan menyakiti wanita ini, membuatnya akan berpikir jika tidak semua kehidupan berakhir bahagia. Karena Bian tau jika Shei amat terobsesi dengan happy ending dalam setiap ceritanya, bahkan untuk kehidupan nyatanya juga. Jadi demi menyamarkan perasaannya, ia memilih untuk menjadi pria b******k di hadapan Shei dengan gonta-ganti pacar. Pastinya Shei tidak akan memiliki perasaan lebih juga padanya karena ia tau akan sifat sahabatnya ini.
Tapi jika memang Shei memiliki perasaan pada Bian, ia sempat berpikir untuk mencoba. Tapi lagi-lagi ia takut kebersamaannya dengan Shei akan segera berakhir karena adanya status baru. Jadi biarlah seperti ini. Toh mereka masih sama-sama single. Entah sampai kapan. Setidaknya Shei masih tampak menikmati kesendiriannya dan tidak pernah curhat apapun soal pria lain selain tokoh dalam cerita fiksinya. Rasanya memang sedikit gila ketika wanita lain sibuk curhat tentang gebetan atau pacar, Shei sibuk curhat tentang tokoh dalam novelnya. Tapi tidak apa bagi Bian, setidaknya itu berarti ia belum ada saingan.
Saingan...
Ya mungkin ada tapi sejauh ini tidak ada yang berani secara langsung mendekati Shei, seakan wanita yang mulai beranjak dewasa ini membuat jarak antara dirinya dengan para teman prianya, tentu Bian adalah pengecualian.
"Pulang yuk. Hujannya udah reda." Shei menutup laptopnya, segelas matcha latte terakhirnya sudah habis. Hari ini ia hanya mengkonsumsi dua cup. Biasanya lebih. Tergantung dari mood dan lamanya ia hanyut dalam dunianya. Ia menoleh ke jendela yang berada tepat disampingnya. Bulir air hujan yang menempel disana membuatnya tersenyum.
Senyum yang Bian sukai.
"Ya udah ayok. Mau beli makan dulu gak?"
Shei menggeleng." Mau masak ramen ah gue. Lo mau?" Ia teringat beberapa stok ramen instan yang dibelinya beberapa hari lalu. Apalagi sudah masuk musim hujan begini, pasti enak menikmati ramen yang hangat ditambah segelas hot matcha.
"Ogah ah! Bisa tambah keriting ntar rambut gue. Gue mau beli burger aja di resto sebelah."
"Ice Cream sundae satu ya." Shei malah nyengir. Walau musim hujan seperti ini, tapi ia tidak bisa untuk menolak ice cream favoritnya itu. Sudah seminggu ini ia belum menikmatinya ya karena malas juga untuk mampir ke resto sebelah. Jadi mumpung mau mampir ya sekalian.
"Lo tunggu di mobil." Bian segera beranjak dan pergi.
Shei merapihkan laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas. Tak lupa ia membuang sendiri cupnya yang sudah kosong. Sudah menjadi kebiasaannya, ia suka meringankan pekerjaan orang meskipun sederhana. Seperti merapihkan piring setelah makan di mejanya atau membuang sendiri cup sekali pakai bekas minumannya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju pintu keluar.
Tring! Bersamaan dengan masuknya pria tinggi dengan jas putih yang ditentengnya. Mata coklatnya sekilas melirik kearah Shei, namun wanita itu tampak acuh dan bergegas pergi.
***
"Gue kayaknya harus pulang ke rumah deh." Ucap Shei saat Bian kembali dengan sebuah burger, softdrink dan ice cream pesanan Shei. Wanita itu masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya.
"Kenapa?"
"Nyokap ngajak makan malem bareng. Lo juga ikut aja deh ya. Gue takut mereka nyuruh gue tinggal dirumah aja. Padahal gue butuh suasana bagus kayak di apartemen sekarang. Mood gue gak sebagus saat dirumah." Keluh Shei yang memang beberapa kali diminta orangtuanya untuk tinggal dirumah saja dibanding menyewa apartemen dan tinggal sendirian. Walaupun apartemennya sebelahan dengan apartemen Bian, karena memang lebih dekat ke kantornya. Apalagi semenjak kepergian Kak Raina alias kakak kandung Shei beberapa tahun silam membuat wanita itu merasa tidak enak berada dirumahnya sendiri. Rasanya sepi. Hingga membuat wanita itu menjadi anak tunggal sekarang.
Berbeda dengan Bian yang memang anak tunggal sejak lahir karena kepergian ibunya setelah melahirkannya dan ayahnya yang suka ganti-ganti membawa wanita kerumah, sangat membuatnya tidak nyaman. Selama ini ia hanya diasuh oleh pembantunya yang sudah sepuh hingga akhirnya wanita tua yang sering ia panggil ibu itu meninggal setelah ia lulus SMA. Rasanya jauh lebih sedih, kehilangan sosok yang sangat menyayanginya. Untungnya kedua orangtua Shei begitu menyayanginya, juga kehadiran Shei memiliki arti tersendiri.
Sepanjang perjalanan, Shei hanya sibuk dengan ponsel dan sosial medianya. Kadang membalas pesan dari penggemarnya atau sekedar mempromosikan bukunya. Bian juga tidak banyak bicara malam ini. Entah kenapa perasaannya tidak enak. Mungkin karena ia harus tidur dirumah malam ini, sebab jika ia harus ke apartemen lagi rasanya akan terlalu larut dan ia sangat lelah sekarang.
Rumah bernuansa biru muda itu menyambut kedatangan Shei dan Bian. Setelah memarkir mobil di halaman, mereka masuk ke dalam.
"Mah, Pah. Kenapa? Tumben." Tanya Shei yang memang tidak biasanya kedua orangtuanya mengajak makan bersama. Sejak kepergian kak Raina, mereka seakan menyibukkan diri bahkan seakan mengabaikan Shei. Memang kepergian kak Raina yang sangat mendadak membuat mereka sangat terpukul. Bahkan merubah mereka jadi sosok orangtua yang dingin. Bian juga merasakannya karena ia sejak kecil sudah mengenal keluarga ini.
"Gapapa. Mumpung gak sibuk aja." Ucap wanita paruh baya sambil mengetik sesuatu di laptopnya, berbeda dengan pria yang rambutnya sudah hampir setengahnya berubah jadi putih. Rasanya cepat sekali.
Mereka berempat pun duduk di ruang makan. Kemudian saling menikmati makanan dalam diam. Suasana yang tidak Shei sukai tapi harus ia lalui selama beberapa tahun belakangan ini, hingga akhirnya ia tidak kuat dan memilih untuk menyewa apartemen sendiri.
"Emm. Akhir minggu ini kamu gak ada acara kan Shei?" Tanya papah Shei- Arjun.
Shei menggeleng." Kenapa pah?"
"Gak kok cuma ada makan malem sama keluarga Danuwijaya."
Shei tampak mengingat sesuatu." Yang dulu kita suka ke tempatnya? Yang dokter itu bukan? Tapi bukannya dia udah meninggal setahun setelah kakek meninggal." Ia mengingat sosok kakek berwajah tegas namun sangat ramah padanya.
Arjun mengangguk.
"Emang kenapa pah?"Tanya Shei lagi yang merasa ini mungkin bukan makan malam biasa.
"Nanti kamu juga tau."
"Saya boleh ikut gak om, tante. Bosen abisnya gak ada jadwal kemana-mana minggu ini." Sahut Bian yang juga merasa ada yang tidak beres. Setidaknya ia akan tau sendiri jika ikut.
"Boleh aja." Jawab mamahnya Shei- Trias sambil tersenyum.
Sementara Shei masih sibuk memikirkan apa yang direncanakan kedua orangtuanya. Karena tak biasanya ada makan malam khusus seperti itu. Terlebih ia sudah lama tidak mendengar kabar soal keluarga Danuwijaya itu. Terakhir kesana saat kakek Danu meninggal. Ia melirik Bian yang sibuk menyantap makan malamnya.
Burger yang tadi pergi kemana?