2

899 Kata
Dua hari berada dirumah cukup membuat mood Shei berantakan. Beberapa kali ia hanya membuka tutup halaman ketikan cerita fiksinya. Sama sekali gak ada inspirasi. Bahkan bergelas-gelas matcha tidak dapat menaikkan moodnya. Hujan pun tidak turun seakan memang ingin suasana hati Shei kacau. Coba kalo masih ada kak Raina. Pasti dia akan sibuk bercerita tentang kesehariannya sebagai perawat di sebuah rumah sakit, bagaimana serunya menghadapi pasien, ketemu pasien-pasien ganteng, ketemu dokter-dokter ganteng. Membuat Shei banyak membayangkan ketampanan pria dalam setiap cerita yang ia buat. Kadang ia sampai berpikir apa ada pria setampan itu? Atau apa ada pria seromantis dan setulus itu? Shei tersenyum menatap figur yang menampilkan fotonya dengan Raina tiga tahun lalu. Sebelum kepergian kakaknya itu dalam sebuah kecelakaan tragis. Untuk melihat kakaknya terakhir kali pun ia tidak bisa. "Andai lo masih ada. Gue pasti bakal bahagia terus kan?" *** Akhir minggu pun tiba. Dalam sebuah restoran bintang lima, dengan nuansa gold yang makin menambah tampilan elegan restoran ini. Tapi membuat Shei malah tidak nyaman. Ia lebih menyukai Cafe atau restoran dengan nuansa simple dan tidak menyakitkan matanya seperti ini. Shei tampak gugup duduk diantara orang-orang yang sebenarnya sudah tidak asing lagi, tapi karena ini pertama kalinya makan malam resmi bersama, ia merasa agak aneh. Jadi tidak leluasa. Sementara Bian yang duduk di sebelahnya nampak santai menikmati makan malamnya. Mata Shei seperti selalu mengarah ke satu pria asing yang berada diantara Tante Karin dan Om Rio, pria yang sepertinya pernah ia lihat tapi lupa dimana. Pria itu pun tampak kadang mencuri pandang kearahnya seperti meyakinkan sesuatu. "Ehm. Jadi begini..." Ucap Rio, setelah mereka selesai menyantap makan malamnya." Udah cukup lama memang gak makan malem bareng kayak gini lagi." Shei merasa aneh, seakan ucapan Om Rio mengatakan jika mereka pernah makan malam resmi seperti ini. Padahal ini pertama kali untuknya. Apa ia lupa? "Iya bener. Lain kali harus sering ya biar makin deket kekeluargaan kita." Lanjut Arjun. Bian dan Shei saling tatap, Bian hanya mengangkat bahunya sementara Shei menautkan alisnya. "Apalagi Shei dan Alden. Kalian harus mendekatkan diri ya sebelum harinya. Biar nanti gak canggung banget." Uhuk!  Shei tersedak seketika, seakan udara sekitarnya tidak cukup memenuhi rongga parunya." Maksudnya?" Si Pria yang tampaknya bernama Alden itu hanya diam tanpa ekspresi. Apa mungkin ia sudah tau maksud dari semua ini? "Iya. Kalian kan akan menikah bulan depan. Jadi belajar lah mendekatkan diri. Sering jalan dan makan bareng. Semuanya sudah siap, kalian cuma tinggal menyiapkan diri dan mental aja." Lanjut mamah Shei tanpa merasa bersalah sedikitpun. Shei menatap kedua orangtuanya, berharap ada kejelasan atau setidaknya pemberitahuan lebih dulu. Jelas ini sangat mendadak. Ia sangat tidak siap dan mungkin tidak akan pernah siap. Pacaran aja belum pernah, ini mau langsung dinikahin. Tapi melihat raut kebahagiaan kedua orangtuanya, rasanya membuat Shei enggan untuk berkomentar langsung walaupun ia merasa tidak adil. Sudah lama rasanya tidak melihat mamah papahnya tersenyum sebahagia ini sejak kepergian kak Raina. "Lo kok diem aja?" Bisik Bian yang merasa hatinya lebih panas dari tomyam pesanannya tadi. "Ntar aja ngomongnya." Balas Shei. Pria bernama Alden itu tampak memperhatikan gerak-gerik Shei dan pria yang tidak ia kenal di sebelahnya. Setaunya Shei anak tunggal semenjak Raina meninggal tiga tahun lalu. Jadi siapa pria yang menyusup di acara makan malam resmi begini? Apa mungkin pacar Shei? Tapi seharusnya keduanya akan langsung protes jika tau ini adalah perjodohan. Apa Shei juga gak tau akan dijodohkan dengannya? Karena ekspresi gadis itu sangat terkejut. *** Demi membuat suasana hatinya membaik, Shei merasa harus pulang ke apartemennya dan membicarakan masalah perjodohan ini nanti. Toh dibicarakan pun tidak akan ada yang berubah. Mereka yang bilang sendiri semua sudah siap, seakan memang hal ini telah disiapkan sejak lama. "Lo kok diem aja dijodohin gitu?" Bian yang sedari tadi sudah gatal untuk berkomentar akhirnya membuka suara. Andai ia bagian dari keluarga Shei mungkin ia akan langsung protes. Tapi apalah daya ia hanya orang luar yang kebetulan sahabatan dengan Shei." Apa jangan-jangan lo udah tau?" Tatapan Bian menyelidik. "Lo pikir ekspresi gue kayak yang udah dikasih tau sebelumnya tadi?" Shei tidak terima, karena ia pun tidak tau apa-apa." Udah deh jangan makin bikin gue badmood." Ia memonyongkan bibirnya beberapa centi. "Ya bukannya gitu. Tapi ya aneh aja. Tiba-tiba dijodohin, bulan depan dinikahin dan lo... diem aja?" Tanya Bian yang kali ini lebih hati-hati, seperti keinginannya, ia tidak ingin membuat suasana hati Shei buruk. "Gak tau gue juga. Tapi ngeliat nyokap bokap gue sebahagia itu, gue jadi ragu buat komentar. Apalagi nolak." Shei tampak frustasi, Bian sangat mengerti kondisi keluarga sahabatnya itu. Tapi ia tetap gak terima. Selama bertahun-tahun berjuang tanpa saingan, mulai bulan depan ia akan bersaingan dengan suami Shei. Bukankah itu sudah kalah telak namanya? Walaupun dijodohkan. Tapi perasaan pasti akan tumbuh diantara keduanya. "Lo liat aja gue yang pacaran gonta ganti aja gak bahagia, lah elo langsung nikah gitu. Belum tau sifat tuh cowok juga lagi. Kalo dia ternyata psiko atau semacamnya gimana?" "Lo kebanyakan baca novel." Shei mencibir. "Jangan pikir lo bakal nyamain tuh cowok sama cowok-cowok fiksi di n****+ lo?" Shei terdiam, lalu hanya mengangkat bahunya." Entahlah." Diamnya Shei, membuat Bian makin frustasi. Sebentar lagi ia akan ditinggal nikah oleh orang yang ia sukai, meski Shei sama sekali tidak tau. Apa ia harus mengungkapkannya? Bian buru-buru menggeleng, yang ada ia hanya akan memperkeruh suasana aja. Mungkin di pesta pernikahan Shei nanti, ia harus menyiapkan karangan bunga yang besar dengan tulisan KUTUNGGU JANDAMU. Iya. Itu sangat tepat. Biar viral sekalian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN