Cakrawala dibuat Syok

1239 Kata
"Apa!?" ucap ulang Cakrawala dengan mata terbelalak kaget. Perkataan calon ibu mertuanya itu membuat dirinya syok. Mana mungkin dia bisa memenuhi permintaan calon dari istrinya tersebut. Andai Embun meminta sesuatu yang mudah di dapat, dengan senang hati dia akan segera kabulkan. Namun permintaan calon istrinya itu terlalu sulit untuk dia penuhi. Meskipun jika membelinya tidak seberapa harganya, tetapi bukan itu yang menjadi permasalahan Cakrawala. Embun menginginkan sesuatu yang sulit untuk dia dapat, dimana dia harus mencari mangga muda yang bisa dipetik langsung dari pohonnya. Sungguh permintaan Embun sudah membuat dirinya menjadi diam mematung tak mampu memberikan jawaban. "Cakra. Kamu kenapa malah bengong begitu? Apakah kamu tidak mau mengabulkan permintaan calon istrimu? Ini juga mungkin keinginan calon bayi kalian," suara Rosa menyadarkan Cakrawala dari rasa syoknya. Pria itu menolehkan wajah dengan ekspresi memelas seakan dia ingin meneriaki sebuah protesan. "Ta-tapi, Mah. Bukan begitu, Cakra bingung harus nyari dimana pohon mangga yang sedang berbuah itu. Andai boleh membelinya di supermarket akan Cakra borong semua. Keinginan Embun sangat susah dipenuhi," keluh Cakrawala sambil melirik Embun yang duduk santai di kursi taman. Wanita itu seperti tak terpengaruh sama sekali dengan keluhan Cakrawala. Wajahnya tampak datar bahkan setelah manik mata mereka beradu pun, Embun tak menunjukan rasa iba sama sekali. "Yah mau bagaimana lagi itu kemauan Embun sendiri. Mama juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau mau, kamu bilang saja sama Embun untuk membelinya di supermarket," usul Rosa karena merasa kasihan juga melihat Cakrawala yang terlihat kebingungan. Secercah harapan terselip di wajah tampan Cakrawala. Bibirnya melengkungkan sebuah senyum. Dengan jantung berdegup kencang takut Embun akan menolak permintaannya, Cakrawala berucap dengan penuh kehati-hatian. "Embun, boleh tidak belinya di supermarket saja ?" tanya Cakrawala seraya menatap lembut sang wanita. "Tidak! Gue mau elo metik langsung dari pohonnya. Ini bukan mau gue, tapi atas keinginan anak lo. Dimana letak tanggungjawab lo sebagai bapak!? sarkas Embun dengan mata mendelik marah. Senyum yang sempat terkembang seketika meredup. Cakrawala hanya bisa diam membisu menatap nanar Embun. Namun meski merasa kesal setelah mendapatkan penolakan dari Embun, ada rasa hangat yang menjalar di ruang hatinya yang lain. Pengakuan Embun tentang calon bayi mereka yang menyebutkan dia sebagai ayah dari bayi yang dikandungnya, seketika seakan ada kekuatan untuk Cakrawala mencari mangga muda itu sampai dapat. "Baiklah saya akan mencarikannya untuk mu juga calon bayi kita. Kamu tunggu saja, ok. Saya akan berusaha mendapatkannya untuk kalian," ucap Cakrawala penuh keyakinan meski dalam hatinya terselip keraguan. "Gak usah banyak janji, tepati saja perkataan mu itu. Sudah sana pergi, gue udah gak sabar ingin segera memakannya." Jawab Embun begitu ketus. Cakrawala hanya bisa menarik napas dalam mendapati jawaban dari Embun. Dia kira hati wanitanya itu sudah melembut, tapi nyatanya masih saja keras. "Ok, saya pamit. Mah, Cakra pergi dulu, do'akan biar Cakra bisa secepatnya mendapatkan apa yang Embun mau." Pamit Cakrawala pada Rosa sambil mengambil tangannya untuk dicium. "Hei, itu bukan keinginan gue, tapi anak lo yang mau. Jangan geer lo," sela Embun dengan delikan mautnya. Wanita itu tak terima dibilang atas keinginannya. Dia bersikukuh kalau calon bayi mereka yang mau. Sontak Rosa bareng Cakrawala saling pandang. Dari sorot mata keduanya seakan mengeluarkan sinyal untuk tidak menanggapi apapun tentang omongan Embun. Dengan isyarat kecil Rosa menyuruh agar Cakrawala segera pergi. Dan tentunya pria itu pun paham, dia segera melangkah pergi untuk segera memenuhi keinginan Embun agar wanita itu tidak lebih marah lagi karena lama menunggu. "Tunggu!" seruan Embun kembali mengalun dipendengaran Cakrawala. Langkah kakinya yang sudah terayun terpaksa dia hentikan kembali. Cakrawala diam menunggu apa yang akan terucap dari bibir tipis milik Embun. "Gue ingin lo memvidiokan ketika mengambil mangganya, karena gue tidak ingin lo membohongi gue, paham!" ucap tegas Embun tanpa ampun. Dengan gerak lambat pria itu kembali memutar tubuhnya. Tanpa kata dia menatap Embun dengan sorot mata yang tak bisa diartikan. Namun sejurus kemudian, kembali dia membalikan tubuhnya lantas melangkah menjauh dari hadapan Embun juga Rosa. Tanpa sepatah kata pun pria itu lontarkan. Setelah kepergian Cakrawala, baru Rosa berani membuka percakapan kembali dengan putrinya itu. "Embun, apa tidak berlebihan kamu menyuruh Cakrawala agar membuatkan vidio proses memetik mangganya? Lantas siapa yang memvidiokannya, Sayang? Terus kalau dia tidak mendapatkan apa yang kamu mau bagaimana?" tanya Rosa penuh keingin tahuan atas jalan pikiran sang putri. "Biarkan saja, Mah. Toh kalau dia benar-benar punya rasa tanggungjawab, pastinya pria itu akan mencari cara agar bisa memenuhi permintaan Embun. Lagi pula cuma metik sambil dividio apa susahnya sih. Dia itu punya akal dan pikiran," jawab Embun begitu enteng. "Ya sudah kalau itu sudah menjadi mau mu, Nak. Asal jangan kamu sengaja aja menyiksa dia," lirih Rosa seraya menarik napas dalam. Sangat terlihat jelas wajah lelah Rosa, untuk itu dia tidak ingin berdebat lagi dengan sang putri. "Jika pun iya, itu tidak masalah bukan, Mah. Dia juga harus merasakan bagaimana rasanya tersiksa. Jangan Embun saja yang merasakan. Itu namanya tidak adil," ucap Embun kembali seraya tersenyum penuh kemenangan. "Ya sudah, Mama mau masuk dulu kedalam. Kamu mau ikut juga?" tanya Rosa. Pada akhirnya dia lebih baik mengalah ketimang harus terus berdebat dengan sang putri. * * * Sementara didalam mobil Cakrawala duduk dibalik kemudi, jari-jarinya mengetuk-ngetuk stir mobil dengan tatapan jauh kedepan. Rasa prustasi kembali menyeruak dalam dadanya. Pria itu tak habis pikir dengan jalan pikiran Embun yang meminta hal yang diluar kendalinya. Ditengah lamunan panjangnya terdengar notifikasi dari gawainya. Secepat kilat dia raih benda pipih itu yang berada di dashboard mobilnya. Bibir pria itu melengkungkan senyum setelah membaca isi pesan dari orang yang telah memberikan informasi tersebut. Namun sesaat dahinya langsung mengkerut setelah melihat lokasi yang diberikan orang suruhannya itu. Merasa penasaran juga kesal karena seolah-olah dipermainkan, Cakrawala langsung melakukan panggilan. Beberapa detik berlalu, panggilan telpon Cakrawala baru di respon. Dengan muka merah padam, lelaki itu langsung bertanya tanpa basa-basi. "Kenapa baru diangkat telponnya? Dan kau jangan main-main dengan saya! Apa-apaan kau mengirimkan lokasi kontrakan saya, hah?" semprot Cakrawala tanpa jeda dengan suara menggelegar bak petir ditengah siang bolong. Lawan bicaranya yang berada disebrang telpon, langsung menjauhkan gawai yang tengah menempel ditelinganya. Pria itu berdecak kesal sambil mengumpat dalam hati, karena suara bosnya telinga dia seakan berdengung. Namun sebagai bawahan dia tak bisa protes. "Maaf Tuan, tapi itu memang benar lokasinya. Saya ingat setiap pulang dari kontrakan Tuan, ada satu rumah yang didepannya terdapat pohon mangga. Dan saya sudah menyurpainya ternyata pohon itu tengah berbuah lebat. Kalau tidak percaya nanti saya kirim potonya." Jawab Robby sang asisten. Robby merasa kesal juga pada bosnya itu, yang seolah-olah tidak percaya juga meragukan ucapannya. Padahal seharusnya bosnya lah yang mengetahui, bukan kah dia sering melewati rumah tersebut. "Ok, katakan sekarang dimana posisi kamu. Dan awas saja jika kau mempermainkan saya, akan saya potong setengah gaji kamu. Mengerti!" ancam Cakrawala sambil langsung menutup telponnya. Robby yang berada disebrang telpon hanya bisa menghela napas kasar. Sudah menjadi kebiasaan jika menelpon bosnya itu suka memutus percakapan sepihak. Robby masih belum beranjak dari mobilnya, dia tetap menunggu bosnya datang di dalam mobil. Beruntung masih pagi jadi udara masih terasa sejuk meski harus diam di dalam mobil. Tak berselang mobil berwarna hitam melaju dari arah berlawanan mobil Robby. Pria tersebut sudah bisa menduganya jika itu, mobil milik keluarga Embun dia hapal betul karena sering dipakai Cakrawala. Dan akhirnya mobil tersebut berhenti tepat disamping mobil Robby. Perlahan kaca jendelanya diturunkan, Robby bisa melihat jelas tatapan menghunus sang bos. "Tuan!" serunya sambil turun dari mobil. "Kesini kau. Cepat tunjukan pohon mangga itu. Kau jangan mengulur-ulur waktu saya," suara bariton itu kembali terdengar. "I-itu, Tuan." Tunjuk Robby dengan suara terbata. "Hah!?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN