"Robby!" bentak Cakrawala dengan rahang mengeras.
Lelaki itu tersulut emosi setelah melihat pohon yang ditunjukan olah asistennya itu. Cakrawala beranggapan jika Robby tengah mengerjai dirinya.
Jari-jari besarnya menarik kerah kemeja yang tengah dipakai Robby. Satu kepalan tangannya bersiap mendaratkan bogem mentah dirahang Robby.
"Sa-sabar, Tuan. Kenapa Anda marah? Apa salah saya? Bukannya saya sudah benar mendapatkan pohon mangga yang Anda mau. Coba lihat buahnya sangat lebat sekali bukan," ujar Robby sambil berusaha menahan tangan sang bos agar tidak mendaratkan bogemannya sembarangan.
"Ya, tapi kau sudah bermain-main dengan saya, Robby!" jawab Cakrawala penuh penekanan.
Wajah Cakrawala merah padam dengan tatapan tajam menghujam jantung Robby.
"Sa-saya tidak memainkan Anda, Tuan." Jawab Robby terbata-bata dengan ekspresi bingung.
"Menurut kau apa bisa saya memanjat pohon setinggi itu, hah? Pikir Robby pake otak kau itu," sarkas Cakrawala dengan masih mempertahankan cengkraman tangannya di kerah kemeja Robby.
"Saya bingung harus mencari kemana lagi, Tuan. Hanya itu satu-satunya pohon mangga yang tengah berbuah. Atau biarkan kita suruh orang saja untuk memetiknya. Apakah Tuan setuju?" tanya Robby dengan ide sangat brilliant menurutnya.
Bukannya mengendurkan cengkraman tangannya, justru Cakrawala semakin mengeratkannya hingga Robby terlihat kesulitan bernapas.
"Tu-Tuan, to-tolong lepaskan. Saya tidak bisa bernapas," mohon Robby dengan wajah memerah menahan sakit.
"Apa kata kau? Lepas? s**t!" umpat Cakrawala dengan wajah menggelap menahan marah.
Namun tak urung pria tampan itu melepaskan cengkramannya. Tarikan napas lega Robby begitu jelas terdengar di telinga Cakrawala, tetapi pria itu hanya melirik sekilas tanpa sedikit pun rasa bersalah.
"Maafkan saya, Tuan. Mungkin disini saya salah tidak memberitahukan Tuan terlebih dulu kalau pohonnya setinggi itu. Lantas haruskah saya mencarikannya lagi, Tuan?" tanya Robby ingin memastikan.
"Tidak perlu. Kau cukup diam disini," jawab ketus Cakrawala.
Wajah bingung Robby kembali muncul. Dia bingung dengan situasi sekarang. Kenapa bosnya itu hanya menyuruh dia diam, atau mungkin bosnya itu masih kesal terhadap dirinya.
Tak ingin terus kena semprot akhirnya Robby tak berani berkata lagi. Lebih baik dia menunggu perintah selanjutnya dari bosnya itu.
Cakrawala sendiri sudah bersiap akan menaiki pohon mangganya, kemejanya pun sudah dia gulung sampai ke sikut. Robby sendiri hanya diam memperhatikan saja.
"Robby, apakah kau sudah minta izin pada pemilik pohon ini? Jangan sampai saya sedang mengambil kena semprot yang punya."
Cakrawala yang akan melangkahkan kakinya kembali membalikan badan untuk bertanya pada sang asisten.
Sementara Robby berjengit kaget mendapati pertanyaan tiba-tiba dari sang bos. Dia pun baru menyadari jika dia belum minta izin pada pemiliknya.
"Mmh, maaf Tuan. Saya lupa belum minta izin. Terlalu panik saya tadi," ucap Robby dengan menundukan kepala dalam.
Perasaannya campur aduk, takut sang bos murka.
"What? Stupid, kau!" bentak Cakrawala dengan rahang mengeras.
Amarahnya sudah tak terkendali lagi, menghadapi kelalaian asistennya itu. Dia tidak menyangka sama sekali jika Robby akan melupakan hal penting untuk meminta izin pada pemiliknya.
"Iya, maaf, Tuan. Saya memang bodoh, karena panik jadi melupakan hal tersebut. Biar saya minta izin dulu pada pemiliknya. Saya mohon Tuan tidak menghukum saya," mohon Robby begitu panik. Dia paham bagaimana bosnya itu jika tengah murka.
Walaupun perasaannya terasa kesal, tapi Cakrawala mencoba memahami situasi asistennya itu. Robby pasti kurang fokus akibat terlalu banyak pekerjaan kantor yang harus dia kerjakan. Itu juga atas dasar perintahnya.
"Sudah, sudah sana cepat minta izin. Keburu telat, bisa-bisa Embun ngamuk lagi."
Pada akhirnya Cakrawala mengalah menurunkan egonya. Tak mau membuang-buang waktu lagi, pria itu berjalan cepat pada salah satu rumah yang pintunya terbuka sedikit. Pria itu bermaksud menanyakan siapa pemilik pohon mangga tersebut.
Tak berselang lama Robby sudah kembali dibarengi oleh bapak-bapak berkumis tebal. Cakrawala mengerutkan kening ketika melihat orang tersebut yang mengajak senyum pada dirinya.
Bapak pemilik kumis tebal tersebut mengulurkan tangan menyapa Cakrawala. Tak ingin dianggap sombong Cakrawala menerima uluran tangan tersebut, meski dia tidak mengenalnya.
"Bapak ini pemilik pohonnya, Tuan. Beliau baik banget karena sudah mengizinkan Tuan untuk mengambil buah mangganya." Robby langsung memperkenalkan bapak berkumis itu.
"Oh, jadi Bapak pemilik pohon mangga ini. Maaf sekali saya sudah lancang meminta mangganya. Saya terpaksa melakukan itu, karena bingung harus mencari pohon mangga yang berbuah ditengah kota ini. Istri saya sedang ngidam, dia mau rujak mangga yang dipetik langsung." Ucap Cakrawala panjang lebar.
"Tidak apa-apa silakan. Lagi pula Pak Robby sudah menjelaskannya tadi. Oh iya, bukannya Bapak ini yang ngontrak di rumahnya Pak Rt 'kan?"
"Iya benar banget, Pak. Bapak mengenal saya?" tanya Cakrawala antusias.
Dia berharap bapaknya itu benar-benar mengenali dirinya agar memudahkan dia untuk memetik mangganya.
"Tentu saya kenal Bapak. Karena saya tahu warga disini, ya meskipun banyak dari mereka yang bukan penduduk asli."
"Oh, terimakasih, Pak. Kalau begitu izin saya memetiknya sekarang."
"Maaf banget nih, memangnya Bapak bisa manjat pohonnya? Itu kan tinggi banget. Coba perhatikan, pohon itu sangat menjulang. Biar saya suruh orang saja bagaimana, bolehkan?" tanya bapak berkumis itu.
"Terimakasih, Pak. Namun maaf bukannya saya tidak mau menerima bantuan Bapak. Istri saya menginginkan langsung yang metik itu saya," tolak halus Cakrawala.
Dia merasa tak enak hati juga karena sudah menolak niat baik bapaknya.
"Padahal tidak apa-apa diambilin orang juga, toh istri bapaknya tidak akan tahu ini."
Bapaknya masih bersikukuh untuk mempropokasi pikiran Cakrawala. Bukan apa-apa dia takut Cakrawala tidak akan sanggup mengambilnya sendiri.
"Iya, Pak. Saya juga maunya begitu, rasanya tidak sanggup memanjat pohon setinggi itu. Namun istri saya bilang selagi mengambilnya harus dividiokan. Dia tidak mau dibohongi gitu, Pak." Jawab Cakrawala lesu.
"Owalah, seperti itu toh. Ya sudah silakan Bapak bisa mencobanya sekarang," ucap bapak itu sambil tersenyum simpul.
Dia salut dengan pendirian Cakrawala yang tidak ingin membohongi istrinya.
*
*
*
"Assalammualaikum," ucap salam Cakrawala ketika dia sampai di kediaman orangtua Embun.
Hening.
Tak ada jawaban dari dalam rumah. Namun karena Cakrawala sudah terbiasa keluar masuk rumah tersebut, dia tak mempedulikan meski tak ada yang menyambutnya.
Cakrawala berjalan gontai menuju ruang keluarga, dimana dia meyakini jika Embun berada di sana. Benar saja wanita itu tengah duduk di sofa sambil mengotak-atik ponselnya.
Dari air mukanya terlihat jika Embun tengah merasakan bahagia. Bibirnya terus melengkungkan senyum kepuasan.
"Embun," suara bariton milik Cakrawala mengalun ditelinga Embun, membuyarkan konsentrasi wanita itu yang tengah asik menikmati suguhan dalam ponselnya.
Perempuan itu sampai berjengit saking kagetnya. Dia mendengus kesal saat Cakrawala berdiri tepat didepannya.
"Ngapain sih, lo? Ngagetin orang aja," gerutu Embun dengan bibir mengerucut, tangannya pun reflek mengusap-usap dadanya sendiri.
"Maaf, saya sudah mengagetkan kamu. Ini mangga yang kamu mau itu," ucap Cakrawala sambil menyodorkan kantong kresek besar di hadapan Embun.
Embun sampai melongo dibuatnya melihat bawaan yang Cakrawala sodorkan ke dirinya. Dia tidak menyangka pria itu akan membawakan buah mangga yang banyak.
"nggak salah lo, bawa mangga sebanyak itu?" tanya Embun dengan mata menatap tajam Cakrawala.
"Saya sengaja metik yang banyak agar kamu puas menikmatinya. Ini ngambilnya penuh perjuangan, saya harap kamu memakannya."
"Hmm, baiklah. Mbak, Mbak." Teriak Embun pada Art nya.
Dengan langkah tergopoh Mbaknya datang menghampiri Embun.
"Ya Non Embun. Ada perlu apa?" tanya Art tersebut.
"Mbak Nani tolong ambilkan sambal rujak yang tadi udah dibikin."
"Iya, Non. Sebentar Mbak ambilkan."
Hanya beberapa menit saja Nani sudah kembali membawa mangkuk berisi sambal rujak juga piring untuk tempat mangganya.
"Ini Non, sambalnya."
"Baik Mbak terimakasih. Boleh saya minta tolong lagi?"
"Boleh kok, Non. Apa yang bisa Mbak kerjakan?"
"Tolong kupaskan mangganya."
"Baik."
"Maaf Embun boleh saya pamit sekarang?" tanya Cakrawala disela-sela obrolan Embun dengan Nani.
"Jangan dulu pergi. Gue ingin elo tetap disini menemani gue, paham!"
"Hmm, ya sudah. Saya tidak jadi pamit," ucap Cakrawala pasrah.
"Bagus. Lo harus nurut apa kata gue," jawab Embun jumawa.
Cakrawala tak menanggapi perkataan Embun, tak banyak kata dia pun duduk menuruti keinginan sang wanita.
Nani datang membawa mangga muda yang sudah dipotong-potong kecil. Wanita paruh baya itu menyimpannya dimeja tepat dihadapan Embun.
"Terimakasih, Mbak."
"Ya, Non. Ada lagi yang diperlukan?"
"Tidak ada. Oh iya, Mbaknya mau?"
"Tidak mau saya, Non. Terimakasih, buat Non Embun saja." Jawab Nani dengan bahu bergidik ngeri membayangkan rasa asam dari mangga muda itu.
"Oh ya sudah."
"hei, lo. Ini buat lo, ayo makan." Ujar Embun pada Cakrawala.
"Apa?"