Satu minggu sudah Embun melewati sakitnya. Dan selama satu minggu itu pula Cakrawala setia menemani.
Embun yang merasa risih Cakrawala terus berada disampingnya, tak sedikit pun menunjukan sikap ramah. Berulang kali wanita itu mengusirnya agar Cakrawala kembali kekontrakan pria tersebut, tetapi penolakan yang selalu dia terima.
Tak sedikut pun Cakrawala berniat meninggalkan wanitanya itu. Wajah Embun terlihat gusar karena Cakrawala tak menggubrisnya.
Bahkan Embun mencoba mengusir secara halus agar pria itu mau pergi, tetapi gagal dan selalu gagal. Sudah berbagai alasan Embun lontarkan, hingga akhirnya Embun menyerah. Dia diamkannya pria itu berbuat sesuka hatinya.
Cakrawala sendiri bukan tidak mengerti dengan maksud Embun, tapi dia ingin benar-benar melihat perkembangan kesehatan wanita itu juga calon bayi mereka.
Meski tanpa sepengetahuan Embun pria itu mencuri-curi waktu mengerjakan pekerjaannya lewat ponsel pintarnya.
Namun kini Cakrawala sudah kembali ke rumah kontrakan dia. Meski rasanya berat harus pisah kembali dengan Embun, tetapi pria itu mencoba bersabar sampai waktunya tiba mereka bisa hidup bersama.
*
*
*
Matahari pagi baru saja menampakan senyum terindahnya, sinarnya memancarkan kehangatan sampai kejiwa.
Di taman belakang kediaman orangtua Embun, tampak Rosa tengah asik berjemur bersama Embun sambil menikmati cemilan.
Namun ada yang aneh dengan raut wajah Embun yang tampak tidak bersahabat. Wanita hamil itu menekuk wajahnya sedemikian rupa.
Rosa sendiri hanya geleng-geleng kepala melihat roman sang putri yang kurang sedap, tetapi sebagai seorang ibu dia mengerti kenapa putrinya sampai seperti itu.
"Kenapa wajahmu ditekuk terus, Nak? Makan itu cemilannya susunya juga belum kamu sentuh, minumlah nanti keburu dingin nggak enak." Ucap Rosa lembut.
Embun melirik sekilas, kepalanya menggeleng tanda dia menolak apa yang dikatakan sang mama.
"Nggak, Mah. Aku lagi Nggak napsu," jawabnya sambil memainkan jemari-jemari lentiknya dibibir gelas s**u.
"Jangan begitu, Sayang. Kasihan calon bayinya. Dia butuh nutrisi untuk perkembangannya. s**u itu bagus lho buat bumil. Paksakan sedikit-sedikit ya," bujuk Rosa agar Embun mau meminumnya.
"Tapi rasanya gak enak. Berasa enek gitu, Mah. Aku ingin rujak aja. Bolehk 'kan, Mah?" tanya Embun penuh harap.
"Hah, apa? Nggak salah, Sayang. Ini masih terlalu pagi lho. Nanti perutnya sakit, yang lain saja, ya. Jangan bikin Mama khawatir," ujar Rosa seraya memandang dalam sang putri.
"Kayanya nggak deh, Mah. Hanya itu yang ingin Embun makan. Rasanya sudah berasa dilidah. Boleh kan Mah Embun minta itu?" mohon Embun dengan memasak mimik memelas.
Tak tega melihat sang putri yang terlihat ingin sekali memakan rujak, Rosa pun mengiyakan apa yang menjadi ingin dari putrinya itu. Dengan menarik napas berat wanita paruh baya tersebut bergegas bangkit dari duduknya. Dia bermaksud menyuruh Art nya untuk menyiapkan apa yang diminta Embun.
Melihat sang mama ingin pergi, langsung Embun melayangkan protesan. Dia tidak mau berjemur sendirian.
"Mama, mau kemana? Embun ikut, gak mau Embun ditinggal sendirian. Kenapa sih Mama tega?" protes Embun dengan raut kecewa.
Rosa yang hendak melangkahkan kaki, urung. Ibu dari Embun itu kembali membalikan tubuhnya menghadap sang putri. Dengan dahi mengernyit dia mencoba memberi pengertian.
"Hei, kata kamu mau rujak 'kan? Jadi Mama mau nyuruh Mbak buat bikinin. Kamu tunggu sebentar, ok."
"Oh, ya udah. Embun kira Mama mau ninggalin, Embun. Yang pedes ya, Mah. Terus buahnya mau Mangga aja. Membayangkannya saja air liur Embun udah pingin netes nih," jawab Embun sambil nyengir.
"Tapi Mangga muda nggak punya setok dirumah. Apa mau diganti yang ada saja? Nggak apa-apa 'kan?" tanya Rosa kembali penuh kehati-hatian, takutnya merusak mood sang putri yang tengah sensitif.
Benar saja setelah mendengar jawaban Rosa, seketika wajah Embun memberenggut. Kepalanya langsung dia geleng-gelengkan.
"Embun maunya mangga muda, Mah. Pokoknya harus ada, gak mau yang lain!" jawabnya penuh penekanan, seakan ingin memberitahukan jika dia sangat menginginkan buah tersebut.
Mood Embun selalu berubah-ubah, hingga membuat Rosa harus lebih sabar menghadapinya.
Rosa menarik napas dalam bingung harus kemana mencari mangga muda. Untuk sekarang belum saatnya musim mangga, kecuali mangga mateng masih bisa dicari disupermarket atau toko buah biasa.
"Baiklah Mama akan suruh Pak Budi untuk mencarinya. Sebentar ya, kamu yang sabar."
"Kenapa harus nyuruh Pak Budi? Suruh saja laki-laki itu, bukan kah dia yang membuat Embun seperti ini. Biarkan dia tanggungjawab, Mah." Ucap Embun seraya mengepalkan tangannya, sorot matanya menyiratkan kebencian mendalam.
Rosa tersentak kaget atas ucapan sang putri. Dia tidak menyangka jika Embun akan berkata demikian. Namun dia mencoba pura-pura tidak paham dan kembali mengajukan tanya pada putrinya itu.
"Siapa laki-laki yang kamu maksud itu, Sayang?" tanya Rosa pura-pura tidak paham.
Padahal dalam hatinya dia paham siapa orang yang dimaksud oleh sang putri. Namun Rosa ingin mengetes sejauh mana Embun mau mengakuinya.
Dan benar saja Embun langsung menjawab meski ada nada kesal dalam ucapannya.
"Siapa lagi kalau bukan orang gila itu, Mah. Bukan kah Mama juga tahu orang yang sudah membuat Embun tersiksa seperti ini, kalau bukan dia." Jawab ketus Embun.
Rosa menatap dalam sang putri. Bibirnya bergerak menyebutkan nama yang sangat dibenci oleh Embun.
"Cakrawala yang kamu maksud, Sayang? Ya sudah kalau kamu menginginkan dia yang nyari mangganya, Mama akan suruh dia sekarang. Namun sepertinya harus di telpon dulu karena dia tidak masuk kerja hari ini. Tidak apa-apa kan kalau kamu menunggu sebentar?"
"Nggak apa-apa, Mah. Yang penting suruh tuh orang nyari. Dan katakan pada dia, aku mau mangganya yang langsung metik biar seger."
"Hah? Langsung metik gimana, Sayang? Di perumahan kita tidak ada yang punya pohon mangga. Kamu jangan ngada-ngada. Kasihan Cakrawala kalau harus nyari-nyari pohon mangga yang ada buahnya. Biar beli saja ya di supermarket," bujuk Rosa pada Embun.
"Nggak, pokoknya Embun mau dia yang nyari juga metik langsung. Kalau dia sampai nolak, biar Embun buang saja janin ini." Ancam Embun dengan air mata menggenang, bahkan mungkin hanya dengan satu kedipan matanya akan tumpah ruah membasahi pipi tirusnya.
Lagi-lagi Rosa hanya bisa menarik napas berat dengan keinginan sang putri. Benaknya berkecamuk, memikirkan bagaimana jika Cakrawala tidak bisa mendapatkan mangga muda itu.
Sudah dapat dia tebak ending dari semuanya. Putrinya itu akan mengamuk dan tidak menutup kemungkinan semua yang diucapkannya akan dilakukan.
Rosa tidak mau Embun bertindak konyol untuk yang kedua kalinya. Wanita paruh baya itu begidik ngeri hanya dengan membayangkan saja, jika Embun kembali nekat mencoba menggugurkan kandungannya.
Apalagi putrinya itu masih belum pulih benar. Seharusnya Embun lebih bisa menjaga kandungannya agar tetap kuat dan sehat.
Dengan suara berat, pada akhirnya Rosa menyanggupi untuk menghubungi Cakrawala.
"Baiklah, Mama akan menelpon Cakrawala agar segera datang kesini."
"Iya, Mah makasih." Jawab cepat Embun dengan wajah semringah.
Tak ada lagi mendung yang menggelayut di wajah cantiknya itu. Bibirnya pun melengkungkan senyuman khasnya kembali.
Sekejap Rosa merasa heran dengan perubahan mood putrinya itu yang sangat cepat. Namun dia tak mau ambil pusing dan mengusik kebahagiaan sang putri yang terlihat jelas.
Wanita itu menebak jika memang Embun lagi ngidam, dan Cakrawala sebagai ayah biologis dari janin yang dikandungnya ingin yang memenuhinya. Mungkin bawaan orok pikir Rosa.
Tanpa banyak bicara lagi, Rosa segera mengambil ponselnya. Dia ingin secepatnya menghubungi Cakrawala. Rerlihat wanita itu mengotak-atik benda pipih tersebut.
Tampak Rosa sangat serius ngomong dengan lawan bicaranya. Dia pun meminta pada Cakrawala agar secepatnya datang ke kediamannya.
"Mama udah ngomong sama Cakrawala. Sebentar lagi dia akan datang. Kamu tunggu saja, ok." Ucap Rosa pada Embun yang tengah duduk menghadap dirinya sambil terus menatap kepadanya.
"Dia mau mengabulkan permintaan Embun, Mah?" tanya wanita hamil itu dengan binar dimatanya.
Bibirnya tak henti-hentinya terus melengkungkan senyum. Sampai dahi Rosa mengernyit melihat ekspresi sang putri yang terlihat begitu bahagia.
"Iya, kamu sepertinya seneng banget. Apa kamu sudah—" omongan Rosa menggantung saat dengan cepat Embun memotongnya.
"Jangan berpikir yang aneh-aneh, Mah. Embun hanya ingin segera merasakan nikmatnya makan rujak mangga, tidak lebih."
Rosa tak lagi menjawab, dia tidak ingin ribut dengan Embun hanya karena hal sepele.
"Assalammualaikum," ucap salam seseorang dengan suara baritonnya.
Sontak kedua wanita yang tengah duduk tersebut menolehkan wajah. Rosa tersenyum hangat menyambut tamu yang datang. Beda sekali dengan Embun yang langsung membuang muka karena manik mata keduanya yang sempat bertubrukan.
"Hai, Cakra sini. Kamu sudah datang, ya."
"Iya, Nyonya." Jawab Cakrawala sambil mendekat.
"Kamu lupa harus panggil saya apa?"
"Iya, maaf, Mah. Oh, iya sebenarnya ada apa ya saya disuruh kesini?"
"Duduk dulu lah biar enak ngomongnya."
Cakrawala mengangguk, gegas dia pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Embun.
"Jadi gini ya, Cakra. Embun itu mau rujak mangga muda, tapi mangganya mau kamu yang nyari dan petik langsung dari pohonnya. Kamu sanggup 'kan?" tanya Rosa penuh harap.
"Apa?"