"Mamaaaa...!" jerit Embun saking kagetnya melihat tubuh Rosa yang ambruk di lantai.
Gadis itu langsung berlari tak peduli tubuhnya yang terasa lemas karena habis muntah-muntah.
"Tolong.. tolong...!" teriak Embun seraya memeluk tubuh sang mama.
Air mata telah membanjiri kedua pipi gadis itu, dia mengguncang-guncangkan tubuh Embun agar sadar kembali.
"Ada apa, Embun?" tanya Indra, sang papa sambil berlari tergopoh menghampiri kedua wanita yang sangat penting dalam hidupnya itu.
"Mama, Pah. Di-dia pingsan. A-aku takut Mama kenapa-napa," jawab Embun dengan suara terbata-bata.
Raut ketakutan tampak kentara sekali di wajahnya. Hatinya cemas sang mama pingsan setelah melihat hasil dari alat tadi yang dia gunakan. Walaupun dia sebenarnya tidak paham sama sekali, dengan hasil yang ditunjukan alat itu.
"Bantu Papa untuk memindahkan, Mamamu." Indra memberi titah pada sang putri.
Embun pun mengangguk. Dia membantu papanya untuk memindahkan tubuh sang mama ke atas ranjang miliknya.
"Tolong ambilkan minyak angin atau apalah untuk membantu mama kamu sadar." Kembali Keenan memberikan perintah.
Embun segera pergi berlalu mengambil benda yang diminta papanya. Kebetulan dikamarnya ada minyak kayu putih, gegas dia mengambilnya dan langsung menyodorkannya pada sang papa.
"Ini ada minyak kayu putih, Pah." Embun menyodorkan minyak kayu putihnya, dan kembali duduk di sebelah Rosa yang tengah terbaring belum sadarkan diri.
Gadis itu memijit lembut tangan sang mama. Tanpa bicara Indra menerima minyak kayu putih yang disodorkan Embun. Pria itu membuka tutup botol minyak kayu putihnya, lantas menuangkannya beberapa tetes di telapak tangannya. Kemudian mengoleskan sedikit pada indra penciuman sang istri.
"Sebenarnya bagaimana kronologinya Mama kamu sampai bisa pingsan begini? Dia pasti mendapatkan kabar atau sesuatu yang membuatnya syok. Bukannya Papa sudah bilang tolong jaga hati Mama kamu jangan sampai mendapatkan kabar yang akan membuat dia syok. Sejak Mama kamu mendapatkan kecelakaan ketika tengah mengandung kamu, sampai sekarang dia tidak bisa menerima kabar yang akan membuat dia terkejut. Kamu paham 'kan?" bentak Indra tak sadar.
"I-iya, Pah. Emhun, ngerti. Hanya saja Embun juga tidak mengerti kenapa Mama sampai pingsan seperti itu." Embun menjawab perkataan Indra dengan takut-takut.
Gadis itu semakin ketakutan setelah mengingat kembali penyebab sang mama pingsan.
"Katakan yang jujur, kenapa mama kamu sampai tak sadarkan diri seperti ini? Papa hanya ingin tahu saja, Embun."
Tanpa mengalihkan pandangan dari istrinya, Indra kembali mendesak putrinya agar mau bicara jujur.
Tak ada pilihan bagi Embun selain berkata jujur pada papanya itu. Dia tidak ingin papanya bertambah murka jika dia tak segera berkata jujur.
"Ini, Pah. Benda ini yang menyebabkan Mama pingsan. Dan aku tidak paham kenapa Mama sampai bisa pingsan. Padahal itu hanya sebuah alat saja," ungkap Embun begitu polos sambil menyodorkan benda pipih tersebut.
Kening Indra mengkerut setelah melihat alat yang di sodorkan sang putri. Dia merasa bingung kenapa istrinya itu, sampai pingsan jika benar dia telah melihat alat tersebut. Beribu pertanyaan bercokol dalam benak pria paruh baya itu.
"Coba Papa lihat, Embun. Papa ingin mengeceknya," ucap Indra pada Embun sambil menengadahkan telapak tangan.
"Baik, Pah."
Dan seketika mata Keenan melebar setelah melihat benda itu menunjukan garis dua, yang artinya ada salah satu wanita di rumah ini pemiliknya. Indra berpikir sang istri tengah mengandung lagi, lantas syok setelah mengetahuinya.
"Apa mama kamu ngomong jika dia tengah berbadan dua? Dan dia tidak siap untuk menerimanya," tanya Indra sambil menatap sang putri yang terlihat sangat ketakutan.
Refleks Embun menggelengkan kepala. Tanda dia tidak pernah mendengarnya.
"Pah, apa hasil dari benda itu menunjukan jika seorang wanita tengah mengandung?" Embun bertanya penuh kehati-hatian agar tidak mendapat curiga dari sang papa.
"Ya, itu alat pengetes kehamilan. Dan hasil yang di tunjukan alat itu, wanita pemiliknya memang sedang mengandung. Meski memang harus di cek ulang ke Dokter kandungan untuk meyakinkan hasilnya, tetapi biasanya suka tidak meleset. Kenapa, kamu tahu pemilik alat ini?" selidik Indra yang mulai merasa curiga akan sikap yang ditunjukan sang putri.
Indra merasa curiga setelah melihat reaksi Embun yang terkejut, juga langsung menutupi mulutnya dengan telapak tangan dengan mata yang melotot.
"Mmh, i-itu a-aku tidak tahu, Pah." Embun menjawab pertanyaan sang papa dengan suara terbata-bata.
Pria itu semakin menaruh curiga pada sang putri, terlebih putrinya itu yang terlihat gugup dengan wajah memucat.
"Kamu yakin tidak tahu, Embun? Atau memang kamu tengah menyembunyikan sesuatu?!" tanya Indra penuh intimidasi.
Namun.
Ting.
Sebuah notifikasi masuk di ponsel milik Indra. Pria itu ingin abai, tetapi suaranya yang terus berulang membuat pria itu terpaksa merogoh ponsel yang ada di saku celananya.
"b******k!" maki Indra dengan muka memerah juga tangan terkepal kuat hingga buku-buku di jarinya terlihat memutih.
Tatapan Indra kini mengarah pada sang putri. Sorot matanya menyiratkan kemarahan yang begitu besar.
"Katakan jika benda itu bukan milikmu, Embun. Katakan!" bentak Indra menggelegar sambil mencengkram kuat pundak putrinya.
Tubuh Embun bergetar. Gadis itu sangat ketakutan melihat sang papa yang terlihat sangat murka padanya. Air mata sudah membanjiri kedua pipi tirusnya.
"Pah," ucapnya dengan suara tercekat.
"Katakan, Embun Benda itu bukan milikmu 'kan?" ucap Indra mengulang pertanyaan.
Dia berharap putrinya itu akan mengatakan bahwa benda itu bukan miliknya. Namun di luar dugaan justru Embun malah menganggukkan kepala meski samar.
"s**t!" umpat Indra sambil mengusap wajahnya kasar. "Astaga, Embun. Dengan siapa kamu telah berbuat Gila, hah? Papa mendidik kamu agar menjadi wanita terhormat dan bisa menjaga kehormatan kamu sebagai wanita."
Plak.
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Embun. Dengan sangat kasar Indra telah menampar sang putri yang selama ini merupakan putri kesayangannya. Tubuh pria jangkung itu bergetar menahan tangis juga emosi yang melanda jiwanya.
"Siapa pria itu? Papa harus memberi perhitungan pada dia. Apakah dia Devan? Pria yang selama ini kamu cintai. Jawab, Embun!" lagi-lagi suara Indra menggelegar memenuhi seisi ruangan kamar sang putri.
"Bu-bukan, Pah. Dia bukan, Devan. Namun–"
Dengan suara lirih nyaris tidak terdengar Embun menggantung ucapannya. Gadis itu ragu untuk mengatakannya.
Mata Indra memicing. Wajah pria itu terlihat bengis dengan sorot mata penuh kilatan amarah.
"Lalu, siapa pria b***t yang telah meniduri kamu itu? Apakah Papa mengenalnya? Jujurlah, Embun" ucap Keenan penuh penekanan.
Hati Embun gamang. Antara ingin jujur atau terus menyembunyikan identitas pria itu. Jika dia berkata jujur, takut papanya akan memaksa dia untuk menikah dengan pria b******k yang tak pernah dia cintai. Untuk itu Embun memilih bungkam, bibirnya mengatup diam seribu bahasa.
"Katakan, Embun!" ulang Indra sambil menjepit kedua pipi sang putri dengan jari-jari besarnya.
Embun meringis merasakan sakit yang teramat dalam sampai kerelung hatinya. Baru kali ini dia mendapatkan perlakuan kasar dari sang papa.
"Mas..."