"Mas," suara lirih Rosa kembali terdengar.
Indra menoleh ke arah sang istri yang tengah menatapnya sendu, tanpa melepaskan jepitan tangannya pada pipi Embun. Wajah cantik sang istri mendadak mendung, seiring manik matanya melihat pemandangan tak enak di depannya.
"Kamu sudah sadar, Sayang? Sebenta Mas selesaikan dulu urusan dengan anak kurang ajar ini," ucap Indra sangat mengiris hati Embun.
Tes.
Satu tetes bulir bening menetes kembali di kedua pipinya yang sempat mengering. Kata-kata sang papa mampu membuat hatinya menjerit sakit.
"Pah, maaf." Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir tipis Embun.
"Maaf katamu! Apa kata maaf itu akan mampu membuat keadaan bisa kembali? Dan apa dengan kata maafmu itu, anak dalam rahimmu bisa hilang? Kamu sudah membuat kami kecewa, dan lihat mama kamu. Dia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dengan tingkah putri yang selama ini dianggapnya manis juga baik. Nyatanya putri kesayangannya itu hanya bisa membikin malu saja." Indra semakin kuat menekan jari tangannya di pipi Embun.
"Ampun, Pah. Ini bukan mutlak salahnya Embun, tetapi semua salah pria itu yang sudah tega merenggut kesucian Embun. Jika ingin marah harusnya Papa marah saja pada dia. Karena Embun tidak sadar melakukannya," ucap Embun membela diri.
"Apa yang kamu bilang barusan? Kamu tidak sadar melakukannya? Ha-ha-ha, saking enaknya hingga kamu bilang tak sadar. Dasar anak kurang ajar tak tahu malu," tawa besar Indra menggema di kamar tersebut, tetapi di balik tawa itu ada rasa sakit yang menelusup kedalam relung hatinya
"Jangan katakan itu, Mas. Aku tidak sanggup mendengarnya. Bagaimanapun Embun tetap putri kita." Rosa ikut menimpali, wanita itu tak sanggup melihat putrinya di perlakukan kasar oleh suaminya sendiri.
"Mas, juga tidak akan berbuat kasar andai anak sialan ini ngaku siapa pria yang telah menghamili dia itu," ucap Keenan dengan suara meninggi dan mata melotot sempurna pada Embun.
"Demi Mama, tolong katakan, Embun. Siapa pria b***t yang tidak bertanggungjawab itu? Mama tidak sanggup melihat kamu terus di tekan Papa," ucap Rosa dengan suara lirih.
Rosa mendongak menatap papanya, tangan gadis itu terulur menyentuh tangan Indra yang masih menjepit kuat pipinya.
"Katakan, Embun!" rangsek Indra penuh penekanan.
Embun masih diam membisu. Hati gadis itu benar-benar dilema. Namun tekanan yang kuat dari papanya membuat dia nyerah. Akhirnya Embun pun mau berkata jujur siapa pria yang telah tidur bersama dirinya.
"Di-dia Cakra, Pah, Mah. Pria itu yang telah meniduri Embun, pria itu pula yang telah menghancurkan hidup anakmu ini. Dia yang telah membuat tubuh Embun menjadi kotor," adu Embun dengan napas tersenggal, menahan gejolak amarah yang datang menyeruak memenuhi rongga dadanya.
Seketika otak Indra ngeblank. Dia tidak menyangka nama Cakra lah yang menjadi tersangkanya. Namun dia pun tidak mau berspekulasi sendiri. Indra ingin memastikan kembali apakah Cakra yang dimaksud Cakrawala, atau Cakra yang lain?
"Katakan yang jelas, Cakra mana yang kamu maksud? Kamu jangan asal tuduh orang begitu saja, hah!" bentak Indra seraya makin kuat mencengkram kedua pipi sang putri.
"Shhh, sakit, Pah. Ampun," rintih Embun.
Melihat Embun diperlakukan kasar terus oleh sang suami, hati Rosa merasa tak tega. Wanita itu bangkit dari tidurannya, lantas berusaha turun dari ranjang ingin mencegah sang suami bertindak lebih kasar lagi.
"Sudah, Mas. Jangan sakiti Embun lagi . Kasihan dia sangat tertekan."
"Sebentar, Sayang. Anak kurang ajar ini harus di tekan agar bicaranya tidak berbelit-belit." Indra berucap dengan begitu tegas.
"Embun, tolong bicaralah yang benar, Nak. Siapa Cakra yang di maksud kamu itu?" tanya Rosa dengan begitu lembut.
Embun menatap sang mama dengan sorot mata yang entah. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak dari dalam dadanya.
"Ca-Cakra sopir pribadi keluarga kita, Mah. Dia orangnya," jawab Embun dengan suara terbata-bata.
Cengkraman jari-jari Keenan mengendur, perlahan tangannya pun terlepas dari kedua pipi Embun.
"b******k!" umpatnya sambil pergi berlalu dari kamar itu, bahkan Indra tak pedulikan lagi istrinya yang menatap dia dengan sorot mata terluka.
*
*
*
Brak!
Pintu sebuah rumah kostan terbuka paksa karena di dobrak Indra. Mata pria itu memindai ke seluruh ruangan tersebut, mencari sosok pria yang telah membuat keluarganya harus menanggung malu.
"Cakrawala, dimana kamu? Keluar, b******k!" teriak Indra menggelegar memenuhi ruangan kostan yang sempit itu.
Cakrawala yang baru saja menyelesaikan sarapannya, berjengit kaget setelah mendengar suara orang yang di kenalnya. Gegas pria itu berjalan mendekati sumber suara.
Deg.
Jantung Cakrawala berdebar hebat saat mengetahui siapa orang yang datang. Dalam hati bertanya-tanya akan maksud kedatangan tamunya yang membawa amarah, tetapi Indra ingin tetap menunjukan etika yang baik pada sang tamu.
"Tuan Indra! Maaf saya tidak mengetahui sebelumnya kalau Anda akan bertamu ke sini. Suatu kehormatan bagi saya Tuan bisa datang ke tempat saya," ucap Cakrawala berbasa-basi.
Pria yang biasanya tak banyak bicara itu, seketika mendadak ramah pada tamunya yang satu ini. Indra tak membalas ucapan Cakrawala. Namun,
Bugh.
Tiba-tiba pria paruh baya itu melayangkan tinjuan tepat di wajah tampan milik Cakrawala. Karena merasa tidak tahu akan diserang, Cakrawala hanya melongo menatap tak percaya tamunya.
"k*****t kamu, ya. Kamu telah menghancurkan masa depan hidup putri saya. Kamu enak-enakan hidup di sini tanpa beban, sedangkan putri saya di sana harus menanggung aib." Indra kalap kembali dia melancarkan serangan pada Indra secara membabi buta.
Bugh, bugh. Kali ini tinjuannya bersarang di perut juga rahang Cakrawala. Namun sama sekali Cakrawala tidak melawan, bukan dia takut tetapi dia sadar apa yang di katakan Indra benar adanya. Dia telah menghancurkan masa depan seorang gadis. Maka dari itu untuk mengurangi rasa bersalahnya, Cakrawala membiarkan tubuhnya di siksa Indra.
"Bangun b******k. Ayo lawan saya. Kenapa kamu diam saja, hah? Apa kamu tidak punya nyali?" tanya Indra dengan senyum smirknya.
"Lakukan saja, Tuan. Saya pasrah, karena saya mengaku salah," jawab Cakrawala sambil meringis, saat tangannya mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan cairan merah kental.
"Ha-ha-ha. Saya tidak akan bersimpati pada kamu, walaupun kamu tidak melawan. Dan saya sekarang meminta pertanggungjawaban kamu." Indra mencengkram kerah kemeja yang Cakrawala pakai, pria itu sampai melotot saking kuatnya cengkraman Indra.
"Maafkan saya, Tuan. Tolong lepaskan tangan Anda, saya sesak tidak bisa bernapas." Cakrawala meronta-ronta ingin melepaskan cengkraman tangan Indra yang terasa mencekik lehernya.
"Mimpi! Saya tidak akan melepaskanmu, b******n! Jangan harap saya mau bersimpati pada pria b***t seperti mu."
"Ba-baik. Lakukan jika itu bisa menebus kesalahan saya ini, Tuan." Jawab Cakrawala dengan muka memerah menahan sakit.
"Tu-Tuan. Prang!"