Hiks, hiks, hiks.
Suara tangis Embun pecah memenuhi kamar Vila tersebut. Jiwa gadis itu sangat terguncang setelah menyadari apa yang telah terjadi pada dirinya.
"Ckk, berisik banget."
Tanpa sadar Cakrawala yang tengah tertidur pulas di samping Embun menggerutu kesal.
Kelopak mata pria itu perlahan terbuka. Tampak dia memicingkan mata menatap ke arah Embun yang tengah menangis sambil memeluk kedua lututnya sendiri.
"Non Embun! Ada apa dengan Non?" tanya Cakrawala panik dan langsung terperanjat kaget.
Otak pria itu masih loading karena kesadarannya pun belum terkumpul sepenuhnya.
"Hei! Kenapa Non Embun menangis?" tanya ulang dia kembali karena masih belum paham keadaan.
Cakrawala ingin memeluk tubuh Embun yang terlihat rapuh juga berantakan. Gadis itu membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, sebab tidak ingin Kayvan melihat kembali tubuhnya yang tengah bertelanjang bulat.
"Stop! Jangan mendekat. Gue tidak ingin disentuh tangan kotormu itu!" teriak Embun dengan sorot mata tajam seakan mampu menembus jantung Cakrawala.
Pria itu memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Bukan hanya dari penolakan Embun saja, tapi memang dia yang kurang tidur akibat semalaman menggempur habis-habisan gadis tersebut. Hingga menjelang subuh baru dia bisa terlelap, dan kini harus terbangun kembali karena mendengar tangisan Embun.
"Ok, saya diam, tapi jawab dulu ada apa dengan Non Embun? Kenapa Non nya terus menangis? Sebenarnya apa yang Non tangisi?" tanya Cakrawala dengan begitu bodohnya.
Dia tidak menyadari telah membuat jiwa Embun terguncang dengan apa yang dirinya lakukan semalaman.
"Dasar laki-laki b******k. Ternyata memang benar apa yang selama ini gue dengar, dan itu bukanlah hanya sekedar rumor belaka. Elo memang biadab, pura-pura bodoh setelah apa yang elo lakukan pada gue, hah!" cerocos Embun dengan begitu sengit, tetapi tatapan matanya terlihat kosong tak bernyawa.
Tangan gadis itu mencengkram kuat selimut yang membungkus tubuhnya. Sorot matanya menyiratkan kebencian yang mendalam pada sosok pria yang tengah menatapnya heran tersebut.
"Sorry, sorry. Saya benar-benar tidak paham. Kenapa kamu sangat marah, Non Embun?"
Lagi-lagi otak Cakrawala masih belum konek dengan keadaan. Padahal pria itu merupakan CEO perusahaan besar walaupun tengah menyamar, tetapi kenapa sekarang dia mendadak bodoh untuk sekedar mencerna keadaan saat ini.
Terlihat Embun mendengus sebal mendengar pertanyaan yang Cakrawala lontarkan. Dia benar-benar tidak habis dengan jalan pikiran pria itu.
"Cukup Cakra. Elo tidak usah pura-pura bodoh lagi. Lihat apa yang elo lakukan pada gue. Lihat!" jerit Embun sambil menunjuk-nunjuk dadanya sendiri saking kesalnya.
Bahkan gadis itu semakin menangis meraung-raung meluapkan emosi yang membelenggu dalam jiwanya.
"Astaga, Non Embun. Kenapa kamu mesti semarah itu pada saya? Apa kamu tidak sadar? Bukannya semalam kamu yang meminta saya puaskan dan Non nya selalu ingin mengu—" Cakrawala menggantung kalimatnya karena terpotong ucapan Embun.
"Stop! Jangan elo teruskan omongan tak berfaedah elo itu. Gue benci sama elo, Cakrawala. Benci!!!" Embun kembali berteriak untuk meluapkan kekesalan di hatinya seraya terus terisak.
"Hei! Sabar lah dulu, Non. Semua bisa di bicarakan baik-baik. Saya tak berani melakukan semua itu, jika bukan Non Embun yang memintanya duluan. Saya pun sudah mencoba menolak, tapi Non keukeuh meminta dan terus merayu hingga semua itu terjadi begitu saja. Jadi semua itu bukanlah sepenuhnya salah saya juga, bukan?"
Cakrawala mencoba membela diri agar Embun paham dan tidak menyalahkan dia sepenuhnya.
Mendengar pernyataan Cakrawala yang membela diri, Embun jadi terdiam. Namun ego gadis itu sangatlah tinggi, makanya bersikeras dia tetap menyalahkan Cakrawala.
"Pergi! Enyahlah dari hadapan gue ini, Cakra. Gue tidak ingin melihat wajah elo lagi," usir Embun begitu garang dengan air mata yang terus mengalir di pipi tirusnya.
"Suttt. Tenang, tanangkan dulu hati Non Embun, ok. Kita sama-sama melakukannya tanpa sengaja. Saya juga tidak tahu kenapa semua itu bisa terjadi. Dan apa mungkin cairan dalam botol itu mengandung obat yang bisa membuat kita menjadi sama-sama terangsang? Saya juga belum paham. Saya akan menyelidikinya nanti," ucap Cakrawala sembari ingin memeluk kembali Embun.
Merasa tidak tahu Cakrawala akan memeluk dirinya, Embun tidak bisa menghindar. Terpaksa gadis itu, pasrah saat Cskrawala memeluk tubuhnya erat.
"Maafkan semua kekhilapan saya Non. Saya berjanji akan bertanggungjawab atas diri Non. Saya akan datang kepada orangtua Non Embun untuk menikahi Non Embunnya. Jangan menangis lagi, karena itu membuat saya semakin merasa bersalah," ujar Cakrawala sembari tetap memeluk Embun.
Cakrawala ingin memberikan rasa nyaman pada gadis itu, agar Aleena tidak lagi terguncang jiwanya setelah apa yang mereka lakukan.
"Menjauh dari hadapan gue, Cakra. Gue tidak sudi elo nikahi. Lebih baik gue tidak menikah sama sekali daripada harus menikah dengan pria b******k macam lo, itu. Dan ingat lo hanyalah seorang sopir keluarga gue. Jangan mimpi kalau lo bisa nikahi gue, hah!" Embun mendorong d**a Cajrawala agar menjauh dari dirinya.
Jelas tergambar kilatan amarah dalam sorot mata Aleena. Cakrawala terpaksa mengalah, pria itu menjauh dari Embun, tetapi masih di atas ranjang yang sama.
Nyes. Rasa sesak memenuhi rongga d**a pria itu setelah mendapat penghinaan dari Embun. Ingin dia mengungkapkan semuanya, tetapi belum saatnya dia melakukan.
Hening.
"Mau saya bantu untuk membersihkan tubuhmu, Nona? Saya tahu tubuh kamu pasti sakit karena ulah saya itu. Nona mau, ya, saya bantu?" tawar Cakrawala terdengar tulus.
"Tidak. Keluar dari kamar gue!" usir Embun kembali.
"Huft." Cakrawala menghembuskan napas gusar." Ok, saya akan pergi, tapi izinkan saya pinjam kamar mandi Nona sebentar."
Embun enggan menanggapi ucapan Cakrawala , gadis itu diam seribu bahasa. Cakrawala pun melenggang memasuki kamar mandi dengan bertelanjang bulat. Melihat semua itu membuat Embun refleks membuang muka.
"Dasar sinting," gumamnya dengan pipi bersemu merah.
*
*
*
Dua bulan sejak kejadian di Villa Bandung itu, Embun menutup akses komunikasi dengan siapa pun. Termasuk Vika sahabatnya sendiri.
Begitu juga dengan Cakrawala, pria itu hilang begitu saja tak ada kabar sama sekali. Malahan rumor tentang pria tersebut semakin santer terdengar, dan membuat Embun semakin membenci Cakrawala.
Huek, huek, huek.
Pagi-pagi sekali Embun sudah muntah-muntah tak jelas. Perutnya mual seperti ada yang mengaduk-aduk.
"Embun, Embun. Kamu kenapa, Nak?" tanya Rosa mamanya Embun yang kebetulan masuk ke kamar sang putri, untuk mengajak sarapan bareng.
"Mah, perutku mual. Udah satu minggu ini aku merasakannya. Mungkin asam lambung ku naik."
"Kamu sih suka telat makan melulu," omel Rosa.
Namun wanita paruh baya itu, tak urung membantu putrinya memijit tengkuk Embun agar mengurangi rasa mualnya.
"Udah, Mah. Sepertinya sekarang aku udah baikan."
"Ya, udah sebentar Mama bawakan air hangat dulu. Sekarang kamu istirahat saja," ujar Rosa sambil pergi berlalu keluar kamar.
Embun menurut dia berbaring di ranjangnya kembali.
Tak berselang lama Rosa telah kembali dengan membawa sebuah benda pipih.
"Ayo, bangun, Embun. Nih coba alat ini. Semoga hasilnya tidak membuat Mama jantungan." Rosa menyodorkan alat tersebut pada Embun.
Dengan kening berkerut gadis itu ingin memprotes, tapi pelototan sang mama mampu membuat nyali dia menciut. Tak urung dia pun menerimanya.
"Apa ini, Mah?" tanyanya sambil menilik benda yang ada di tangannya.
"Jangan banyak tanya. Cepat sekarang kamu masuk kamar mandi, lalu pakai alat itu. Gunakan sesuai anjuran yang ada di dalam kemasannya," perintah Rosa terkesan memaksa.
Tanpa banyak tanya lagi, Embun masuk kembali ke kamar mandi. Di dalam sana dia menggunakan benda tersebut sesuai petunjuk.
"Ini, Mah." Embun menyodorkan benda tersebut, setelah beberapa menit dia baru keluar lagi dari kamar mandi.
Rosa menerima benda itu dengan jantung berdebar kencang. Dalam pikirannya berkecamuk segala pikiran jelek. Namun hati dia sangat penasaran akan hasilnya. Setelah melihatnya betapa itu semua membuat dia syok. Tubuhnya limbung dengan kepala berdenyut-denyut.
"Astaga!"
Bruk.