Sebuah Pilihan Dari Rosa

1237 Kata
Delikan mata Rosa sungguh mematikan pada Indra sang suami, saat dia menyadari jika suaminya itu seperti terkejut mendengar nama Cakra disebut. "Kenapa Papa seperti terkejut begitu? Bukankah Cakra itu juga penting? Dia Sopir pribadi kita, ingat itu Pah. Dan Mama sudah menganganggap dia itu keluarga kita sendiri. Jadi menurut Mama menjenguk dia dirumah sakit itu sangat penting. Apalagi sakitnya dia karena ada orang yang tega menganiyaya sampai harus berakhir dirumah sakit. Sungguh kejam orang itu," sindir Rosa seraya melirik Indra yang tengah menatapnya. "Mmh, Mama tahu orang yang menganiyaya, Cakra?" tanya Indra terlihat kikuk. Bahkan pria paruh baya tersebut tak berani menatap manik mata sang istri. Pandangan mata dia arahkan sembarangan agar tak bertemu tatap. "Lebih dari sekedar tahu, Pah. Bahkan Mama berniat untuk melaporkan orang tersebut, andai dia tidak datang untuk meminta maaf kepada Cakra." Ungkap Rosa seraya melirik tajam kearah Indra. "Apa-apaan. Kenapa Mama lebih memilih pria b***t itu? Tidak! Papa tidak akan pernah setuju Mama lapor polisi," jawab Indra terdengar tegas, tetapi tersimpan keraguan dalam setiap kalimat yang diucapkannya. Rosa tersenyum miring mendengar jawaban Indra yang terkesan tegas, tetapi seperti ketakutan. "Dia yang akan menjadi menantu Mama nanti. Jadi sebagai calon mertua yang baik, harus bisa melindungi calon menantunya dari ancaman orang yang tidak menyukai dia." Balas Rosa terkesan santai. "Apa?!" jawab Indra bersama Embun seraya melototkan kedua matanya. "Kenapa kalian terkejut begitu? Apa ada yang salah?" tanya Rosa sambil mengedarkan pandang kepada keduanya. "Jangan ngada-ngada deh, Mah. Mana mungkin Embun menikahi sopir sih? Nggak! Embun nggak bakalan terima. Lebih baik Embun nggak nikah selamanya daripada harus menikah dengan seorang Sopir." Ungkap Embun sambil mendengus kesal. Begitu pun dengan Indra yang langsung melayangkan tatapan tajam pada istrinya itu. Pria paruh baya tersebut tak terima jika sang putri mau dinikahkan dengan Cakra. "Lantas jika kamu tidak mau menikah dengan Cakra, dengan siapa kamu akan menikah? Kamu masih mengharapkan pria yang kamu cintai itu? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungan mu, Embun?" tanya Rosa terdengar marah. "Akan Embun gugurkan janin ini, Mah. Dia tidak berhak lahir kedunia ini, karena dia hadir atas dasar kesalahan. Jadi Mama tidak usah repot-repot memikirkan semua itu," ungkap Embun penuh percaya diri. "Apa? Gila kamu. Sudah berbuat dosa, sekarang mau membuat dosa besar lagi dengan membuang janin tak berdosa itu, hah? Dimana hati nurani mu sebagai calon ibu, Embun?!" teriak Rosa penuh emosi. Wanita paruh baya tersebut sangat kecewa atas jawaban sang putri yang berniat ingin membuang janin tak berdosa tersebut. "Maaf, Mah. Keputusan Embun sudah tepat. Memang janin itu harus dilenyapkan sebelum dia lahir ke dunia ini. Papa tidak mau menanggung aib juga malu karena memiliki cucu diluar nikah. Apa yang akan dikatakan tetangga juga rekan bisnis Papa kalau mereka semua tahu. Jadi sebelum janin itu berkembang, lebih baik kita lenyapkan segera." Ungkap Indra seraya menatap manik sang istri. Kini keberaniannya muncul kembali setelah tahu sang putri juga tidak mengharapkan bayinya lahir. "Tidak! Mama tidak akan pernah setuju dengan ide gila kalian berdua. Pokoknya Embun harus menikah dengan Cakra dan tidak ada yang akan menggugurkan janin itu. Jika kalian sampai berani melakukannya, Mama akan angkat kaki dari rumah ini. Dan jangan harap akan bisa bertemu dengan Mama lagi, paham?" ancam Rosa seraya mengedarkan pandang pada Indra juga Embun bergantian. "Tapi, Mah." Protes keduanya berbarengan. "Sudah keputusan Mama sudah bulat, tidak bisa diganggu gugat. Hanya ada dua pilihan, menikah dengan Cakra atau Mama pergi? Terserah kalian mau pilih yang mana," ujar Rosa sambil berdiri ingin pergi berlalu meninggalkan Indra juga Embun. Dia tidak ingin terus berdebat dengan kedua orang tersebut yang sangat keras kepala. Rosa pikir lebih baik pergi saja daripada terus bicara yang tidak ada ujungnya. Sementara Embun, gadis itu terisak kecil tak lagi bisa menahan kekecewaan karena keputusan Rosa yang dirasa tidak adil bagi dirinya. Hatinya menjerit, memaki Cakrawala yang telah tega merenggut kesuciannya. "Tunggu, Mah. Janganlah memberikan pilihan yang sulit. Kasihan putri kita jika harus menikah dengan si Cakra. Embun pastinya tidak akan nyaman hidup serba pas-pasan. Dari sejak lahir dia itu tidak pernah hidup susah, jika dia menikah dengan si Cakra sudah dipastikan hidupnya akan sengsara. Tolong pikirkan lagi keputusan Mama itu," mohon Indra sambil merangkul bahu Rosa mesra. Indra berharap hati sang istri luluh dan mau merubah keputusannya. Karena bagaimanapun dia tak sudi bermenantukan seorang sopir. Tubuh Rosa balikan menjadi menghadap kearah suaminya. Bibirnya mengulas senyum hingga menular ke Indra. Pria itu sangat yakin jika sang istri akan merubah keputusannya, dan menyetujui akan ide dirinya bersama sang putri. "Papa yakin jika Embun menikah dengan Cakra hidupnya akan susah dan sengsara?" tanya Rosa dengan tatapan tajam seakan menusuk sampai kejantung Indra. Nyali Indra seakan menciut mendapatkan tatapan maut dari sang istri. Wajah yang sumringah kini terlihat meredup seakan harapannya menipis. Dengan hati tak yakin kepala dia anggukan tanda membenarkan pendapatnya. "Papa sangat yakin, Mah. Jika Embun menikah dengan si b******k Cakra, hidupnya akan sengsara. Untuk itu Papa mohon Mama jangan memaksa Embun agar mau menikah dengan si Cakra itu. Atau begini saja, Papa pecat dia lantas kasih uang tutup mulut dan kita suruh pergi menjauh dari kehidupan keluarga kita. Bagaimana, ide Papa cemerlang bukan?" ungkap Indra sembari menaik turunkan kedua alisnya disertai seringaian jahatnya. "Tidak!" "Setuju!" Seru kedua wanita yang berada di depan Indra berbarengan. Namun lontaran katanya tak seiring sejalan. Embun sangat antusias menyambut ide yang diungkapkan Indra, sedangkan Rosa sangat menolak keras ide sang suami. Ekspresi Indra terlihat cengo, atas jawaban kedua wanita kesayangannya. Pria itu bingung harus bersikap bagaimana. "Kenapa kali ini kalian tidak kompak? Bukannya kalian selalu menunjukan kebersamaan?" komentar Indra seraya menatap Rosa juga Embun bergantian. "Untuk kali ini Mama tidak akan kompakan dengan Embun. Keputusan sudah di buat. Pilih salah satu diantara keduanya," ucap Rosa terdengar tegas. "Tolong, Mah. Pikirkan lagi keputusan Mama itu. Janganlah membuat putrimu ini menderita seumur hidup. Embun tidak mencintai Cakra, jadi jangan paksa Embun untuk menikah dengan pria itu." Melas Embun dengan lehlehan cairan bening dikedua pipinya. Gadis tersebut berharap sang mama merubah keputusannya dan menyetujui ide sang papa. Embun sampai berlutut dikedua kaki Rosa sambil terus terisak. Melihat sang putri terisak seperti itu, hati Rosa terenyuh. Namun demi kebaikan bersama dia harus tega dan tetap pada pilihannya. "Jadi kamu tetap memilih tidak mau dinikahi Cakra. Baiklah jika itu sudah menjadi pilihanmu Mama tidak bisa memaksa," ucap Rosa seraya melangkahkan kaki menuju kamar pribadinya. Kepala Embun dongakan, menatap kepergian sang Mama. Sedangkan Indra tersenyum bahagia karena merasa hati istrinya telah luluh dan tidak lagi memaksakan kehendak. "Bangun lah, Embun. Mama kamu sepertinya tidak lagi memaksa kamu untuk menikah dengan si b******k itu." Ucap Indra sambil menatap sang putri dengan senyum terus terkembang dibibirnya. Sementara Embun masih terdiam mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulut Indra. Meski hatinya sedikit ragu, tetapi pada akhirnya seulas senyum terbit juga dibibir tipisnya. "Beneran Mama tidak lagi memaksa Embun untuk menikah dengan dia, Pah?" tanya Embun ingin memastikan keraguan dalam hatinya. "Papa yakin seratus persen, Embun. Kamu juga melihatnya bukan, jika mamamu itu tak memaksa kamu? Sekarang istirahatlah dikamar kamu. Besok Papa antar kamu ke kerumahsakit untuk konsultasi dengan Dokter Rama." "Baik, Pah. Embun ingin secepatnya membuang janin ini. Rasanya tak nyaman ada dia didalam sini," ucap Embun seraya menunjuk pada perutnya yang masih rata. "Iya, sekarang ka—" kalimat lanjutan dari bibir Indra menggantung. Pria itu tak lagi bisa meneruskan kata-katanya setelah menyadari kehadiran sang istri di sana. Rosa berjalan melewati pasangan papa dan anak yang tengah menatapnya syok. Sebuah koper besar Rosa geret menuju keluar rumah. "Mah, tunggu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN