"Mah, tunggu!" seru Indra bersama Embun berbarengan mengulanginya kembali.
Keduanya cepat mengejar Rosa yang tak mau mengindahkan seruan papa dan anak tersebut.
Langkah kaki Rosa terhenti saat tangannya ada yang mencekal dari belakang.
"Tolong jangan pergi, Mah!" suara Indra terdengar memelas dari balik punggungnya.
"Lepas! Tolong lepaskan tangan Mama. Bukannya Papa sudah mengambil keputusan? Jadi jangan halangi langkah, Mama." Ucap Rosa terkesan dingin.
Bahkan wanita itu tak mau membalikan badannya sama sekali. Rosa seolah enggan hanya untuk sekedar bertatap muka sekali pun.
"Tidak, Mah. Papa tidak akan melepaskan tangam Mama sebelum mau berjanji, jika Mama tidak akan pernah pergi dari rumah ini." Indra berkata seraya memaksa sang istri untuk melepaskan kopernya.
Rosa menatap nanar tangannya yang dicengkram kuat Indra, dan juga suaminya tersebut yang terus berusaha merebut kopernya.
Merasa jengah dengan tindakan sang suami, Rosa langsung menepis cengkraman tangan suaminya itu.
"Sudahlah, Pah. Bukannya Papa bersama Embun sudah mengambil keputusan? Biarkan Mama pergi. Jangan menghalangi Mama lagi," ucap Rosa lembut, tetapi sangat tegas.
"Tidak! Sudah Papa bilang Mama jangan pergi. Ingat! Surganya istri itu ada di ridho suami. Jadi, jika Mama ngotot pergi, sudah dipastikan Mama melangkah dalam ketidak ridhoan Papa. Dosa itu, Mah." Ucap Indra seraya tersenyum jumawa.
Suami dari Rosa tersebut yakin dengan ucapannya kalau sang istri akan mengurungkan niatnya untuk pergi. Karena Indra tahu selama menikah Rosa tidak pernah membantah dirinya.
"Papa yakin Mama akan berdosa jika tidak menuruti apa yang Papa inginkan?" tanya Rosa dengan tatapan mata tajam seakan menusuk jantung Indra.
"Ya, Papa yakin sekali, Mah." Jawab Indra mantap.
Sebuah senyum hambar Rosa tujukan pada Indra. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, tak percaya dengan jawaban percaya dirinya sang suami.
"Maaf, Pah. Mama meralat ucapan, Papa. Memang betul surganya seorang istri ada di ridhonya suami, tapi—" Rosa sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi dari suaminya itu.
Kembali manik mata keduanya saling beradu dengan tatapan yang berbeda. Indra dengan segala keyakinannya bahwa sang istri tidak akan membantah, berbanding terbalik dengan Rosa yang menunjukan tatapan yang entah. Sedangkan Embun masih diam membisu mencerna kalimat yang kedua orangtuanya lontarkan.
Hening sesaat.
"Tapi apa, Mah?" tanya Indra memecah keheningan setelah lama diam membisu.
Wanita paruh baya tersebut menghembuskan napas gusar, setelah mendengar pertanyaan suaminya yang seperti pura-pura tak mengerti.
"Mah, tolong lanjutkan kalimat Mama yang tertunda itu. Jangan membuat Papa penasaran," kembali kata-kata permohonan meluncur dari bibir Indra pada istrinya tersebut.
Sejenak Rosa menatap wajah Indra dalam. Dia tahu Indra pasti akan terus mendesaknya jika dia tidak segera melanjutkan ucapannya tadi.
"Papa juga pasti sudah mengerti, jika kewajiban istri itu memang harus menurut kepada suaminya. Namun disini Papa juga harus tahu, istri itu wajib menurut kepada suaminya jika suaminya berada dalam jalan yang benar."
"Apa maksudnya Mama bilang begitu? Apakah selama ini Papa itu berada dijalan yang salah?" sela Indra cepat seraya meninggikan nada suaranya.
Pria itu tak terima atas tuduhan sang istri yang menyebut dirinya berada di jalan yang salah.
"Mmh, maksud Mama bukan menuduh Papa begitu. Tadi Mama cuma mau bilang—" kalimat Rosa menggantung begitu saja seiring suara Indra yang langsung memotong ucapan istrinya itu.
"Tapi nyatanya tadi Mama bilang gitu 'kan?" seru Indra kembali terdengar sewot. Pria itu seolah mendapatkan ide untuk menekan sang istri agar merasa bersalah dan mau mengurungkan niatnya untuk pergi.
"Huft," helaan napas kasar kembali terdengar dari bibir Rosa. "Maaf, Pah. Mama mau bertanya sekali lagi. Papa masih mau mempertahankan keinginan Papa untuk membuang calon cucu kita?" tanya Rosa ingin memastikan.
"Tentu saja. Papa tidak mau mempunyai keturunan dari seorang sopir. Kasta kita tidak sebanding. Papa akan malu jika rekan-rekan bisnis Papa tahu bermantukan sopir pribadinya." Jawab Indra jumawa.
Sudut bibir Rosa terangkat sedikit keatas, menandakan jika dia sangat kesal atas jawaban sang suami yang terdengar merendahkan seseorang.
"Ya, sudah jika Papa masih keukeuh dengan pendapat juga keinginan Papa, Mama juga tetap dengan pendirian Mama. Mama pamit. Assalammualaikum," ucap Rosa seraya sekuat tenaga melepaskan cengkraman tangan Indra.
Indra hanya bisa melongo kala dengan begitu cepatnya sang istri meloloskan diri dari genggaman tangannya.
Suara high heels milik Rosa yang saling beradu dengan lantai, menyadarkan pria paruh baya tersebut dari rasa syoknya.
"Mah, tunggu!" seru Indra sambil mengejar sang istri yang semakin menjauh.
Namun Rosa tak mengindahkan seruan sang suami. Wanita dengan hijab warna peach itu, tetap melangkah menuju kendaraan roda empatnya yang telah terparkir di garasi.
Embun baru tersadar dengan apa yang terjadi, gadis tersebut ikut berlari mengejar sang papa yang tengah menyusul mamanya.
"Mama, jangan pergi! Tolong kembali, Mah. Maafkan Embun," mohon Embun dengan suara bergetar menahan tangis juga napas ngos-ngosan akibat berlari mengejar Rosa.
Gadis itu langsung memeluk sang mama agar mengurungkan niatnya pergi dari kediaman mereka. Dalam hati Embun merasa bersalah karena dia, sang mama ingin pergi meninggalkan rumah ternyaman yang selama ini mereka tempati.
Namun ego gadis itu terlalu tinggi, dia tak bisa menerima kenyataan hidup yang tengah dialaminya sekarang. Hatinya sangat menolak keras kehadiran Cakrawala dalam hidupnya.
"Embun, umur kamu sudah cukup dewasa untuk menyikapi semua masalah yang terjadi. Kamu juga sudah bisa menentukan sikap sendiri. Maaf, Mama tidak bisa mendukung keinginan Papa sama kamu saat ini. Sudah terlalu banyak dosa yang Mama perbuat, dan sekarang Mama tidak ingin menambah dosa lagi dengan mendukung kamu membunuh janin tersebut. Jadi biarkan Mama pergi," ucap Rosa lembut tetapi terdengar tegas.
Rosa bergeming, dia tak merubah posisi tubuhnya masih tetap memunggungi putri juga suaminya itu.
Kepala Embun gelengkan sebagai respon atas ucapan sang mama. Dia keukeuh ingin Rosa tetap bersamanya dan setuju untuk menggugurkan kandungannya tersebut.
"Embun tahu, Mah. Namun haruskah Embun menanggung aib ini sendiri? Sementara laki-laki b******k itu tak mau peduli. Dengan tanpa tahu malunya dia menghilang begitu saja. Dia lepas tanggungjawab," ucap Embun seraya mengepalkan kedua tangannya.
Jika ada Cakrawala di depan dia saat ini, sudah dipastikan akan langsung dia tinju wajah pria itu hingga babak belur. Hati Embun masih terasa geram mengingat semua yang telah terjadi atas dirinya. Karena Cakrawala lah hidupnya menjadi hancur.
Kini dia tak memiliki masa depan. Dunianya seakan runtuh bersama butiran asa yang telah menjadi debu berhamburan tertiup angin lalu.
Seulas senyum Rosa terbitkan di bibir berwarna nudenya. Jari-jari lentik milik sang putri perlahan dia lepaskan dari lengannya.
"Dia tidak lari juga berniat lepas tanggungjawab. Sekarang dia tengah terbaring di rumahsakit karena ulah seseorang," jawab Rosa sambil melirik tajam ke arah Indra yang tengah fokus menatap dirinya.
Wajah Indra tundukan, tak berani bertemu tatap dengan sang istri. Kesalahannya yang telah menghajar habis-habisan Cakrawala telah membuat nyali pria itu menciut didepan istrinya.
"Tetap saja, Mah. Sepertinya si b******k itu sengaja deh ingin menghindar. Buktinya dari sejak kejadian itu dia tidak pernah mau menampakan batang hidungnya sama sekali." Jawab Embun terdengar kesal, tetapi masih tetap manja.
"Kamu salah menilai orang, Embun. Cakra pria baik juga sopan," bela Rosa pada Cakrawala.
"Mah jika dia baik juga sopan, mana mungkin menghamili anak gadis orang. Apa menurut Mama pria baik seperti itu? Mama menyudutkan Papa, tetapi membela si b******k Cakrawala. Apa Mama kena guna-guna dia?"
Dengan suara berapi-api Indra ikut menimpali obrolan istri dan anaknya. Pria itu tak terima sang istri terus memuji Cakrawala yang notabene sudah melakukan kesalahan besar.
"Memang kenyataannya begitu, Pah. Mereka melakukan dosa karena dijebak seseorang. Di sini seharusnya Papa mencari tahu siapa yang telah menjebak mereka, bukan menyalahkan Cakrawala saja." Rosa berucap dengan sangat tegas.
"Halah, itu cuma alasan si Cakra saja biar kita tidak menyalahkan dia. Kalau iya ada yang menjebak, apa motifnya. Bukannya si Cakra itu bukan siapa-siapa. Mana ada orang mau menjebak dia," timpal Indra begitu sewot.
Rasanya Rosa muak beradu argumen terus dengan suaminya itu. Walau bagaimanapun dia tidak akan pernah menang melawan Indra si keras kepala. Satu-satunya cara lebih baik sekarang dia cepat pergi dari sana.
"Baiklah, Pah. Sepertinya kita tetap pada pendapat juga keinginan masing-masing. Mama tidak bisa memaksa Papa juga Embun untuk menjalankan keinginan Mama. Sebaliknya Papa juga tidak bisa memaksa Mama untuk menyetujui keinginan Papa. Sekali lagi Mama pamit. Assalammualaikum."
"Tidak!"