Menahan Sakit

1340 Kata
"Minumlah. Saya tidak mencampur racun di dalam air itu. Jadi kamu tenang saja karena tidak mungkin saya mau mencelakai kalian," ucap Cakrawala kembali setelah melihat Embun diam membisu. Mendengar omongan Cakrawala, wanita itu mendengus kesal. Namun tak urung dia pun menerima uluran gelas dari Cakrawala, Embun merasakan tenggorokannya kian terasa kering. Hingga dengan cepat dia meminum airnya sampai tandas. Cakrawala tersenyum dalam diam memperhatikan wanita yang teramat dicintainya itu. Melihat Embun yang begitu kehausan, lelaki tersebut menjadi tak tega. Terlintas diotaknya untuk menawarkan makanan, siapa tahu wanitanya itu tengah lapar juga. Namun sebelumnya dia berinisiatif untuk menyimpankan gelas yang dipegang Embun yang telah kosong. "Sudah? Biar saya simpan kembali gelasnya. Kamu mau tidur lagi, atau mungkin tengah lapar? Biar saya carikan makanan untukmu, karena bumil biasanya suka lapar terus." Tawar Cakrawala setelah melihat gelas Embun kosong, dan juga gerak-gerik wanita itu yang terus memegangi perutnya sendiri. Embun memutar bola matanya malas. Dengan ekspresi tak suka dia cepat menolak tawaran Cakrawala. "Nggak usah. Sok tahu, lo. Siapa juga yang lapar. Gue cuma haus, dan elo jangan sok ngatur. Gue mau tidur lagi atau tidak, itu urusan gue. Ngerti!" bentak Embun terdengar begitu emosi. Cakrawala hanya bisa menarik napas dalam melihat reaksi yang ditunjukan Embun. Sungguh dia hanya mencoba memberi perhatian pada wanita itu, tetapi di balas tak suka oleh Embun. "Mmh, ya sudah kalau kamu tidak lapar. Saya hanya menawarkan saja," ucap Cakrawala pasrah. Tak banyak bicara lagi, lelaki itu melangkah gontai menuju sofa yang berada di kamar tersebut. Dia berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah, juga menghindari perdebatan panjang bersama Embun. Sedangkan Embun masih tetap mengomel, tak terima Cakrawala tak merespon dirinya. Omelannya baru berhenti ketika melihat pria tersebut sudah meringkuk di sofa dengan kedua mata terpejam. Kelihatan sekali Cakrawala tak nyaman, karena postur tubuhnya tak sesuai dengan panjang sofanya. Namun pria itu bergeming, tak menghiraukan keadaan tubuhnya yang mungkin saja jika terbangun besoknya, akan terasa sakit. "Huh, dasar elo tuh, ya. Orang ngomong gak di dengerin. Sebel, gue." Kembali Embun mengomel dan semua itu masih bisa didengar Cakrawala, sebab lelaki itu hanya pura-pura tidur. Dia biarkan wanitanya mencurahkan unek-unek dihatinya agar bisa mengurangi rasa kesalnya. Sama sekali Cakrawala tak membantah ataupun sekedar bilang tidak. Tak mendapat respon dari lawan bicaranya, akhirnya Embun diam sendiri. Suasana pun menjadi hening, sekilas wajahnya dia tolehkan pada Cakrawala. Pria itu masih diam dengan posisi yang sama. Merasa kesal sendiri wanita itu, mencoba merebahkan tubuhnya berharap bisa tidur kembali. Namun tiba-tiba bunyi krucuk-krucuk dari perutnya membuat dia tersentak kaget. Masih belum pulih dengan rasa kagetnya, tiba-tiba suara Cakrawala kembali terdengar dibalik punggungnya. Posisi Embun yang tengah membelakangi, sama sekali tak mengetahui jika lelaki itu tengah berdiri tegak di dekatnya. "Kamu lapar? Mau makan apa? Biar saya carikan," runtutan pertanyaan itu membuat Embun mau tidak mau membalikan tubuhnya. "Hais, ngagetin orang aja. Ngapain si lo? Apa gak ada kerjaan lain selain membuat orang jantungan, hah?!" tanya sewot Embun sambil memelototkan matanya. "Saya hanya menawarkan, apa ada yang ingin kamu makan? Kenapa, kamu tidak suka, hmm?" kembali Cakrawala mengajukan tanya daripada menjawab pertanyaan Embun. "Gak ada. So kamu jangan sok perhatian!" Ucapnya tegas. "Yakin? Tadi aku dengar ada yang bunyi krucuk-krucuk. Itu apa, ya?" tanya Cakrawala kembali sambil tersenyum menggoda. Bahkan pria itu mengetuk-ngetuk kening dengan jari-jarinya sendiri. Seolah sedang berpikir keras tentang suara tadi yang dia dengar. "Apaan sih, lo? Gue bilang gak ada, ya gak ada. Mungkin itu suara dari dalem perut lo sendiri," ujar Embun seraya membuang muka karena kedua manik indahnya yang sempat bertubrukan dengan milik Cakrawala. "Ya, su—" belum sempat Cakrawala meneruskan kalimat lanjutannya, kembali suara krucuk itu terdengar. Reflek Embun memegangi perutnya, menekan sedikit berharap bunyi itu tak terdengar. Namun realitanya malah terasa sakit juga perih. Cakrawala sendiri tak kuasa menahan tawa melihat Embun yang salah tingkah dengan pipi merona merah menahan malu. "Hmm, sepertinya aku emang salah dengar, ya. Namun barusan kayanya ada lagi tuh bunyinya. Ini malah terdengar lebih nyaring. Kamu mendengarnya tidak?" tanya Cakrawala diakhiri senyum tipis. Pria tersebut semakin ingin mengerjai wanita yang berada di depannya itu yang kini tengah menatapnya jengah. "Gak, gue nggak dengar apapun. Udah sono balik lagi tidur, lo. Gak usah gangguin gue terus," sungutnya seraya membuang muka agar tidak terlihat ekspresi sesungguhnya wajah dia. "Hmm, baiklah jika itu mau mu. Saya pamit keluar mau nyari dulu makanan, lambung kok rasanya meronta ingin diisi." Cakrawala sengaja memancing reaksi Embun agar mau mengakui jika dia tengah lapar. "Sana pergi. Ngapain juga meski pamit sama gue. Emangnya elo siapa? Heran gue," omel Embun. Wanita itu lantas berbaring sambil menarik selimut sampai leher, dia juga kembali tidur dengan membelakangi Cakrawala yang masih berdiri. "Ya sudah tunggu sebentar, ya. Saya tidak akan lama." Namun Embun tak mau menghiraukannya, wanita itu malah memejamkan kedua matanya agar bisa tertidur kembali. Melihat tak ada reaksi apapun dari sang wanita, Cakrawala gegas memutar badan untuk segera pergi dari kamar itu. Dirasa sudah merasa aman karena mengetahui Cakrawala sudah pergi, Embun membalikan badannya menjadi telentang. Dia mengedar pandang siapa tahu lelaki itu belum pergi. Namun akhirnya dia bisa bernapas lega, Cakrawala sudah tidak ada di sana. "Huft, akhirnya tuh cowok pergi juga. Duh kenapa nih perut pake berisik segala depan dia lagi, memalukan saja." Gerutu Embun seraya memegangi perutnya yang semakin terasa perih. "Perutku semakin sakit. Masa iya lapar sih? Mana tidak ada makanan lagi, disini. Perut tolong berdamai lah." Gumam Embun dengan ringisan di bibirnya. Wanita itu terus bicara sendiri. Karena keadaan dirinya yang sedang lemah Embun hanya bisa mengelus-elus perutnya saja. Sesaat ada rasa penyesalan dalam dirinya karena sudah menolak tawaran Cakrawala, tetapi ego wanita itu mengalahkan logikanya. Merasakan perutnya yang semakin tak nyaman, Embun kembali memiringkan tubuhnya berharap rasa tak nyaman itu sirna. Namun yang terjadi malah sebaliknya, tubuhnya bergetar bahkan keringat dingin merembas disela-sela pori-pori kulitnya. "Mama, aku lapar, Mah." Gumamnya sambil memejamkan kedua matanya. "Makanlah. Saya membelikan ini untukmu," suara yang sangat dihapalnya kembali menyapa indra pendengaran wanita itu. Mata Embun mengerjap-ngerjap, meresapi yang terjadi. Wanita itu sempat terlelap setelah berjuang menahan perih lambungnya. Bau nasi goreng menguar menubruk penciumannya. Lambung yang sempat berdamai meronta kembali. Cakrawala gemas melihat Embun yang hanya diam memandang dirinya. Pria itu tahu jika sang wanita tengah kelaparan. Untuk itu dengan begitu lembut dia menawarkan bantuan. "Ayo bangun, saya bantu. Saya belikan nasi goreng karena hanya makanan itu yang masih ada. Ini terlalu larut, pedagang sudah pada pulang. Kamu tidak apa 'kan?" Perempuan itu bergeming, menatap Cakrawala dalam diam. Namun sangat jelas terlihat jika Embun sangat menginginkan makanan tersebut. Terlihat beberapa kali dia menelan ludahnya sendiri. Cakrawala paham jika perempuan itu tengah berada di fase gengsi. Kembali dia pun menyodorkan nasi gorengnya agar Embun segera memakannya. "Ambil dan makanlah, kalau kamu hanya memandanginya saja tidak akan cukup membuat perutmu kenyang." Ucap Cakrawala kembali. Embun mendengus kesal, tetapi wanita itu kini mau menekan egonya. Dia berusaha bangkit dari tidurnya, dengan sigap Cakrawala pun membantu. Tanpa turun dari ranjang, Embun duduk menikmati nasi gorengnya. Begitupun dengan Cakrawala, pria itu duduk di kursi seraya menikmatinya juga. Mereka makan dalam diam. Namun karena rasa penasaran dalam hatinya ingin melihat Embun, Cakrawala menolehkan mata. Senyum tipis tersungging di bibir kemerahannya, melihat wanitanya yang tengah makan dengan begitu lahap. Hatinya menjadi senang juga tenang, dia tidak ketakutan Embun juga calon bayi mereka kelaparan menahan lapar. Beberapa menit berlalu, keduanya sudah selesai makan. Cakrawala membereskan bekas makan mereka. Sedangkan Embun hanya diam memperhatikan tanpa minat membantu. "Kamu mau tidur lagi? Tidurlah, pagi masih terlalu lama untuk ditunggu." "Hmm, makasih." Lirih Embun menyerupai bisikan. Sejenak tubuh Cakrawala membeku, mendengar ucapan yang sama sekali tidak pernah terlontar dari bibir wanita tersebut. Hatinya menghangat walaupun hanya sebatas ucapan terimakasih, tetapi itu sangat membuat dia bahagia. Dalam hatinya dia berdoa semoga saja bisa membuat hubungan mereka menjadi lebih baik. "Ya, sama-sama." Tak ada lagi obrolan. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. Hingga beberapa saat berlalu, Cakrawala baru menyadari jika Embun telah terbuai dalam mimpi. Wanita itu tertidur dengan begitu damai. Cakrawala terpesona melihat Embun yang begitu cantik dalam tidurnya. Cup. Satu kecupan dia daratkan dikening sang wanita. "Selamat tidur, Sayang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN