"Tidak!" seru Indra kembali. "Tidak akan Papa izinkan Mama keluar rumah ini walaupun hanya selangkah saja. Mama harus nurut apa kata suami. Atau jika tidak, Papa akan blokir seluruh akses fasilitas yang Papa berikan." Tegas Indra dengan d**a turun naik menandakan amarah tengah menguasai jiwanya.
Kesabaran pria paruh baya tersebut seakan tergerus oleh sikap sang istri yang tak mau mendengar perintahnya. Untuk itu Indra mencoba menggertaknya berharap Rosa menurut.
Namun harapan Indra tampaknya harus pupus seiring sikap Rosa yang keukeuh pada pendiriannya.
Gelengan kepala wanita itu berikan sebagai respon dari ucapan suaminya. Rosa tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya yang tetap keukeuh melarang dia pergi, tetapi masih mempertahankan pendapatnya.
"Maafkan Mama, Pah. Terpaksa kali ini Mama tidak menuruti keinginan Papa. Jika memang menurut Papa jalan terbaik mencabut semua fasilitas yang sudah diberikan, maka lakukanlah. Sama sekali Mama tidak keberatan, hanya satu pinta Mama. Jaga Embun, jangan sampai dia mengbil langkah yang salah. Mama pamit, assalammualaikum." Ucapnya sambil pergi berlalu menaiki taksi yang sudah dipesannya.
Kedua tangan Indra terkepal kuat, sorot matanya memancarkan amarah yang luar biasa. Sang istri lebih memilih pergi daripada mempertahankan segala kemewahan yang dia berikan. Ancaman dirinya hanya dianggap lelucon oleh Rosa.
"Mah!" seru Indra berharap Rosa mengurungkan niatnya.
Akan tetapi Rosa tak pedulikan seruan Indra. Wanita itu memerintahkan pada Sopir taksi agar segera pergi dari sana.
"Kita jalan sekarang, Pak." Pinta Rosa pada Sopir taksi dengan lirih.
Jari-jari lentiknya mengusap kasar sudut matanya yang berair. Meski terlihat tegas di depan Indra, tetapi dalam hati kecilnya Rosa mengalami kerapuhan yang mendalam.
Sudut hatinya ada yang tersentil saat suami juga putrinya, menginginkan sesuatu yang membuat dirinya teringat kembali akan dosa masa lalu yang pernah dilakukannya.
"Baik, Nyonya. Sesuai aplikasi 'kan?" tanya sopir tersebut ingin memastikan.
"Ya, Pak benar."
Tak ada lagi percakapan diantara keduanya setelah sang sopir yakin dengan tujuan Rosa pergi. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. Sopir itu pun seakan paham tak mau mengganggu kenyamanan penumpangnya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota.
*
*
*
"Ahh, b******k! Semua gara-gara si k*****t Cakra. Istriku sampai membangkang seperti ini," umpat Indra ketika berada di dalam kamarnya.
Suara pecahan barang-barang didalam kamar tersebut jelas terdengar sampai keluar. Embun yang kebetulan akan mengetuk pintu kamar sang papa berjengit kaget. Tak seperti biasanya Indra semurka sekarang.
"Pah... Papa!" teriak Embun dengan jantung berdebar.
Mendengar suara-suara gaduh di dalam kamar sang papa, sudah dia pastikan jika papanya itu tengah mengamuk. Untuk itu Embun mencoba mengetuk pintunya berniat melihat keadaan papanya tersebut.
Telinga Embun tempelkan di daun pintu. Dia ingin memastikan apakah papanya itu masih mengamuk. Namun, hening tak ada jawaban dari dalam kamar.
Sejenak suasana sunyi menggantikan keriuhan. Suara gaduh pun tidak terdengar lagi. Seketika Embun bisa bernapas lega.
Gadis tersebut sekali lagi memberanikan diri untuk memanggil sang papa.
"Pah, boleh Embun masuk? Embun khawatir dengan Papa," pinta Embun dengan harap-harap cemas, takut sang papa tidak mengizinkannya.
Lama menunggu tak ada jawaban seperti yang diharapkan Embun. Indra seakan tak mau mengindahkan permintaan dirinya.
Namun Embun tak patah semangat dia terus mencoba menggedor pintu kamarnya dengan tujuan Indra terganggu dan mau membukakan pintu untuk dirinya.
Berhasil.
Suara deritan pintu akhirnya terdengar di telinga Embun. Kepala Indra menyembul dari balik pintu dengan rambut acak-acakan dan mata memerah. Dari buku-buku jari tangannya merembas cairan merah kental.
Jantung Embun terasa semakin berdebar hebat melihat sang papa yang terlihat sangat memprihatinkan.
"Papa, kenapa? I-itu tangan Papa berdarah," tunjuk Embun dengan suara bergetar.
Sudut bibir Indra menyunggingkan senyum keterpaksaan. Pria itu tak menjawab pertanyaan dari sang putri. Hanya gelengan kepala yang dia berikan.
"Embun obati," ucap Embun sambil merangsek masuk ke dalam kamar.
Bola mata Embun seakan mau meloncat melihat isi dari kamar orangtuanya yang seperti kapal pecah.
"Astaga, Papa. Ini kenapa?" tanya Embun syok seraya mengedarkan pandangan kesetiap sudut ruangan tersebut.
"Ada perlu apa kamu menggedor-gedor pintu kamar, Papa? Tak perlu bertanya, karena itu bukan urusan kamu. Urusin aja bayi yang masih ada diperut kamu itu agar jangan sampai lahir kebumi ini. Papa muak jika itu sampai terjadi," ucap Indra dengan tegas.
Meski Embun tak menginginkan bayinya lahir, tetapi mendengar permintaan papanya begitu dia merasa kaget juga. Embun tak menyangka sang papa begitu membenci calon bayinya itu.
"Mmh, iya, Pah. Namun Embun bingung bagaimana dengan Mama? Dia pasti akan membenci Embun, sekarang aja Mama pergi apalagi jika Embun sampai nekat membuang bayi ini." Jawab Embun dengan desah yang resah.
"Jangan bodoh kamu, Embun. Buat seolah-olah bayi itu keguguran akibat kecelakaan. Bikin drama sedikit, nanti juga Mama kamu akan mengerti jika kamu tidak sengaja membuat bayi itu keguguran." Usul Indra dengan begitu entengnya.
Dahi Embun mengkerut, mencerna omongan dari sang papa.
"Hmm, ide Papa tidak buruk. Akan Embun coba memakan sesuatu yang akan membuat bayi ini lenyap." Jawab Embun dengan senyum tersungging di bibir tipisnya.
Menurut dia ide papanya itu sangat brilian. Dia tak lagi ingat akan mamanya yang pasti akan sangat menentang keputusannya itu.
*
*
*
Sebulan berlalu tak ada kabar sama sekali dari Rosa. Kepergian Rosa sedikit banyak mengganggu kesehatan Indra. Pria paruh baya itu sampai harus dirawat dirumah sakit, akibat pola makan juga tidurnya yang berantakan.
Rosa menghilang begitu saja tak meninggalkan jejak. Sampai-sampai Indra dibuat stres karena tidak bisa menemukan istri tercintanya itu.
Sedangkan Embun, gadis itu mencoba menjalankan misi yang di sarankan sang papa, tetapi dia gagal karena Cakra bisa menyelamatkannya.
Namun Embun harus menerima konsekuensi yang telah dilakukannya. Gadis itu kini tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Dengan setia Cakrawala selalu menjaga Embun juga Indra bergantian. Meski Indra sangat membenci dirinya, Cakrawala tidak membalasnya justru dia malah mau merawat keduanya.
"Non Embun makan dulu, ya. Saya suapin," bujuk Cakrawala karena merasa khawatir akan kesehatan Embun juga calon bayinya.
Tak ada respon dari Embun. Gadis itu malah membuang wajah setelah manik mata keduanya saling bertubrukan.
Helaan napas kasar berhembus dari bibir kemerahan Cakrawala. Pria itu bingung atas sikap Embun yang tak pernah ramah terhadap dirinya.
Namun Cakrawala tak mau terus membiarkan Embun juga calon bayinya kelaparan. Dengan sangat gigih dia terus membujuk Embun agar mau makan.
Pada akhirnya Embun pun kalah, dia mau menerima suapan nasi yang diulurkan Cakrawala. Meski dengan ogah-ogahan gadis itu bisa menghabiskan setengah makanan dari yang Cakrawala berikan.
"Sudah cukup," tolak Embun saat tangan Cakrawala kembali terulur untuk menyuapi dirinya.
"Baiklah. Sekarang minum obatnya dulu."
"Gue bisa sendiri," jawab Embun ketus.
"Kamu yakin?" tanya Cakrawala seraya menatap manik mata Embun dalam.
"Ya," jawab singkat Embun.
Gadis itu kembali memalingkan wajah, tak sanggup bertemu tatap dengan Cakrawala. Sedangkan Cakrawala tak lagi memaksakan agar Embun mau dia suapi. Tanpa banyak kata pria itu berjalan menuju sofa yang ada diruangan tersebut.
Dia tak ingin lagi mengusik Embun. Badan dia rebahkan di sofa tersebut, berniat untuk beristirahat sejenak.
Baru saja mata Cakrawala terpejam, tiba-tiba suara benda jatuh terdengar sangat jelas ditelinganya. Kelopak mata Cakrawala langsung terbuka lebar saat menyaksikan Embun yang tengah terkapar dilantai.
"Non Embun," seru Cakrawala sambil meloncat dari sofanya.
"Cakra, gue." Ucapan Embun tertahan saking syoknya seiring tubuhnya yang berasa melayang diudara.
"Kenapa sampai terjatuh? Apa kamu menginginkan sesuatu? Jika iya, kenapa tidak meminta bantuan saya, hmm?" cerocos Cakrawala dengan raut wajah khawatir.
Embun melengos mendapati pertanyaan bertubi-tubi dari pria yang sangat dia benci itu. Hatinya teramat kesal akan kecerobahannya yang akan mengambil obat diatas nakas, tetapi malah berakhir terjatuh dilantai hingga membuat kegaduhan dan mengakibatkan Cakrawala terbangun.
Kembali Cakrawala membaringkan tubuh Embun di atas ranjang pasien, setelahnya dia membetulkan selang infus yang tertarik akibat tubuh Embun yang jatuh. Beruntung selang infusan itu tidak putus dan tidak menyebabkan jarumnya melukai Embun.
"Non Embun mau mengambil apa? Biar saya bawakan," tawar Cakrawala setelah membereskan pecahan gelas yang berserakan.
"Tidak jadi," jawab ketus Embun.
Namun tiba-tiba bibirnya meringis seolah tengah menahan sakit. Cakrawala bisa menangkapnya, gegas dia bertanya kembali.
"Apa ada yang sakit? Jujurlah biar saya panggilkan Dokter. Saya takut terjadi sesuatu dengan dengan kamu juga bayinya," ungkap Cakrawala penuh dengan kekhawatiran.
Namun sepertinya Embun tak mau jujur. Gadis itu terus meringis menahan sakit hingga wajahnya memucat dengan tubuh bergetar hebat.
"Embun!"