"Ckk, malah diam saja. Lo denger gak sih? Itu ru-jaknya buat, lo." Embun kembali berucap sambil mengeja kata rujak agar Cakrawala paham.
"Rujak itu buat saya? Tidak salah? Bukannya kamu tadi yang menginginkannya?" tanya Cakrawala beruntun dengan raut wajah tak percaya, sambil menunjuk dadanya sendiri.
"Ya, elo harus makan rujak itu. Perlu elo tahu, ini tuh keinginan dari anak elo juga. Masa iya begitu saja gak mau lo penuhi," rajuk Embun dengan memasang muka sedih.
Wanita itu sengaja meprovokasi agar Cakrawala mau menuruti permintaannya. Dia tahu jika sang pria tak menyukai pedas, untuk itu Embun sengaja meminta Cakrawala memakan rujaknya agar bisa balas dendam.
Sejenak Cakrawala diam terpaku, sambil tatap matanya tak lepas dari wadah yang berisi sambal rujak yang dipenuhi biji cabai rawit.
Terlihat bahunya bergidik ngeri membayangkan dia harus memakan rujak tersebut, ditambah buah mangga muda yang tentunya rasanya akan sangat asam.
"Sa-saya sudah mulas duluan melihat biji cabai itu," lirih Cakrawala sambil menatap Embun lesu.
Sorot matanya terlihat sangat memohon agar wanita itu, mengurungkan niat untuk menyuruh dia memakan rujaknya.
"Elo, menolak keinginan calon bayi, lo. Ya sudah jangan nyesel kalau nanti bayinya ngeces. Lo, tahu gak sih, katanya kalau keinginan jabang bayi yang masih diperut ibunya tidak dipenuhi, nanti kalau udah lahir bakal ngeces." Embun kembali memprovokasi pikiran Cakrawala.
Lagi-lagi Cakrawala tampak berpikir keras, benaknya berkecamuk antara rasa takut juga bingung.
Jika dia tidak menuruti keinginan Embun yang katanya merupakan permintaan calon bayi mereka, Cakrawala takut yang dikatakan Embun terbukti bahwa bayinya akan ngeces.
Namun disisi lain hatinya bingung, perutnya tidak bisa menerima makanan pedas.
"Maaf, saya boleh tanya?" suara berat Cakrawala mengalun di telinga Embun yang tengah berpura-pura merajuk.
Kepala Embun tolehkan, sepersekian detik manik mata keduanya saling bertubrukan. Namun dengan cepat Embun memutus pandangan mereka.
Secepat kilat dia buang muka karena tidak ingin terpengaruh oleh wajah memelas Cakrawala.
"Katakan apa yang ingin lo tanyakan?" tanya Embun dengan memasang wajah datar.
"Mmh, kenapa kamu tidak memakan rujak itu? Bukankah tadi kamu yang sangat menginginkannya hingga menyuruh saya untuk secepatnya mendapatkan buah itu."
"Pertanyaan yang sudah di jawab. Sudah gue bilang itu keinginan calon bayi, lo. Tadinya gue sangat menginginkan makan rujak itu, tetapi karena elo nya kelamaan memenuhinya, jadi calon bayinya berubah pikiran." Jawab Embun begitu enteng.
"Hah? Jadi menurut kamu, memang keinginan dari calon bayi kita. Kok bisa berubah gitu, ya?" Gumam Cakrawala sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Pria itu seperti orang linglung tak tahu arah jalan mana yang akan ditempuh. Dia terjebak dalam pusaran dilema yang tak berujung.
"Ya begitulah. Makanya buruan makan," perintah Embun sambil menahan senyum.
Wanita itu sudah membayangkan bagaimana tersiksanya Cakrawala nanti setelah memakan rujak yang begitu pedas.
"Baiklah jika itu memang keinginan dari calon bayi kita, saya akan memakannya. Walaupun sama sekali saya tidak tertarik juga menginginkan makanan itu."
Perlahan tapi pasti tangan Cakrawala terulur mengambil mangga muda yang sudah dipotong-potong Nani. Dengan gerak ragu dia mencoel sedikit sambal rujaknya.
Embun sendiri begitu antusias ingin segera melihat pria itu memakannya. Tak lupa dia pun menyalakan ponselnya, untuk mengabadikan setiap momen yang akan terjadi selanjutnya pada pria yang tengah berada dihadapannya itu.
"Bismillah," ucap Cakrawala seraya memasukan potongan mangga yang telah terbalur sambal, matanya memejam tak sanggup merasakan apa selanjutnya yang akan dia dapat dalam indra pengecapannya.
Suara batuk kecil mulai terdengar, lengkungan senyum tipis menghias bibir Embun.
"Jangan ragu-ragu makannya, itu masih banyak lho. Ayo, elo pasti bisa ngabisin semuanya," ucap Embun seolah memberikan semangat, tetapi bagi Cakrawala terdengar sangat jahat.
"Saya sudah memakannya, tidak harus habis juga 'kan? Yang penting sekarang saya sudah melaksanakan keinginan anak kita," ujar Cakrawala dengan wajah mulai memerah merasakan sensasi panas juga kecut di lidahnya.
Rasa pedas yang tak biasa dia rasakan sebelumnya. Dan itu sangat menyiksa sekali. Andai dibolehkan memilih dia lebih baik meminum wine dua atau tiga gelas, karena itu tidak akan membuat dirinya mabuk.
"Nggak pokoknya lo harus habisin itu semua." paksa Embun terdengar tak mau dibantah.
Tatapan nanar Cakrawala berikan, dia paham sang wanita tengah mengerjai dirinya. Hanya alasan Embun saja calon bayi mereka yang menginginkannya. Padahal sesungguhnya Embun tengah melakukan balas dendam.
"Baiklah saya akan memakannya habis jika itu akan membuat kamu juga calon bayi kita bahagia." Jawab Cakrawala pasrah.
"Bagus. Habiskan sekarang."
Tanpa babibu Cakrawala melahap habis mangga juga sambal rujaknya. Embun sampai melongo dibuatnya. Dia tidak percaya Cakrawala akan nekat menghabiskan semuanya.
"Gila, ternyata elo doyan juga, ya. Gue gak nyangka," ucap Embun tanpa sadar.
Namun setelah mengucapkan kalimat tersebut dia dibuat syok dengan keadaan Cakrawala. Pria itu terkulai lemas dengan wajah memerah bagaikan kepiting rebus.
Huek, huek.
Cakrawala memuntahkan semua isi perutnya. Nani yang sedari tadi diam menyaksikan keduanya, sampai berlari tergopoh menghampiri Cakrawala.
"Mas Cakra! Mas, tidak apa-apa?" tanya Nani begitu panik.
Perempuan paruh baya itu tahu seberapa banyak cabai rawit yang ada didalam bumbu rujak tersebut.
Embun sendiri seperti tak terpengaruh, perempuan itu masih asik memvidiokan Cakrawala yang semakin terlihat kepayahan.
Melihat Cakrawala yang sudah tak berdaya, Nani segera berlari menuju kamar Rosa. Niat wanita itu untuk memberitahukan pada majikan perempuannya tentang keadaan kondisi Cakrawala.
"Mbak!" seru Embun yang melihat Nani berlari.
"Ya Non Embun," jawab Nani menghentikan langkah kakinya.
"Mbaknya mau kemana? Lihat dia jorok banget muntah sembarangan," ujar Embun sambil menunjuk lantai yang memang sudah kotor kena muntahan Cakrawala.
Wanita itu menahan mual melihat kotoran yang sudah tercecer di sana. Cakrawala sendiri seperti tak nyaman karena menahan sesuatu.
Dengan kekuatan tenaga yang tersisa, dia mencoba bangkit. Cakrawala mencoba berjalan meski terseok-seok menuju kamar mandi yang dekat.
"Biar nanti Mbak yang bereskan, Non." Jawab Nani.
Hati Nani bimbang antara ingin meneruskan niat awalnya memberitahu Rosa, ataukah membantu Cakrawala terlebih dulu.
Namun hatinya lebih memilih untuk memberitahukan Rosa akan kondisi dari calon menantu keluarga tersebut.
Suara derap langkah terburu-buru sayup terdengar oleh Embun. Wanita itu menolehkan wajah ketika suaranya semakin terdengar nyaring.
"Mah. Ada apa? Kenapa Mama seperti buru-buru begitu?" tanya polos Embun.
"Dimana Cakrawala? Kenapa kamu sampai hati mengerjainya, Sayang?" tanya balik Rosa.
Dia tak mengindahkan pertanyaan dari Embun. Wajahnya terlihat cemas juga penuh ketakutan mendalam.
"Mmh, Embun—" kalimat Embun menggantung diudara setelah Rosa berlalu pergi.
Rosa meninggalkan sang putri yang mungkin akan melakukan pembelaan atas pertanyaan dirinya.
Bukan tanpa alasan Rosa pergi, dia mendengar suara Cakrawala yang masih muntah-muntah di salah satu kamar mandi.
Embun sendiri hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat sang mama menunjukan sikap berlebihannya pada pemuda itu.
Tak berselang lama Rosa kembali dengan raut wajah tegang. Semua itu tak luput dari penglihatan Embun. Wanita tersebut merasa aneh dengan sikap mamanya itu.
"Mah, Ada apa?" merasa penasaran akhirnya Embun memberanikan diri bertanya.
"Bersiap-siaplah kita kerumah sakit sekarang."
"Siapa yang sakit?" tanya Embun begitu penasaran.
"Kita bawa Cakrawala kerumah sakit. Dia muntah-muntah terus, takutnya dehidrasi." Ujar Rosa sambil memberikan perintah pada Nani untuk memanggil sopir yang lain.
"Lebay banget, Mah. Masa cuma muntah saja sampai dehidrasi," cibir Embun sambil memutar bola matanya malas.
"Apa kamu tidak tahu jika kondisi Cakrawala itu sangat memprihatinkan?" tanya Rosa sambil menatap tajam sang putri.
"Hah? Yang benar saja, Mah. Aku kok nggak percaya. Mungkin itu hanya akal-akalan dia saja agar mendapat perhatian."
"Mama tidak pernah mengajarkan kamu untuk jahat pada orang lain ya, Sayang. Kenapa kamu tidak bisa menjaga ucapanmu itu?" tanya Rosa sambil menatap tajam sang putri.
"Aku kan cuma menduga saja, Mah." Bela diri Embun.
"Maaf, Nyonya. Mas Cakra pingsan." Imas salah satu Art yang diam-diam memendam rasa pada Cakrawala, berlari mendekat kearah Rosa juga Embun.
"Apa? Jangan ngawur kamu, Imas!"