Rigel-Bintang Paling Terangku!

1305 Kata
“Keluarlah, mereka sudah pergi!” sebuah seruan itu membuat Lula keluar dari persembunyiannya. Keningnya mengernyit, menatap pria tinggi di depannya, “kok kamu bisa bahasa Indonesia?” “Tadi aku mendengar umpatanmu dalam bahasa yang kukenal.” Gadis itu menghela napas dalam-dalam, tetapi kemudian memeluk dirinya sendiri karena cuaca yang dingin. Ia tidak memakai coat. “Terima kasih, tapi bagaimana dengan koper dan tasku? Semuanya dibawa pergi oleh mereka?” “Kamu baru pertama kali ke Chicago?” Lula mengangguk, “iya, sialannya malah apes ketemu orang-orang itu!” “Di mana rombonganmu?” tanyanya dengan suara yang terdengar berat namun seksi sekali ditelinga Lula. “Aku datang sendirian.” Pria itu terdiam, entah apa yang ada di pikirannya setelah pengakuan Lula. “Iya, aku memang bodoh, sok tahu... sok mandiri—“ Lula yang sedang mengoceh terdiam karena pria itu berbalik. Lula menatap sekeliling yang sepi dan berpikir bisa saja orang-orang perampok tadi kembali, jadilah mengikuti penyelamatnya. “Hei, kita belum kenalan? Kamu juga belum beritahuku, kamu dari Indonesia juga? Jakarta? Di sini wisatawan juga atau sudah lama tinggal? Beritahu aku, di mana kantor polisi, aku harus melapor—aduh!” Karena terus mengoceh, ia sampai tidak menyadari pria itu yang berhenti, membuatnya menabrak punggung kokohnya. “Kenapa kamu mengikutiku?” tanyanya. Lula membulatkan matanya, berdiri tepat di bawah lampu jalan membuat sorotnya membantu mata Lula bisa melihat wajahnya dengan jelas, dibanding sebelumnya. Ia memakai coat dan sebuah baju hangat model kerah tinggi di pakainya. Membuat Lula iri, dia pasti tidak kedinginan sepertinya. “Kamu menyelamatkanku, jadi hanya kamu yang bisa aku percaya dan tidak akan menyakitiku, berniat buruk. Kenapa aku mengikutimu, karena tadi aku sudah bilang... aku sendirian datang ke kota ini... Haaaachuu!” Pria itu memejamkan mata sejenak, Lula cepat-cepat menutup mulut dan hidungnya, “sorry—Hachhhhuuu!” Ia melepas Coat miliknya, kemudian melemparnya sedikit membuat Lula tersentak. “Pakai, ikut denganku...” “Sungguh?!” Lula merasa lega sekali, segera ia memakai coat miliknya yang sangat kebesaran. “Di tubuhku jadi seperti jas hujan, tubuhmu—“ Lula langsung berhenti bicara, menggigit bibirnya saat sorot mata pria itu begitu tajam—ups... maksud Lula menantang. ‘Astaga, dia benar-benar tampan... dia manusia apa malaikat sih?! Bisa lemah iman aku kalau dipandangi gini terus!’ Batin Lula ditambah aroma pria itu yang sangat enak berasal dari coat yang membuat Lula seperti dipeluknya. Jenis parfum yang mahal, Lula tahu. Penampilannya jelas bukan pria biasa. Lula mengulurkan tangannya, “Qailula Sea Zivara...” sambil menyebut nama lengkapnya. Pria itu tidak langsung membalas uluran tangannya selain menatap tangannya, “apa?” “Nama lengkapku, jadi siapa namamu Tuan?” tanyanya sambil tersenyum manis. “Sky,” “Hanya itu?” “Hm...” “Baiklah, Tuan Langit.... ini sudah hampir tengah malam, aku dirampok, tidak memiliki apa pun sekarang selain diriku sendiri dan pakaian yang melekat ditubuhku. So, boleh aku ikut denganmu?” “Sea! Astaga... aku panggil-panggil juga!” sebuah seruan membuat pemilik nama menoleh pada temannya. Menariknya dari sebuah pertemuan dengan seseorang di masa lalu. Panggilan itu dari seorang staf rumah sakit yang sedang ia datangi. Sebagian orang dalam hidupnya memang memanggil nama tengahnya, Sea... hanya satu orang yang lebih suka memanggilnya ‘Lula’, pria itu yang pernah ia temui dua tahun empat bulan lalu. Yang membuatnya jatuh cinta sekaligus memberikan luka. “Di mana ponakanku yang ganteng?” tanya Azizi—Sahabat baiknya. “Di playground... Rumah sakitnya bagus sekali, ada fasilitas buat anak-anak juga. Besar seperti di playground mahal. Mainannya juga banyak, bersih dan ada penjaganya.” Pendapatnya. “Iyalah, ponakannya yang punya dulu pasien tetap. Bolak balik sini, sampai sekitar tiga tahun lalu melakukan transplantasi. Playground ini salah satu ide dari keponakannya yang mau ada fasilitas untuk anak-anak, biar rasanya tidak terlalu seperti di RS.” “Oh,” angguk Lula. “Sudah bertemu dokter giginya?” “Ya, Rigel tenang banget tadi pas diperiksa. Ya sudah ayo, ambil Rigel dulu.” Mereka berjalan menuju Playground. “Sendirian?” “Sama Dila,” “Aku kira sama susternya,” “Lagi cuti, jadi Rigel dibawa-bawa dulu sama aku, termasuk kerja.” Susternya memang sedang ambil libur. Lalu Lula tersenyum pada beberapa orang yang menatapnya penasaran, takjub karena mengenalnya sebagai konten kreator, yang sering melihat konten-kontennya di beberapa platform media sosial. “Momo!” Sebuah panggilan yang menggemaskan membuat Lula tersenyum. Rigel Langit Kalfani—balita yang sebentar lagi merayakan ulang tahun keduanya. Tumbuh dengan baik, bahkan sudah banyak bicara, sudah lancar memanggilnya. Dilla mengikutinya dari belakang sambil mengambil sepatu putranya, “pakai sepatunya dulu, Rigel.” “Mau Momo!” Dia memilih. “Okay, sini Ka Dilla... mau sama Momo.” Lula mengulurkan tangannya, meminta sepatu putranya. Bergantian ia menyerahkan tasnya, lalu mengendong Rigel dengan mudah. Membawanya duduk di kursi yang tersedia, lalu memasangkan sepatunya. “Ada gambar apa ini, Rigel?” “Starrrll, sama gel!” ujarnya. “Star, iya-iya Rigel bintang paling terangnya Momo.” Gemas Lula mencium pipinya. “Apa warna sepatunya?” tanyanya lagi. “Uhm, biyuuu!” Dia menyebut biru, warna favorit putranya. Seperti namanya, Rigel. Sebuah bintang paling terang di rasi Orion dan memiliki warna biru. Setelah memakaikan sepatunya, Rigel turun, “mau digendong atau jalan sendiri?” Sejak bisa jalan, semakin lancar, Rigel memang jarang mau digendong kecuali sedang manja, sakit. Tangan kecilnya menggenggam tangan Lula, Dillah mengembalikan tasnya sementara ia membawa tas kecil milik Rigel. Mereka menuju lift, untuk turun. Berada di lantai tiga. Lula yang khawatir lift penuh, pilih mengendong Rigel, “nanti kalau sudah di bawah, baru Momo kasih izin kamu turun ya,” Kepala putranya mengangguk, Lula memeluknya, mencium puncak kepala Rigel. Wajahnya sangat mirip dengan pria itu, bahkan tanda lahirnya, Lula ingat di salah satu pinggangnya ada sebuah tanda yang juga dimiliki Rigel. Tidak perlu tes DNA, Lula menjaminnya jika hanya pria itu yang menyentuhnya hingga memiliki Rigel. Ting! Pintu lift terbuka, ada beberapa orang di dalamnya, Azizi tersenyum dan memberi anggukan, “masuk saja, masih cukup untuk beberapa orang.” “Terima kasih, Ibu presdir...” Lea menatap Azizi, mereka akan satu lift dengan pemilik rumah sakit? Pikirnya. Azizi menarik Lula masuk, di susul Dila. Dalam lift itu ada empat orang, terlihat berpasang-pasangan. Lula dan dua temannya diam, tetapi Rigel tidak betah bila terlalu hening, “Momo, didi Gel guss ya?” “Iya, gigi Rigel bagus... Jadi nanti kalau Momo ajak periksa lagi, jangan takut ya?” Kepalanya mengangguk patuh, lalu wanita paruh baya yang sejak tadi memerhatikan membuka suara, “berapa usianya?” Lula menoleh, beradu tatap dengannya, “dua bulan lagi, dua tahun...” jawab Lula. “Tapi, sudah pintar bicara...” Rigel menoleh, tersenyum membuat ekspresi wanita itu terdiam seperti terkesiap. Ia menoleh pada pria di sampingnya, sebelum kembali bertanya, “siapa namanya?” “Beritahu namamu, sayang. Ini siapa?” ujar Lula sambil menepuk lembut putranya, menunjuk diri Rigel. “Ligel ngitt” jawabnya, memperkenalkan diri dengan bahasa yang balitanya, membuat wanita paruh baya itu tersenyum. “Rigel Langit Kalfani, namanya...” “Rigel is a blue supergiant star in the constellation of Orion, iya kan?” tanggap sebuah suara. Lula tersenyum pada pria paruh baya yang masih tampak gagah, “ya, itu arti namanya...” Ting! Denting lift itu menarik atensi semua orang, wanita paruh baya itu tersenyum, Azizi segera memberi anggukan pada pemilik rumah sakit itu, kemudian mereka berpisah. “Huft... selalu tegang kalau satu lift sama keluarga ini.” ujar Azizi seperti merasa lega setelah keluar dari lift. Lula menoleh, “yang kamu sapa tadi pemilik rumah sakit?” “Iya, Prof Lea dan suaminya, terus juga sama pasangan super rich... Ibu Fay Kaianna Lais dan Bapak Alyan Xabiru. Aura old money memang bikin sungkan ya?!” Ekspresi Lula langsung berubah mendengarnya. Sementara temannya terus mengoceh mengenai keluarga yang satu lift dengannya, hanya Lula yang mulai tidak nyaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN