“Sudah satu bulan, kalau kalian pernah dengar nama Kaivan Lais, dia di sini jalani perawatan karena koma. Sudah beberapa kali aku berpapasan dengan keluarganya. Oh, ditambah kemarin cucu pertamanya balik. Media rame banget, tapi langsung ajudan-ajudan keluarga lakukan steril. Dia enggak mau fotonya jadi pemberitaan. Gilaa sih! Aku pikir keluarga keren begini cuman ada di drakor yang aku tonton, eh asli depan mata terlihat secara nyata," Azizi terus mengoceh.
“Sejak kapan kamu tertarik dengan kehidupan orang-orang kaya?” tanya Dilla yang sejak tadi menyimak.
“Ya, kan pemilik rumah sakit ini... bagian dari menantu keluarga konglomerat itu, keluarga Lais. Jadi, menyenangkan membahas mereka.”
“Kecipratan duitnya juga enggak, kerajinan bahas hidup orang lain...”
“Seru kali membicarakan orang kaya, selalu ada saja yang buat penasaran.”
Keduanya terus berbincang, sampai tidak menyadari Lula hanya diam. Mereka baru akan berbelok saat melihat empat orang tadi yang satu lift dengan mereka naik mobil, meninggalkan rumah sakit.
“Duh... bagaimana ya caranya biar jadi menantu mereka? Pasti hidupku tenteram, tidak perlu susah payah kerja lagi.” Ujar Azizi penuh harapan.
“Memang ada kandidat? Cucunya laki-laki?”
“Kalau Sagara Blue Lais sudah nikah sama sepupunya sendiri, anaknya Prof Halim. Dua tahun lalu... Nah ada lagi, kakaknya ini.. yang tadi aku bahas. Kemarin baru datang ke rumah sakit, Gila ih ganteng banget! Baru menatap dari jauh saja, sudah debar-debar, bagaimana kalau dekat dan dipeluk, aiish basah langsung—“
“Azizi, ada Rigel!” tegur Lula dan menutup telinga putranya.
“Basah, maksudnya keringatan.” Ia meralat cepat sambil memberi senyumnya.
Dilla yang paling tertarik langsung bertanya, “siapa namanya? Aku kayak pernah dengar, katanya misterius begitu kan? Kalau Sagara sudah sering ada di majalah bisnis, punya media sosial juga, kan?”
“Masa kalian enggak tahu? Namanya, Sky Xabiru Lais.”
Lula langsung menoleh, menatap temannya.
“Kamu ada fotonya?” tanya Dillah lagi, sudah ikut-ikutan dengan Azizi.
“Bentar, kemarin ada staf resepsionis yang berhasil ambil fotonya. Aku dikirim juga...” ketika Azizi sibuk membuka ponselnya, Lula merasakan jantungnya berdebar tidak nyaman. Ia mengeratkan pelukan pada Rigel yang sudah menyandarkan wajah di bahunya dengan nyaman.
Firasatnya mengatakan jika sang pewaris alias cucu pertama keluarga konglomerat yang sedang dibahas, bukan hanya memiliki nama yang sama dengan pria itu...
“Ini—Sea sabar dong!” Azizi terpekik saat Lula mengambil alih ponsel dan menatapnya dengan tidak sabar.
Mata Lula membulat sempurna, lalu pegangannya pada ponselnya mengerat.
“Ih, Sea... aku juga ingin lihat!” bagus Dilla mengambil ponselnya, jika tidak Lula bisa menjatuhkannya.
Lula mengeratkan pelukannya, “Dilla kita pergi sekarang!” ajaknya sambil menatap rumah sakit.
“Iya, sebentar. Kita enggak jadi makan siang?”
Lula mengambil topi putranya dan segera memasangkan dikepalanya, “eh dia anak dari siapa?”
“Sky? Orang tuanya tadi satu lift sama kita, yang mengajak Rigel dan Sea bicara, itu ibunya, Fay Kaianna Lais dan yang menebak arti nama Rigel dari bintang, itu ayahnya, Alyan Xabiru.”
Detik itu dunia Lula seperti diterpa badai tiba-tiba, dia mengeratkan pelukan pada putranya. Tanpa lagi menunggu temannya, dia langsung berjalan terburu-buru.
“Oh, No! Bagaimana bisa?!” lirihnya. Tidak hiraukan Azizi dan Dilla yang memanggil namanya.
***
“Ka Fay, kenapa?” tanya istri sepupunya yang mendapati Fay sudah di mobil masih menatap keluar jendela. Bahkan tubuhnya memutar, menatap seorang wanita muda dengan putra kecilnya yang bernama Rigel. Tadi satu lift dengan mereka, mencuri perhatiannya, lalu terkejut menatap wajahnya.
“Yang tadi, staf rumah sakit?” tanyanya.
Lea mengernyit, “yang mana?”
“Satu lift dengan kita.”
“Dari pakaiannya ya, hanya salah satunya. Dua wanita yang bersamanya, bukan. Sepertinya tadi ia menyinggung dokter gigi, putranya pasti habis periksa.” Jawab Lea.
Fay menghela napas dalam, ada keresahan yang membingungkan dihatinya. Ia tidak bisa mengatakannya, bisa saja memang hanya mirip.
“Anak tadi, Rigel... mengingatkanku dengan Sky kecil.” Tiba-tiba suaminya—Alyan bicara. Mengutarakan yang juga sedang menggelayuti pikirannya.
“Bisa saja hanya mirip, Ka.” Saut suami dari Lea.
“Ya,” Alyan langsung terdiam, “sudah lama keluarga ini tidak ada anak kecil, jadi kita kangen ada anak kecil pasti. Setiap melihat anak kecil yang mencuri perhatian, jadi ikut senang.”
Fay setuju, “sky tidak pulang?”
“Aric menunjuk personal asisten, aku sudah kenalan dan punya kontaknya. Budi mengabari jika Sky tidur di hotel Hutama.”
“Kenapa dia tidak pulang saja sih?”
“Dia sudah mau pulang saja bagus, jangan menekannya untuk tinggal di rumah dulu.”
“Ya, Daddy Kaivan sudah ada kemajuan yang bagus.” Angguk Lea yang memantau langsung sebagai presdir utama Rajata Medical Center.
Fay menghela napas, “dia anak kita, tapi tingkahnya mengingatkanku dengan Aric. Angkuhnya, bebasnya, suka-sukanya! Nomor berapa kamarnya?”
“Fay—“
“Aku akan datang, menyeretnya pulang jika bisa!”
“Kamu akan kehilangannya lagi jika sampai melakukannya.”
“Terus aku harus bagaimana?” kesal Fay. Putranya pulang setelah sekian tahun, tetapi malah membuatnya gemas dengan tingkahnya. “Sky sangat berubah,”
Lea dan Hamish juga memberi anggukan setuju.
***
Sky merasa kepalanya berat, masih ingin tidur karena jetlag yang masih terasa, tetapi tampaknya terusik oleh tirai yang terbuka, menyorot sinar matahari siang ini.
Ia baru membuka mata, lalu tersentak sampai duduk, menemukan seorang wanita paruh baya yang berdiri sambil bersedekap, “Ma—“
“Bangun, bersihkan dirimu dan kita makan siang bersama. Papa, Aunty Lea dan Uncle Hamish juga di sini.”
“Bagaimana bisa Mama masuk sini?”
“Kamu lupa kalau hotel Hutama ini pemiliknya masih kerabat kita? Keluarga dari suami Aunty Aurora pemiliknya!” Hanya Fay yang terlihat kesal, melihat Sky yang terlalu bersikap dingin mengingatkan akan sikap suaminya dulu.
Sky menghela napas, lalu kembali berbaring, seolah tidak hiraukan ibunya. “Aku belum lapar—“
“Turun, dan pergi ke kamar mandi atau mau Mama yang bawakan airnya ke sini?” ujarnya dengan tegas.
Sky terpaksa, akhirnya pergi ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Berpakaian, lalu menemukan Budi—personal asistennya.
“Kapan kamu di sini?”
“Dari jam delapan pagi—“
“Oh I know, kamu yang kasih akses untuk Mama!”
“Pak Sky, saya tidak bisa menolak perintah Pak Alyan dan Ibu Fay—“
“Kalau begitu kamu saya pecat!”
Mata Budi langsung melebar, “pecat? Belum empat puluh delapan jam, saya kerja sama Pak Sky... masa sudah dipecat!”
“Saya bosnya, kalau kamu tidak bisa patuhnya pada saya, buat apa?” tanyanya dengan santai.
Budi tidak terima, segera mengekori bosnya.
“Pak, maaf! Tolong jangan pecat saya, bagaimana dengan cicilan apartemen dan mobil saya—“
“Not my business! Memang saya yang perintah kamu buat cicil apartemen dan mobil?”
Budi menggaruk dagunya, kemudian menggelengkan kepala, “bukan sih..”
Sky mengedikkan bahunya, tidak peduli.
Budi tetap mengejarnya, “mulai sekarang, saya hanya akan dengar perintah Pak Sky! Tolong jangan pecat saya!”
Sky menghela napas, “saya akan makan siang dulu, kamu bisa tunggu di kamar saya. Minta petugas kebersihan merapikan kamar saya. Begitu kembali, saya mau rapi dan sepreinya sudah diganti.”
“Terus kapan Pak Sky mau ke Lais tower? Pak Aric sudah—“
“Besok, hari ini saya masih jetlag. Biar saya yang nanti bicara dengannya,” Jawabnya dan naik ke lift yang sudah terbuka. Meninggalkan Budi untuk melakukan perintahnya.
Sky berdiri tegak, menatap lurus. Ini yang ia tidak suka, kembali artinya keluarganya akan banyak mengatur dan ikut campur. Sky sudah terlalu nyaman bebas, hidup sendiri.
Ia menemukan orang tuanya dengan paman-bibinya. Sky langsung duduk, semua mata atensi padanya.
Fay tersenyum pada putranya, duduk tegak seperti robot kemudian minum.
“Pasti kamu masih jetlag, makannya bangun sampai siang.”
“Hm,” angguknya.
“Sky, kenapa harus tinggal di hotel? Kamu punya rumah, bisa tinggal dengan kami atau pulang ke rumah Grandad Kai.”
Ia malah menatap ibunya kemudian ayahnya, “aku belum menemukan apartemen atau penthouse yang cocok. Kucari dekat dengan kantor.” Tanpa perlu persetujuan, ia sudah menentukan.
“Kamu membuat Mama sedih, Sky...” ujar Fay.
“Aku pulang karena keadaan Grandad, begitu ia pulih lagi, aku akan kembali ke Chicago.” Jawabnya seperti tidak pedulikan kalimat itu menyakiti hati orang tuanya.
“Posisimu di Lais bukan sementara, pikirkan tempat itu disiapkan oleh Grandad buatmu.”
“Begitu Sagara selesai pendidikannya, dia akan menggantikan posisiku.” Jawabnya.
“Mama tidak sangka harus mendengar kalimat ini setelah lama kamu pergi dari kami, Sky.” ujar Fay, benar-benar sedih.
"Aku berhak menentukan hidupku sendiri, kan?"
"Kamu terpaksa untuk kembali pada kami?"
"Ya, aku terpaksa kembali." Angguknya, jujur dan menyakiti.
"Sky!" Tegur Alyan pada putranya, "Papa diam sejak tadi, bukan berarti akan toleransi sikap atau kalimat tidak baik pada Mamamu! Bersikap sopan!"
Sky menatap Papa, "Papa bahkan tidak bisa membelaku saat Grandad memintaku berhenti, lima tahun lebih Pa. Apa aku harus hidup untuk memenuhi harapan kalian saja? Aku bukan Sagara, aku Sky. Aku tidak seperti adik-adikku yang menjalani hidupnya sesuai kemauan orang lain--"
"Dan kami orang lain bagimu, Sky?" tanya Fay dengan sedih. Sejauh apa ia sungguh tidak mengenal putranya lagi?
"Grandad melarang, dan kami setuju bukan tanpa alasan. Terlebih kondisimu saat itu yang buat kami setuju!" Alyan membela Kaivan meski setelah kejadian itu pun hubungannya dengan mertua tidak baik. Ia disalahkan atas yang menimpa dan hampir membuat mereka kehilangan Sky.
"Lima tahun lebih kami memberimu waktu untuk menerima kenyataan. Sekarang Papa menyesal, seharusnya tidak membiarkan kamu pergi bila hasilnya kamu berubah." Alyan menjeda, "adik-adikmu, baik Sagara atau Fayra, mereka menjalani hidupnya tanpa paksaan kami. Tetapi, mereka paham terlahir di keluarga ini, ada tanggung jawab menjaga apa yang sudah diusahakan oleh leluhurnya, Grandad bahkan orang tuanya. Kamu dan Sagara memang berbeda, Sagara jelas tidak akan bersikap angkuh, seenak sendiri dan menghormati Mamamu dengan baik. Tidak pernah bersikap kasar."
Sky terdiam, seleranya untuk makan benar-benar lenyap jadi memutuskan berdiri dan pergi.