Lima tahun lebih empat bulan, Sky Xabiru Lais menghitung kepergiannya yang memang selama itu. Hari ini dia kembali menginjakkan kakinya di Jakarta. Tempat keluarganya berada.
Dalam lima tahun, ia hanya pernah dua kali ditemui oleh Papa-Mama atau adik-adiknya, sisanya menolak memberi alamat tempat tinggalnya, bertemu dengan siapa pun.
“Tuan muda, uhm Pak Sky!” sebuah sapaan membuat Sky memandang dingin pria yang usianya di atas dia. Pria bermata sipit, berkaca mata—Budi Widianto. “Saya—“
“Budi Widianto, personal asisten saya yang terpilih.” Tebaknya. Secara khusus Sky memang meminta PA seorang pria. Aric, sang paman sudah memberitahu lengkap dengan biodata pria yang menjemputnya hari ini.
Sky menatap pada leher pria itu, jakunnya bergerak seperti menelan ludah lalu memberi anggukan, “mari, saya akan antar—“
“Saya butuh kopi,” ujarnya. Perjalanan yang panjang, membuat Sky selalu merasa pening. Mengudara berlama-lama.
Dia terdiam sebentar, coba mengingat kopi favorit Sky, “saya akan—“
Lagi-lagi ucapannya menggantung saat Sky lebih dulu berjalan menuju salah satu gerai kopi di sana. Dia ambil posisi duduk begitu saja, dan ketika Budi mengikuti, Sky memberi lirikan tajam lagi, “kalau kamu ikut duduk, siapa yang akan mengantre mendapatkan kopi untuk saya?!”
“Eh, baik Pak. Maaf!”
Seperti kabar yang beredar, Sky yang selama ini misterius bahkan tak ada satu pun media yang bisa mendapatkan fotonya, kenyataannya membuat Budi yang baru bertemu untuk pertama kali, sudah berpikir untuk resign.
Sky duduk bersandar, kaca mata hitam masih bertengger di hidung mancungnya. Kehadirannya jadi daya tarik sendiri, ia tetap santai meski sudah dipandangi lekat penuh penasaran oleh pengunjung lain.
“Ck! Untuk kopi pun harus menunggu selama ini?!” decaknya sebal. Tidak sabar jadi nama tengahnya sejak lima tahun ini. Sky menggerakkan ujung kakinya. Tanda tidak bisa menunggu, dia melirik jamnya, baru siap berdiri jika saja asisten pribadinya yang culun itu tidak segera kembali.
“Kamu bekerja sudah berapa lama dengan pamanku?”
“Satu tahun, saya salah satu sekretarisnya sebelum dipilih jadi PA untuk Pak Sky.” Pamannya itu memang memiliki beberapa sekretaris dan Personal asisten.
“Mau betah kerja dengan saya? Gampang, pertama ubah dulu gerakanmu yang lambat itu! Saya paling tidak bisa menunggu, apalagi dapati satu kecerobohan, mengerti? Hafal apa pun yang saya sukai, hingga saya tidak perlu repot menyebutkan apa-apa yang saya inginkan! Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan bersama saya?!”
Budi mengangguk,
“Mulutmu di pakai—“
“Baik, Pak! Maaf!” angguknya.
Sky meminumnya, baru rileks sedikit saat mendengar obrolan tidak jauh dari mejanya. Seorang pria dan wanita.
“Sahamnya sempat anjlok, bahkan beberapa proyek pembangunan dihentikan. Bagaimana pun Kaivan Lais membawa pengaruh, putranya tidak bisa menandingi ketenarannya sebagai pebisnis.”
Budi sudah akan menegur, tetapi Sky memberi lirikan untuk dia tetap duduk di tempat.
“Beberapa nama disebutkan, aku ikuti beritanya, katanya, cucu pertamanya yang akan pulang. Sky Xabiru Lais. Setahuku dulu dia berkarier sebagai atlet petarung tingkat internasional. Tapi, beritanya hilang. Begitu juga semua berita tentangnya, dia satu-satunya paling misterius, bahkan tidak ada fotonya bersama keluarga lainnya.”
Cukup! Sky paling benci mendengar bagian itu disebutkan. Sesuatu yang membuatnya angkat kaki dari tanah kelahirannya, dan ia kembali bukan untuk mendengarkan kemalangannya di gosipkan orang-orang yang sedang duduk di tempat nongkrong siang hari.
Sky langsung berdiri, meninggalkan kopinya yang baru diminum sedikit.
“Pak, kopinya—“
Dia tidak hiraukan, rahangnya mengetat dan terus berjalan.
"Astaga, dia semaunya sekali!" Decak Budi segera tergesa-gesa mengikuti.
Alasannya pulang juga karena kakeknya yang meminta dirinya pulang. Kondisi yang sudah sangat parah. Jika bukan karena tangisan sang Mama dan neneknya, ia tidak akan pulang. Seperti tahun-tahun berlalu. Bukan hanya pulang sebentar, Kaivan memutuskan satu tanggung jawab besar, membuatnya harus tempati posisi CEO untuk perusahaan Lais. Membantu pamannya yang sudah tempati posisi presiden direktur Lais.
Sebuah mobil menunggunya, Sky masuk. Budi duduk di depan setelah menaikkan koper yang Sky bawa.
“Kita ke mana?” tanyanya. Mendengar orang lain membahas dirinya, membuat perasaan Sky jadi tidak baik.
“RMC Hospital, semua terutama Tuan besar sudah menunggu Anda.” Ujarnya.
Sky tidak memberi reaksi apa-apa selain hanya duduk, berkutat dengan segala keluhan dalam kepalanya. Atau hati kecilnya menentang keberadaannya di sini.
Lihat, pecundang ini pulang dan akan bertahan berapa lama? Sebulan, beberapa bulan atau hanya setahun dan terlanjur nyaman tinggal di Chicago... Batinnya menertawakan.
Sky mengepalkan tangan erat, “pecundang...” bisiknya.
“Eh bapak bilang sesuatu?” tanya asistennya.
Sky tidak menjawab, selain memberi tatapan dingin yang membuat Budi langsung menelan ludahnya dan menatap depan lagi. Budi rasa nasibnya sangat malang mulai hari ini, ditempatkan bersama Sky Xabiru Lais.
***
Sky menatap gedung megah dengan tulisan ‘Rajata Medical Center Hospital’. Tempat kakeknya berada di sana sudah hampir sebulan.
Pintu bergeser, Budi sudah turun lebih dulu, kemudian Sky baru saja menginjakkan kakinya turun saat seorang pria lebih muda tiga tahun darinya menunggu, senyum dengan tatapan kerinduan menyambutnya.
Sagara Blue Lais—adik kandung tepat satu tingkat di bawahnya.
“Kak!” seruan bernada bahagia.
Sky benci situasi mengharu biru, apalagi penuh drama seperti ini. Tetapi, tangannya bergerak balas memeluk pria muda itu.
“Kapan kamu dan Felora sampai Jakarta?” Tanyanya, Sagara tinggal di London sudah dua tahun lebih. Adiknya sudah menikah, bahkan Sky tidak hadiri pernikahan mereka.
“Seminggu lalu, semua orang sudah menunggumu.” Beritahunya.
Sky menatap Sagara, adiknya semakin dewasa, matang. Hidup Sagara teramat berbeda dengannya, jika Sky penuh kerumitan maka Sagara tampak lurus dalam hal apa pun. Kehidupan, karier bahkan cinta sejatinya.
Sagara juga menatap balik kakaknya, dari banyak perubahan, sorot mata tajam dan dinginnya yang buatnya asing.
Keduanya masuk, sementara asistennya kembali ke kantor. Sky akan bergabung ke perusahaan sebentar lagi, menunggu informasi dari Aric. Sebelum itu, gunanya Budi untuk bantu mempelajari posisinya nanti.
“Apa perasaanmu, Kak? Sekian lama akhirnya pulang?”
“There's nothing special,” jujurnya tanpa mau berpura-pura. Selain perasaan terpaksa.
“Ini keluargamu, tempat kelahiranmu. Pulang setelah pergi sekian lama, harusnya jadi bagian yang istimewa untukmu.“
“Sagara, I think you understand... Bila bukan karena kondisi Grandad, paksaan semua orang, aku belum ingin kembali ke sini.” Jawabnya tak mau menutupi rasa tidak nyamannya.
“Apa salah keluarga kita padamu, Kak? Kami selalu mendukungmu, tapi kamu mengasingkan diri dari kami. Seolah kami penyebab dari semuanya.”
Sky terdiam saja.
Sagara tersenyum, tidak bosan menatap kakaknya meski Sky tetap saja diam. “Lihat saja kak, meski kamu terpaksa pulang, akan ada satu alasan yang membuatmu tidak akan menyesali keputusanmu ini hingga tidak menginginkan pergi lagi.”
Ting!
Sky lega sekali ketika akhirnya lift tiba, ia langsung masuk. Sagara menekan nomor lantai kamar Kaivan Lais berada. Sky diam, tidak banyak bicara. Membuat Sagara juga jadi berhenti bicara.
Menuju kamar rawat paling mewah dan lega di rumah sakit itu, semua mata tertuju padanya. Sambutan tangis yang mengharu biru tidak membuat Sky ikut meneteskan air mata. Dia hanya balas memeluk singkat, kecuali saat bertemu tatap dengan Anna. Neneknya.
Sky mengeratkan pelukannya, “terima kasih meski aku tahu, kamu terpaksa, kamu mau datang memenuhi keinginan besar Grandad...”
Sky mengusap punggung neneknya, lalu matanya beralih pada kaca yang jadi pembatas, di mana ia bisa melihat Kaivan Lais akhirnya tak berdaya di atas ranjang rawatnya dengan berbagai alat yang menopang kehidupannya.
Benarkah, keinginan terakhir Kaivan adalah kepulangannya? Tanya hatinya.
Kemudian ia menghela napas dalam-dalam, sebelum merangkul Anna dan sama-sama menuju ke dekat tubuh kakeknya berada.
Anna mendekat, meraih tangan suaminya dan membisikan, “cucu kesayanganmu, Sky kita... sudah di sini, Kai... dia pulang untukmu, kuharap ini memenuhi keinginanmu.”
Sky menatap neneknya, dengan suara gemetar di tengah tangis, Anna dan Kaivan cinta sejati yang nyata. Pasti tidak mudah bagi neneknya melihat sang suami terbaring lemah.
Anna menatapnya, meminta Sky mendekat. “Pegang tangannya, sapa Grandadmu...” bergeser, memberinya tempat.
Sky sudah lupa kapan dirinya menitikkan air mata. Terakhir saat kejadian itu, waktu ia tahu harus menggantungkan sabuk hitam, sarung tinjunya, berhenti mengejar impiannya menjadi atlet petarung sehebat ayahnya.
Kali ini, saat ia menunduk, lalu menatap Kaivan Lais dan bicara, bersamaan air matanya yang akhirnya membasahi mata, “a-aku sudah pulang, seperti keinginanmu, Grandad...”
Anna merasa rangkulan, ia menoleh menatap putrinya.
“Sky tidak akan pergi jauh lagi, Mom..” bisik Fay—ibu dari Sky.
Anna memberi anggukan, coba menghadapi situasi dengan tegar, “daddy kamu sudah menepati janji, membawa Sky pulang. Lalu tugas kita membuatnya betah tinggal lama bersama hingga tidak menginginkan pergi lagi.”