Qailula Sea Zivara seorang Influencer atau konten kreator di beberapa platform dengan jumlah pengikut belasan juta, dari sanalah ia menghidupi dirinya dan Rigel. Memiliki anak di luar pernikahan, membuat Lula tentu masih saja mendengar nada sumbang tentang nilainya sebagai wanita yang buruk. Usianya masih dua puluh empat tahun sekarang, dia tidak pernah menyesal atas semua yang sudah terjadi termasuk mempertahankan kandungannya yang kini diberkati seorang putra yang sangat lucu, tampan dan cerdas seperti Rigel Langit Kalfani.
Pintunya diketuk, Anggita Kartika—sang Ibu masuk diikuti Rigel.
“Momo!” Dia memanggil dengan ceria, membuat sudut bibir Lula tertarik membentuk senyum. Keadaannya akan lebih baik setelah Rigel naik lalu memeluknya.
Ibunya turut mendekat, “sudah normal suhunya, masih pusing?”
Dua hari ia merasa tubuhnya tidak nyaman, lalu menyadari tidak sehat. Lalu memutuskan pulang ke rumah ibunya karena yang Lula pikirkan ia butuh bantuan Gita menjaga Rigel saat tubuhnya masih lemah.
“Sudah mendingan, berkat ramuan Ibu.”
Ibunya tersenyum, “semua pekerjaan diambil, kamu butuh istirahat juga, Lula. Jadi deh tumbang.”
Andai ibunya tahu jika sakit Lula bukan karena pekerjaan yang sedang menggunung saja, tetapi juga karena akhirnya ia tahu identitas pria itu—ayah biologis Rigel. Selama ini Lula hanya tahu namanya, tanpa nama lengkap apalagi nama belakangnya.
Sky Xabiru Lais.
Nama lengkapnya dengan wajah yang selalu Lula ingat. Ia menunduk mencium puncak kepala Rigel, setelah tahu dari foto yang ditunjukkan Azizi, Lula tidak bisa berhenti memikirkannya hingga kurang tidur beberapa hari lalu sakit.
“Momo acih akit?” tanya bocah tampan dalam dekapannya dengan wajah menggemaskan.
“Momo sudah enggak sakit karena dapat pelukan dari bintang paling terangnya Momo.”
Rigel tersenyum kemudian mendekat dan mencium pipi ibunya, membuat Lula dan ibunya senang dengan tingkah manisnya.
“Staaalll!” pekik anak itu.
Lula terkekeh, “star, yang benar.”
Anggita mengulurkan tangan, mengusap kepala cucunya. “Ibu sudah buatkan bubur lagi,”
“Ah Bu, bosan...”
“Untuk sarapan saja, siang nanti Ibu buat makanan lain.”
“Kapan Aa pulang?”
“Sore nanti dia sampai Jakarta, sudah Ibu kabari kalau kamu sakit.”
“Pasti komentarnya Aa sama deh,”
“Iya, Ibu dan Aa tahu kalau kamu gilaa kerja.”
“Mumpung masih tenar, Bu... buat tabungan masa depannya Rigel.” Jawab Lula sambil tersenyum.
Anggita tersenyum, jadi saksi bagaimana Lula kekeh dan meyakinkan mereka jika ia mau mempertahankan kandungannya, melahirkan anaknya. Kecewa sebagai orang tua tentu ada, marah pun, terutama saat Lula tidak mau bahkan sampai sekarang merahasiakan pria yang harusnya bertanggung jawab. Hingga akhirnya Anggita tetap berusaha merangkul putrinya, tidak membiarkannya berjuang sendirian. Apalagi mendorongnya berbuat dosa lebih besar dengan menyingkirkan kandungannya, di mana cucunya sendiri. Gunjingan orang lain bahkan keluarga sendiri jadi ujian besar mereka.
“Rigel mandi ya? Sama Nini,”
Putranya masih memakai piama, baru sekali bangun tidur. Karena Lula sakit, jadi Rigel tidur dengan neneknya dulu.
Kepala Rigel memberi anggukan, “hm, kalau mandi semangat. Apa pun yang berhubungan dengan main air, dia suka.”
Lula mengangguk setuju dengan ucapan ibunya, “Rigel ambil mainannya, mau mandi sama bebek-bebek atau apa?”
Anaknya tidak menjawab selain bergegas turun menuju luar, mengambil mainannya. Membuat Lula dan ibunya terkekeh gemas, “pasti semua di bawa, buat bak mandinya penuh.”
Anggita baru akan berdiri, ketika Lula mencekal lengannya. “Sea...”
Sea beringsut mendekat, lalu memeluk ibunya.
“Kenapa sayang?” Anggita memiliki tiga anak, Sea merupakan anak keduanya dan perempuan satu-satunya, di bawah Sea masih punya adik laki-laki yang kini masih kuliah.
Sea mengeratkan pelukan, kemudian kepalanya menggeleng pelan, “cuman mau peluk Ibu, biar lebih sehat dan kuat.”
Usapan lembut diberikan Anggita di belakang kepala hingga punggungnya, “kalau mau berbagi yang kamu pikirkan, atau rasa, Ibu sangat senang Sea... Jangan dipendam sendiri.”
“Kenapa Ibu bilangnya begitu?”
“Firasat Ibu, ada yang lagi mengganggu pikiran kamu.”
Lula memang tidak mengatakannya, ternyata Anggita sebagai Ibu tetap bisa merasakan.
Lula menarik diri dan menatap ibunya, mengulas senyum tipis, “enggak ada apa-apa, sudah merasa jauh lebih baik kok.”
“Yakin?”
Lula memberi anggukan, “Ibu mending susul Rigel, atau nanti dia sudah masuk bak mandi duluan sebelum lepas pakaiannya.”
Anggita terkekeh, “ya sudah, kamu juga mandi biar segar. Pakai air hangat dulu.”
“Iya,” angguk Lula menurut. Tatapan matanya mengikuti gerakan ibunya yang lalu keluar dari kamarnya.
Lula menghela napas dalam-dalam, ia tidak bisa mengatakannya meski hatinya sangat ingin berbagi dengan ibunya akan yang Lula dapati hingga membuatnya sakit.
***
“Wawa iyot uyanggg yeay!” Suasana rumah jadi lebih hangat setiap kali Sea membawa Rigel tinggal di sini. Rumah yang Sea miliki sendiri tidak jauh dari rumah ibunya. Hasil kerjanya. Dia butuh privasi juga ruangan kerja dan menaruh barang-barang klien yang bekerja sama untuk Sea promosikan di platform media sosialnya.
“Jangan lari Rigel!” cegah Sea, menggelengkan kepala dengan tingkah putranya.
Athaar Kalfani masih dengan seragam pilotnya yang lengkap turun dari mobil milik maskapainya yang mengantar dan jemputnya saat harus tugas sebagai pilot. Ia menurunkan koper juga, lalu Athaar meraup tubuh keponakannya.
“Lho perasaan makin tinggi dan berat ini superRigelnya Wawa!” decaknya.
Rigel sudah tertawa-tawa karena geli dihujani ciuman dari Athaar.
“Sudah Rigel, Wawa baru sampai. Masih capek,”
Athaar menatap adiknya, tersenyum, “justru meluk Rigel dan dengar tawanya buat capekku hilang,”
Sea menggeleng pelan, mendekat untuk memeluk kakaknya singkat.
“Kata Ibu, kamu sakit?” tanyanya penuh perhatian.
“Sudah baikkan kok,” jawabnya lalu mengulurkan tangan, “sama Momo ya?”
“Ndaaak auuu! Auuu Wawa iyot adah!” katanya menolak ajakkan ibunya, tetap mau dengan Uwa pilotnya.
Anggita muncul membawakan segelas air untuk putranya, mereka duduk masih dengan Rigel yang duduk bersama Athaar. Putranya memang dekat dengan kakak atau pun adiknya Lula. Mendapatkan kasih sayang yang tidak dimilikinya dari seorang Ayah dari keduanya.
Rigel masih mengoceh, membicarakan jika beberapa hari lalu ia periksa giginya. Di usia hampir dua tahun, gigi atas dan bawah Rigel memang sudah banyak. Lula mendisiplinkan untuk memeriksa, agar gigi putranya tetap sehat, rapi dan bersih. Bekerja sebagai Influencer dirinya juga dituntut selalu tampil yang enak dipandang, terutama Lula dikenal awal sebagai beauty vlogger. Kini selain menerima kerja sama, ia juga punya brand kecantikan sendiri.
“Periksa di mana?” tanya Athaar.
“RMC Hospital.”
Semua menatap Lula, terutama Athaar, “kamu tahu siapa pemilik rumah sakit itu?
Lula memberi anggukkan, “ya, masih bagian dari keluarga itu, tapi Azizi bilang dokter gigi anaknya bagus. Aku mau yang terbaik untuk Rigel” jawabnya sambil meremas tangannya sendiri yang ada disisi tubuhnya.
“Athaar, tidak apa-apa, Lula minta izin dulu ke Ibu pas mau bawa Rigel ke sana. Sudah lama berlalu jadi Ibu pikir, kita sudah waktunya lupakan.”
“Apa bisa, Bu? kurasa tidak, akan selalu ingat."
Lula menatap putranya yang anteng karena Athaar membawakan hadiah mainan miniatur pesawat, menambah koleksi milik Rigel.
Lula menatap ibunya penuh harap, tetapi hanya memberi anggukan kecil, membuat Lula tahu jika keluarganya tidak mungkin bisa berhenti mengingat masa terburuk mereka. Lula terdiam, menatap Rigel dalam... bagaimana nasib putranya jika Ibu dan kakaknya tahu kalau keponakan, cucu yang mereka sayangi memiliki darah Lais? Keluarga konglomerat yang paling mereka hindari. Alasan inilah yang membuat Lula semakin tidak ingin memberitahu tentang Sky Xabiru Lais pada mereka.
Masih berkumpul, Lula lebih banyak diam, saat adiknya Althaf pulang dengan tampang bingung. Lula menangkap ia cepat-cepat menyimpan kertas.
Tatapan mereka beradu, Lula memilih diam saja. “Om Al pulang, mana Rigel ya? Kok enggak kelihatan?!” sebuah seruan, membuat Rigel terpekik dan langsung naik ke pangkuan Athaar. Minta perlindungan.
"Ssstt! sssthhh!" Ujar bocah itu.
Gelak tawa Rigel dengan Uwa dan Omnya membuat Lula semakin tidak ingin identitas ayah biologis Rigel diketahui keluarganya.
Beberapa saat kemudian, Lula mengikuti Althaf ke kamarnya, “Teteh lihat kamu sembunyikan kertas apa tadi?”
Althaf langsung menoleh, menatap kakaknya, “bukan—“
“Kamu sudah dapat tempat Pelatihan kerja lapangan? Di mana?” sekaligus cari bahan untuk tugas akhirnya.
Althaf menghela napas dalam-dalam, “perusahaan besar, ini rekomendasi dari kampusku. Aku tidak mungkin menolaknya, teh.”
“Iya, di mana? Lais? Di pusatnya, atau cabangnya?”
Althaf langsung mendekat, menarik kakaknya setelah menutup pintu. “Teteh tahu?”
“Iya, karena kalau dari perusahaan besar lainnya, kamu akan dengan senang mengabari. Bukan sembunyikan.”
“Ibu dan Aa enggak akan senang, aku tidak mau mereka sedih. Tapi, ini kesempatan bagus kalau aku bisa PKL lalu skripsiku bahas perusahaan sebesar Lais,”
Lula terdiam, mengapa ia terus terhubung dengan nama ini? Sudah ada Rigel lalu sekarang adiknya?
“Teteh...” panggil Althaf lagi, “jangan bilang Ibu ya sama Aa... Please!”
“Iya, Teteh enggak akan bilang mereka.”
Adiknya tersenyum senang, “makasih, Teh...”
Lula hanya menghela napas dalam, berharap kehidupannya tetap berjalan sama. Tidak ada yang berubah, apalagi harus terlibat dengan keluarga yang paling ia dan keluarganya hindari. Bila sejak awal ia tahu Sky salah satu keturunan nama besar itu, ia sudah pasti menjauh bahkan menghalau keadaan yang melahirkan darah daging mereka. Kini ada Rigel, Lula tidak akan menyesal, semakin tidak mau membuat Sky tahu keberadaannya.