Aku memanggilnya Lula...

1810 Kata
Bagaimana tidak bangun kesiangan? Sky kembali sulit tidur sampai harus menyentuh obat tidurnya lagi. Dia memakai kemeja hitam yang tidak dikancingkan kerahnya, bahkan malas sekali pakai dasi. Alih-alih berpakaian rapi ala CEO yang seharusnya, dia tetap dengan gayanya yang terlalu santai. Personal asistennya harus menghampirinya ke hotel, membangunkannya, “Pak Sky memang tidak aktifkan alarm?” “Saya benci suaranya yang berisik.” Budi menoleh, menatap pada bosnya. Dia yang menyetir untuk bosnya, “pasti bunyinya berisik pak, sesuai fungsinya, kalau senyap bukan alarm namanya.” Celetuk Budi. Membuat Sky yang sedang memasang jam tangannya menoleh pada asistennya. Hanya sejenak saja. “Penampilan Pak Sky ini, enggak terlalu santai?” tanyanya kembali bicara, membandingkan dengan dirinya, lebih formal dari penampilan bosnya. “Atau Pak Sky tidak ada dasi dan kemeja warna yang lebih cerah? Untuk hari pertama, harusnya memberi tampilan yang berkesan.” “Dekat sini ada Mal?” Budi menoleh, masih saja takut dengan tatapan intimidasi bosnya. Namun, dia tidak menduga bila Sky akan menanggapi positif sarannya, padahal hatinya sudah ketar-ketir akan dipecat lagi seperti sebelumnya. “Ada, beberapa meter lagi—“ “Kalau begitu, berhenti di sana. Belikan saya yang menurutmu setelan pantas dan berkesan itu.” Ujarnya dingin. Budi pada dasarnya tidak menyadari, mengangguk patuh. Beberapa saat mereka sudah berhenti di depan Mall tersebut, kemudian Budi menggaruk pipinya, “eh Pak, Mall bukanya jam sembilan sampai jam sepuluh...” “Berhenti,” Budi menurut, “saya cari parkir—“ “Di sini saja, lalu kamu turun.” “Pak, belum buka.” “Kamu yang kasih saran, kamu yang tunjukkan tempatnya maka tanggung jawab. Tunggu di sini sampai Mal buka!” Budi langsung tersenyum kaku, “terus Pak Sky? Mau tunggu di mobil?” Sky hanya memberi tatapan, membuat Budi segera melepas sabuknya. Sky juga sudah turun lalu berputar dan menarik pintu di sebelah asistennya. Budi dengan takut-takut segera turun, Sky justru naik menggantikan posisinya. “Pak...” Sky membuka kaca mobilnya, sudah memakai kaca mata hitamnya tanpa menoleh pada asistennya, “Pak Sky tidak menunggu saya?” “Haruskah?” tanyanya sarkasme. Membuat Budi menelan ludahnya, “masih mau carikan dasi untuk saya? Atau untuk mengikat leher kamu?” Budi langsung memegangi lehernya, “saya sudah pakai, Pak...” menunjuk dasinya sendiri. Sky tetap tidak menoleh. “Jadi saya harus tetap tunggu Mal sampai buka, atau—“ “Kamu mengoceh karena saya kesiangan, tingkahmu sendiri membuat kita berdua kesiangan, I’m the boss, right?” Kepalanya patuh mengangguk, “ya. Pak Sky bosnya.” “Saya terlambat, tidak akan dipecat. If you?“ Budi langsung pucat, Sky bisa saja tega meninggalkannya. ‘Astaga, habis sudah!’ Batin Budi. Bekerja dengan Sky sungguh definisi penuh tekanan tetapi masih butuh. “Masuk!” Perintahnya dengan tegas. Sky hanya memberi pelajaran. Terburu-buru sampai lari, hampir juga tersandung, Budi segera menuju pintu lainnya. Duduk, “maaf, Pak...” “Aturan lain bekerja dengan saya, jangan banyak bicara! Saya benci mendengar ocehan yang tidak penting, paham?” Budi mengangguk, saat Sky memberi lirikan barulah ia mengeluarkan suara, “iya, Pak. Paham...” Sky langsung mengendarai mobilnya. “Entah apa yang Uncle Aric lihat darimu, mengapa memilihkan PA sepertimu!” “Saya yang paling bisa diandalkan.” “Maka buktikan kalau memang kamu bekerja dan bisa diandalkan, bukan hanya mulutmu saja yang banyak omong,” jawabnya lagi. Sky masih mengemudi kemudian teringat sesuatu, dia pernah kenal seseorang yang juga sangat berisik mulutnya. “Mulutmu hanya bisa digunakan untuk terus bicara?” Gadis itu langsung berhenti bicara, menggigit bibir bawahnya yang tidak luput dari pandangan mata Sky. Tubuhnya tidak memakai apa pun lagi selain Kaus milik Sky, beberapa tanda yang Sky buat terlihat di kulit leher bahkan pahanya yang putih bersih. Lalu dia beringsut mendekat, langsung duduk di pangkuannya dan tersenyum, “tidak, bisa digunakan untuk satu hal yang akan menyenangkan...” "Seperti apa? Perlihatkan padaku!" Sky tidak menunggu lebih lama untuk menarik tengkuknya, lalu memberi kegiatan yang menyenangkan untuk mereka. Mencium bibir itu dengan rakus, seperti mau melahapnya. Tangannya tidak sabar untuk menjelajah pahanya lalu masuk merasakan bagian kehangatannya. “Ah, Tuan Langit...” desahnya manja. “Pak Sky! Pak!” Sebuah tepukan ditangan membuat bayangan itu buyar, ia menoleh dan menatap tajam pada Budi. “Itu Pak... pintu masuk Lais tower sudah terlewat.” Beritahunya. Sky terdiam, kemudian menoleh pada gedung yang dituju memang sudah terlewat. “Kenapa kamu enggak kasih tahu?” “Kata Pak Sky tadi, saya tidak boleh banyak bicara tidak penting.” Jawabnya polos. Membuat Sky geram, “Ck!” “Saya salah lagi ya, Pak?” “What do you think, uhm? Pikir sendiri!” Jawabnya lalu memutar mobilnya. “Bisa stres saya punya PA kayak kamu!” “Kalau Pak Sky bisa stres, saya apalagi?” bisiknya kecil. “Kamu bilang apa?” Kepala asisten malang itu langsung menggeleng pelan, bisa-bisa kembali disembur dia, “tidak, Pak! tidak bilang apa-apa!” Sky menghela napas dalam-dalam. Begitu juga Budi. *** Aric mendapatkan laporan jika Sky belum datang, bahkan menolak acara sambutan dan perkenalan dirinya. Ia hanya mau dikenalkan dengan para kepala divisi saja. “Apa ada yang santainya kelewatan seperti Sky?” decak Aric. Hamish yang duduk sambil menggoyangkan kursinya, menanggapi lebih santai. “Ada, tapi sekarang sudah semakin berumur, makin disiplin.” “Siapa?” “Yang tanya—aduh!” dia mengaduh karena Aric menendang kakinya. Usia saja sudah tua, kelakuan mereka masih seperti itu. “Aku tidak seperti Sky, masih bisa diatur.” “Sungguh?” Aric menghela napas dalam, “kalau bukan Daddy Kaivan yang sudah pesan padaku untuk sabar menghadapinya, sudah lain cerita. Sky jelas tidak disiplin dan menurut seperti Sagara.” “Ya, sangat menguji nyali—eh menguji hati!” celetuk Hamish lagi. Lalu Hamish mengingat momen makan siang yang berakhir tidak mengenakan, “Ka Fay dan Ka Alyan saja sudah tidak bisa berbuat apa-apa,” “Ya, Fay cerita ke Mommy sambil nangis-nangis. Mommy minta kita semua sabar. Akan ada masanya Sky kita kembali, hatinya luluh nanti.” Dan orang yang mereka bicarakan, akhirnya Aric mendapatkan pesan jika Sky sudah datang. “Kamu mau ikut menemuinya?” “Minta dia datang saja ke sini,” angguknya. Aric kemudian menelepon Budi, “bilang pada Sky, saya menunggu di ruangan saya.” Aric barulah ikut duduk dengan sepupunya, wakilnya di perusahaan. Tidak lama orang yang mereka tunggu, datang dengan gaya santai. “Wah santai sekali penampilannya,” ujar Hamish berdecak kagum. Aura dingin, mengintimidasi, sangat menguar dari sosok keponakannya. “Karena kamu menolak diadakan penyambutan, kamu juga memberi beberapa kata perkenalan, jadi kami memintamu datang ke sini.” Ujar Aric. “Duduk dulu, Sky.” Sky segera duduk, tegap. “Apa perlu penyambutan dan perkenalan? Sedangkan aku di sini hanya sementara, sampai Grandad pulih.” “Grandad pulih karena kepulanganmu, lalu kamu pikir dia akan tetap pulih saat nanti kamu pamit pergi lagi?” tanya Hamish yang sudah tahu Sky memang tidak ingin menetap lama atau selamanya lagi di Jakarta. Sky tidak menjawab. Kemudian dia teringat sesuatu yang perlu ditanyakan, “tidak adakah kandidat lebih baik dari PA pilihanmu?” Kening Aric mengernyit, “maksudmu Budi?” “Ya, dia bodoh! Aku butuh PA yang lebih baik, bisa profesional.” “Budi tidak bodoh, dia yang paling baik, makannya aku menyerahkannya untuk membantumu.” Kata Aric. Hamish langsung menilai, “apa yang dia perbuat sampai kamu menilainya bodoh?” “Tingkahnya, berisiknya.” “Hanya itu? Kupikir apa?! Kamu harus terbiasa, kalau soal pekerjaan dia sangat bagus.” Kata Aric yakin. Membuat Sky hanya menghela napas dalam-dalam saja. “Oh iya, Mamamu mengeluh kamu tinggal di Hotel Hutama.” “Aku mendengar desas-desus saham kita sempat anjlok, apa itu benar-benar membuat kita tidak mampu bayar hotel? Tenang saja, aku tidak akan memasukkan tagihannya sebagai fasilitasku sebagai CEO di sini." Ujar Sky lagi. Selama ini dia mendapat pemasukan dengan bermain pasar saham, memiliki koin kripto yang sudah bernilai berkali-kali lipat. Dia juga punya bisnis yang tidak diketahui keluarga, di luar dari kerajaan bisnis Lais. “Astaga—“ “Begini, bukan karena biayanya. Tapi, kami membantumu. Kamu bilang mau apartemen atau penthouse, bukan? Jika kamu tidak nyaman tinggal di rumah, tidak apa memilih tinggal di apartemen atau penthouse. Dulu pun Aric tinggal terpisah, sampai menemukan alasan untuk pulang dan betah di rumah.” Ujar Om Hamish yang memberinya pengertian. Ia jauh lebih bisa diandalkan menghadapi Sky dibanding Aric yang kesabarannya setipis tisu dibelah-belah. “Baiklah, di mana?” tanyanya. “Ada beberapa, Budi akan mengantarmu melihatnya lalu bebas memilih.” Setelah menemui kedua pamannya sebagai petinggi perusahaan, ia menuju ruangannya. Menatap ruang CEO, masih meyakini hanya akan sementara posisi ini dan begitu sang Kakek pulih, ia bisa bebas kembali. Sky duduk, Budi masuk mendekap sebuah tumpukan berkas, “apa itu?” “Pekerjaan Pak Sky,” “Letakan saja,” “Masih ada,” dia menoleh pada seorang lagi yang bantu membawakan segunung pekerjaan. Sky langsung duduk tegak, lalu menarik napas dalam-dalam lengkap dengan memijat tengkuknya, belum apa-apa sudah terasa berat. “Pak Aric minta Pak Sky yang meeting nanti dengan direktur pemasaran dan tim divisinya. Ada pembahasan mengenai pembaruan kontrak dengan Brand Ambasador beberapa produk kita.” Sky meminta failnya, kemudian mempelajari yang diajukan, “siapa kandidat utama yang diajukan?” “Seorang Influencer, tapi manajernya yang kita hubungi menolak.” “Bekerja sama dengan Lais kesempatan bagus, bukan? Kenapa dia menolak? Setenar apa dia?” tanya Sky penasaran. “Memang tenar sih, Pak. Setiap produk yang dia promosikan penjualannya selalu naik. Masuk lima besar.” “Siapa?” “Sea. Oh nama lengkapnya Qailula Sea Zivara.” Deg! Sky langsung terdiam, menatap Budi. “Si-siapa?” “Profilnya ada di lembar berikutnya. Oh iya, Rigel—putranya juga mencuri perhatian banyak pengikutnya. Tingkah lucunya sangat memikat, produk untuk balita kita tertarik untuk menjadikannya BA juga bersama beberapa anak artis yang lagi naik.” Beritahunya. Tangan Sky langsung membuka lembaran itu, membaca profilnya lengkap dengan beberapa foto dan jumlah pengikut di halaman media sosialnya. “Lula...” dia membisikkan nama itu, nama yang terasa akrab dilidahnya seperti tidak pernah lupa rasa candu bibir wanita itu. “Sea, Pak... Biasa dipanggil Sea bukan Lula,” Budi meralat. Sky memberi tatapan tajam yang membuat PA-nya langsung menyengir. “Dia sudah menikah?” tanya Sky lagi. Artinya jika Lula sudah memiliki putra, Lula sudah menikah. Budi sudah siap menjawab, tetapi sebuah ketukan pintu menghentikannya. Mereka berdua menoleh, menemukan gadis ceria yang cantik. “Ka Sky!” Sky menoleh, langsung berdiri dan tersenyum. Fayra—adiknya datang. “Di sini?” “Iya, mau bertemu Uncle Aric... sekalian menemui kakakku yang super angkuh ini!” ledeknya. Sky tersenyum walau tipis, adiknya langsung memeluk manja. Budi berdiri memerhatikan, kemudian berdehem, “Pak—“ “Kamu lanjutkan pekerjaanmu,” usirnya. "Baru juga mulai, sudah ada gangguan saja!" Bisik Budi sambil meninggalkan ruangan dengan pasrah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN