Pertemuan pasti menyisakan rasa gelisah bagi hati yang saling terhubung, perpisahan tidak selalu jadi akhir bagi takdir yang terikat, yang memang dituliskan untuk menjadi sepasang. Namun, bagi seorang Sky, perasaan gelisah itu hanya menyusahkannya dan menambah ia sulit tidur.
Ia mengambil dua butir obat tidur, kemudian meneguknya tanpa air. Lidahnya menikmati rasa pahit getirnya yang karena sudah terbiasa, jadi menyukainya.
Ada toleransi untuknya memulai minum obat itu, jika sampai jam tiga pagi, matanya belum mengantuk juga. Seperti malam ini, tidak ubahnya malam-malam sebelumnya. Bahkan Sky lupa kapan bisa tidur sebelum jam dua belas malam.
Ia melemparkan punggungnya ke atas ranjang yang selembut sutra itu, lalu menyingkirkan selimutnya. Di awal tidur, dia tidak suka pakai selimut, tapi setelah tidur dan saat suhu kamarnya sudah sangat dingin, baru terpaksa menarik selimut.
Menumpuk bantalnya lebih tinggi, kemudian bersedekap dan menatap keadaan langit-langit temaram. Tenggelam dalam kegelapan, seperti hidupnya yang sudah lima tahun ini tanpa warna... kecuali saat tiba-tiba membawa gadis itu tinggal di apartemennya.
Suaranya yang lembut tetapi terus mengoceh membuat Sky yang awalnya terganggu terus memerhatikan bibirnya saat terus bicara. Bibirnya kecil namun lebih penuh di bagian bawah dan ada garis ditengah-tengah yang membuatnya seksi. Saat ia tersenyum, bibirnya akan terlihat lebih lebar dari seharusnya, entah bagaimana itu membuatnya manis.
Saat rasa ngantuk yang tiba-tiba muncul, membawanya bersama sebuah kenangan awal kebersamaan dengan gadis yang tadi setelah sekian lama akhirnya dilihat kembali...
“Kapan kamu akan berhenti mengoceh dan tidur?” tanya Sky pada gadis itu. Apartemennya hanya ada satu kamar. Sky memberikan sofa, tetapi tiba-tiba dia yang pindah ke sofa dan membiarkan Lula menguasai tempat tidurnya. Dia bisa saja menyewakan hotel untuk gadis itu, tapi ajaibnya malah membawanya ke apartemen pribadinya.
Lula tampak terdiam, hanya bertahan beberapa saat lagi kemudian gadis itu duduk dan menatap Sky.
Baju gadis itu ada dalam koper yang dibawa pergi—sehingga malam ini hanya dipinjami pakaian Sky, yang kebesaran di tubuh rampingnya. Tubuhnya proporsional. Tinggi, ramping tetapi di beberapa tempat yang seharusnya ia memiliki bagian yang menarik. Pinggul pas, pinggang ramping.
Sky tidak pedulikan walau tahu Lula memerhatikannya, “kamu yakin akan tidur di situ? Dan memberikan ranjangmu?”
“Hanya sementara,” ujar Sky.
Ujung jari Lula bergerak-gerak di atas selimutnya, “suhu kamarnya terlalu dingin—“
“Kamu pendatang, aku menampungmu. Sekarang mau berkuasa di tempatku?” Sarkasmenya.
Lula langsung menggigit bibirnya, menggeleng pelan. Dia sudah kedinginan walau pakai selimut. Sementara Sky tetap santai.
“Uhm, aku sudah cerita banyak tentangku... aku mau dengar tentangmu, Tuan Langit...”
Kali ini Sky mendongak, memberi tatapan tajam yang membuat Lula malah merasa jantungnya terpacu antusias. Ia bahkan membatin... ’Ugh Sky, pria yang sangat tampan, manly tapi sayangnya sangat misterius. Lihat matanya saat menatapku sangat serius dan tajam seperti sekarang. Alih-alih takut, aku malah berdebar-debar dan ingin beralih dalam pelukannya yang pasti hangat juga nyaman. Dalam waktu singkat, mudahnya aku tergila-gila padanya. Apa ini normal?’
“Aku hanya bertanya data-datamu untuk mengurus berkas-berkasmu, tapi selebihnya aku tidak mau tahu banyak tentangmu itu!” Ya, memang Lula saja yang tidak bisa berhenti banyak cerita mengenainya. Herannya ia bisa semudah itu merasa nyaman sampai cerita semuanya pada pria asing.
“Aku—“
“Tidur atau kamu mau kuusir, kembali ke tempat tadi?”
Lula langsung terdiam, merinding membayangkan kembali ke jalanan kota ini yang bawa trauma. Membuat Lula yakin setelahnya tidak akan berani melakukan wisata sendirian.
Ia langsung menurut, tiduran, terlentang. Menekan perasaan penasarannya akan sosok si Tuan Langit yang misterius.
Lama kelamaan ia pun mulai mengantuk, hari ini sangat menguras energi Lula. Hingga ia pun tertidur.
Sky yang masih bekerja depan laptop, beberapa saat menyadari kesunyian dari kamarnya yang membawa ketenangannya lagi. Ia mengangkat kepalanya, menatap pada ranjangnya. Gadis itu sudah tertidur.
Dia menyandarkan punggung ke sofa, lalu berdecak, “mengapa aku harus membawanya ke sini?”
Sama saja dengan membawa beban, bukan? Pikirnya. Sky bahkan tidak pernah membawa teman kencannya ke kamar pribadi di apartemennya. Baru Lula. Gadis asing yang ia selamatkan.
Alih-alih kembali fokus pada layar laptopnya, Sky justru bangkit dan kakinya berjalan ke sisi ranjang. Kedua tangannya terlipat didadanya, ia memerhatikan wajah damai Lula dengan napas teraturnya.
Matanya menatap sedetail mungkin wajahnya, gadis cantik itu sama sekali tidak takut padanya, tidak berpikir buruk jika Sky akan menyakitinya.
Sudut bibir Sky berkedut pelan, tidak tersenyum lalu dia berbisik sambil menatap bibir gadis itu, “Lula, gadis yang sangat berisik. Mulutnya tidak pernah berhenti mengoceh kecuali saat ia tidur seperti ini. Dan sialnya lama-lama kupandangi, aku ingin mencium bibirnya hingga bengkak!”
Kemudian Sky menggelengkan kepala pelan, “damn, apa yang baru kupikirkan dan mulutku katakan?!” ia menyugar rambutnya kemudian berbalik. Kembali ke sofa dan coba memeriksa pekerjaannya. Sebuah kontrak yang sedang ia susun untuk kerja sama dengan salah seorang temannya.
Tetapi, ia beberapa kali melirik gadis itu. Memijat tengkuknya sampai memutuskan untuk tidur di sofa. Mencoba untuk nyaman, nyatanya ia tidak bisa tidur hingga memutuskan pindah ke ranjang miliknya. Mengambil sisi kosong di sebelah gadis itu lalu tanpa disangka, mudah untuk mengantuk.
***
Lula mengusap tubuhnya yang tengah berdiri di bawah shower, kemudian ia mengusap wajahnya sambil menghela napas dalam. “Astaga, kenapa tiba-tiba aku memimpikannya?! Pasti karena belakangan, aku sering memikirkannya?!” decaknya.
Lula memejamkan mata, kemudian mengusap tubuhnya, saat sebuah bayangan demi bayangan intim kebersamaannya dulu kembali berputar dikepalanya.
Sky menarik tengkuknya, terasa membuat Lula tidak bisa bergerak, memerangkapnya, tanpa banyak kata segera menyatukan bibir mereka. Ciuman yang begitu dalam, panas. Lidahnya membelai, bertukar rasa dengannya. Lula larut, bahkan saat tangan Sky berpindah mencengkeram bokongnya, menariknya merapat hingga Lula bisa merasakan sesuatu yang mendesaknya di bawah sana.
Semua terjadi begitu saja, saat pagi ini Lula keluar dari kamar mandinya hanya menggunakan jubah handuknya. Lula awalnya hanya banyak bicara seperti biasa, lalu daya tariknya terlalu kuat dan membuat mereka tiba-tiba langsung mendekat dan berciuman.
Ciumannya semakin melambungkan gairahnya, tangan Sky sudah mulai menjelajah, menyusup ke balik jubah handuknya yang tidak Lula sadari tiba-tiba talinya sudah terlepas.
Hawa dingin menyapa bagian kulitnya yang terbuka, masih lembap karena Lula baru saja mandi.
“Tuan Langit..." Suara lembut Lula berubah menjadi agak mendesah di tengah serangan cumbuan Sky. Selanjutnya ia merasa tubuhnya di tarik, kemudian berbaring di ranjang. Meneruskan cumbuannya, Sky sepertinya benar-benar ingin membuat bibir Lula bengkak, karena hanya memberi jeda sebentar. Lula harus sebisa mungkin mengatur diri untuk mengurai napas yang mulai terengah-engah.
Perlahan ciuman Sky mulai turun ke area lehernya, terasa menyengat saat ia memberikan tanda yang akan menyisakan keunguan nanti, tangan Sky menyibak setiap sisi jubah, lalu menjauh dan menatap perempuan itu berbaring di ranjangnya, rambut berantakan, bibirnya yang bengkak dan bagian puncak dadanya yang membusung, bulat, padat dan menantang. Terasa akan sangat pas ditangannya.
Sky kembali beradu tatap dengan Lula, menunggu perempuan itu menamparnya dan mendorongnya. Tetapi, Lula malah tersipu malu kemudian tangannya terulur menyentuh wajah Sky.
Sky menyukai pemandangan di bawahnya itu, ia menunduk, merapat lagi dan Lula melingkarkan tangan di lehernya lagi. Menerima ciumannya lagi, Sky mengulang hingga memberi sentuhan-sentuhan di bagian sensitifnya, merangsang Lula. Tangan dan bibir Sky menguasai puncak dadanya, meremas dan sesekali memilin puncaknya, tubuh Lula melengkung ke atas, tangannya meremas seprei di bawahnya.
“Do you like it, Lula... Aku menyentuhmu begini?” tanya Sky dengan suara seraknya. Ekspresi gairahnya membuat Sky berkali-kali lebih tampan. Sky bertanya tetapi tangannya masih berada di tempat yang sama.
Lula tidak bisa menjawab selain memberi anggukan dengan tatapan sayunya, Sky kemudian tersenyum untuk pertama kalinya, ia menunduk mencium bibirnya kemudian berbisik, “ternyata benar, mulutmu akan diam saat aku mencumbumu seperti ini hm?”
Lula terkekeh, “jadi kamu pernah memikirkan cara itu—mencumbuku agar mulutku diam?”
Selanjutnya Sky menunjukkan cara yang membuat tempo keintiman mereka semakin menggairahkan, semakin panas, juga tidak akan bisa Lula lupakan...
“Tuan Langit,” Lula membuka matanya saat mendesahkan panggilan pada pria itu, lalu menunduk dan menyadari keberadaan tangannya. Berusaha mencari sentuhan sama yang pernah ia dapatkan.
Ia menurunkan tangannya kemudian cepat-cepat mematikan shower dan memakai handuk. Dia berhenti di depan cermin, mematung menemukan ekspresinya yang tampak seperti seseorang yang merindukan sentuhan—bergaairah.
“Semua sudah berakhir lama, bisa-bisanya aku mengingat semua itu?!” decaknya, segera menyingkirkan semuanya.