Sky tidak pedulikan semua tatapan mata padanya, karyawan yang bekerja di gedung Lais belum terbiasa dengan kehadirannya. Atau bahkan pasti menjadikannya bahan pembicaraan. Awal kehadirannya saja sudah menolak acara untuk memberi sambutan pada para karyawannya. Lalu setiap kali disapa, malah menampilkan ekspresi dingin serta tatapan yang perlu dihindari.
Sky memasukkan kedua tangan ke saku celana, kemudian ia menoleh saat mendapati Budi datang dengan kerepotan. Memegangi tasnya, juga cup kopi untuknya.
“Lumayan, hari ini kamu sedikit tepat waktu.”
“Hanya sedikit, Pak? Padahal effort saya sudah luar biasa. Sudah akrab dengan pekerja kedai kopinya untuk siapkan kopi kesukaan Pak Sky,” katanya menunjukkan usahanya, berharap dapat pujian.
“Suasana hati saya lagi tidak baik, jangan membuat kepala saya pening, Budi.” Tegurnya. Berharap asistennya diam. Tapi, namanya juga Budi selalu jadi ujiannya.
“Bukannya setiap hari suasana hati Pak Sky tidak selalu baik?” tanyanya dengan polos.
Sky menoleh, lengkap dengan tatapan tajamnya. Budi langsung terdiam sambil menyengir.
Ting!
Dan ketika suara denting lift terdengar bersama pintu terbuka, Budi merasa terselamatkan sekali.
Sky masuk dengan Budi dan para karyawan lain tampak sungkan satu lift dengan bosnya. Sky memang malas menunggu lebih lama lift khusus untuk para petinggi perusahaan. Jadi dia ambil yang paling cepat.
“Tidak ada yang mau masuk?” tanya Budi.
Lainnya langsung diam, Budi mengerti lalu mendekati bosnya, “Pak Sky coba senyum sedikit, biar tidak membuat orang lain takut.”
Sky mendelik, Budi segera mengambil jarak. Baru pintu lift akan tertutup, ada sekitar tiga orang masuk, tanpa memerhatikan suasana sekitar.
Dia masuk, menatap Budi lebih dulu, salah satunya mewakili, “Pagi Pak, terima kasih sudah menahan liftnya.”
Budi mengangguk, menatap ketiganya, “pasti kalian bukan karyawan sini ya?” karena jika karyawan pasti akan segan satu lift dengan Sky.
Ketiganya mengangguk, “ya, kami anak PKL yang baru bergabung hari ini. Saya Althaf Kalfani—“ kalimatnya langsung berhenti saat beradu tatap dengan pria lain yang baru dia sadari. Saat lift sudah bergerak naik.
Sky hanya berdiri tegap, dan menatapnya dengan satu alis naik, tentu Sky ingat anak muda itu.
“Om juga kerja di sini?” tanya Althaf.
Budi dan dua teman Althaf mengernyitkan kening, “lho kamu kenal orang dalam, Althaf?”
Althaf terdiam, kemudian berpikir. Jika karyawan lain memakai tanda pengenal, termasuk dia dan dua temannya dapat tanda pengenal sebagai akses bisa masuk gedung ini. Tetapi, pria dengan aura seperti ketua mafia atau bintang iklan rokok menurutnya itu... dia tidak pakai satu pun pengenal, atau kartu akses. Penampilannya juga sangat santai.
Althaf menelan ludahnya, lalu suasana jadi dingin. Althaf baru lega setelah sampai di lantai tujuannya, “tunggu,” cegah Sky sebelum membiarkan Althaf pergi.
Althaf sudah di luar lift, berbalik, “saya bukan ketua mafia apalagi bintang iklan rokok, saya CEO di sini.” Ujarnya dengan angkuh kemudian pintu lift tertutup.
“Gue pikir lo kenal sama dia, Al. sudah bangga banget gue tadinya!” decak temannya.
Althaf menatap temannya, “pernah bertemu, sekali. Kalian kenal?”
“Ya, kayaknya itu Sky Xabiru Lais... yang kita dengar baru pulang ke Jakarta, menempati posisi CEO di perusahaan Lais.” Beritahu temannya.
Lutut Althaf rasanya gemetar mendengar namanya, jadi pria yang sempat bertemu dengannya di resto, menyelamatkan Rigel—keponakannya, dia si misterius dari Lais yang sering dibicarakan oleh keluarganya, atau sekitarnya.
Satu yang Althaf pikirkan, reaksi keluarganya bila tahu ia satu lift dan bicara dengan pewaris keluarga paling dihindari itu?
Sementara itu dalam lift, Sky menatap Budi yang sedang menahan tawa, "saya tidak salah dengar, Pak? Anak PKL tadi bilang, Pak Sky terlihat seperti ketua Mafia atau bintang iklan rokok?!"
Sky hanya diam dan cukup memberi tatapan yang buat Budi harus terus menahan tawanya.
***
Lula mengelap bibir Rigel, melepas kain yang dipakai di lehernya. Lalu meminta Rigel berdiri di kursinya untuk mencuci tangannya.
“Mamnya sudah,” ujar Lula menurunkan putranya.
Rigel langsung berjalan cepat menuju area bermainnya. Sebenarnya ada ruangan khusus di rumahnya, tetapi di mana-mana ada mainannya. Lula menggeleng pelan, Dillah muncul. “Sea, kamu enggak pikir-pikir lagi? Tim kita menyayangkan penolakan kamu yang tidak mau menerima kontrak kerja sama Lais Grup, kenapa sih? Ini nilainya besar banget lho...”
“Memang tawarannya datang lagi?” Lula sudah menolaknya.
“Belum, tapi kalau influencer atau artis lain sudah pasti langsung oke, tahu! Aneh deh kamu!”
Lula hanya mengulas senyum, berusaha tenang, “mereka enggak akan kasih tawaran ulang. Sudah ditolak, biasanya mereka akan gengsi buat mengusahakan. Perusahaan besar tidak akan buang-buang waktu untuk seorang influencer.” Dia santai, berharap memang tak dapat kerja sama dengan apa pun yang ada hubungannya dengan Lais. Dulu sekitar, satu tahun lebih tawaran juga ada tapi dari per-orang, begitu lihat nama Lais di belakangnya, Lula menolak. Padahal ia pernah membeli beberapa barang bagus dari website jual-beli milik Fayra.
“Sea, enggak baik menolak rezeki tahu?!”
“Iya tahu, tapi aku juga berhak pilih-pilih bukan? Aku belum siap menerima kontrak besar—“
“Hey, brand kosmetik M.B itu juga besar! BA-nya dulu sekelas Aurora Kyomi Lais, terus tawaran itu nyangkut ke kamu. Artinya kamu sudah layak kerja sama brand-brand besar!”
Lula menghela napas, kenapa sejak belakangan selalu mendengar nama itu, nama ‘Lais’...
Huft!
Dia menarik napas dalam-dalam, Biarkan sang asisten mengoceh. Lula punya tim manajer juga, yang mengatur tawaran kontrak, apa pun termasuk mengelola keuangannya.
“Mbak Shakira saja enggak ada protes sama keputusanku, kamu yang gemas!” decaknya.
Dillah sudah siap mengomel, Lula berpindah duduk depan meja riasnya yang besar dan banyak lampu-lampu di sisinya. Dia lebih suka make up sendiri kecuali untuk acara besar, atau datang ke pesta.
“Ada beberapa produk yang harus segera aku ulas?” produk yang sampelnya sudah Lula periksa, coba dan suka. Biasanya jika ia tidak suka, tidak bagus menurutnya, ia tidak mau untuk terima tawaran promosikan produk tersebut.
Dillah mengambilkan sebuah bingkisan, “series warna lipstik terbaru,”
Lula tersenyum, menyentuh kemasannya, “mewah banget kemasannya, ringan dan warnanya bagus, yuk siapin kameranya!”
Baru akan mulai ia mendengar suara bocah kesayangannya, Rigel berlari cepat ke arahnya sambil tertawa.
“Pasti ada omnya,” ujar Lula langsung mengambil Rigel, dia duduk di pangkuan Lula, dan bersembunyi tapi tidak mau diam.
“Althaf, jangan ngerjain anak Teteh! Nanti bobonya ngompol lagi gara-gara terlalu bercandanya sama kamu!”
Althaf menyengir, Rigel masih menyembunyikan wajahnya, tetapi Althaf menariknya dan mengendongnya.
“Bagaimana hari pertama PKL kamu?” tanya Lula sambil melihat wajahnya, baginya wajah, tubuhnya bahkan semuanya dalam tubuhnya aset penting.
Althaf menghela napas panjang, buat Lula menoleh, “atasanmu, pembimbing PKL kamu nyebelin?”
“Enggak, baik banget. Fasilitasnya juga oke, paling penting kami dapat gaji tiga bulan nanti meski PKL rasa magang, kerja benaran. Pengarahannya juga jelas, aku enggak nyesel sih ambil tugas akhir di sini.” Jawabnya.
“Terus kalau terdengar baik begitu, apa yang buatmu terlihat cloudy?”
“Tebak, pagi pertama datang aku ketemu siapa? Oh bahkan akhirnya tahu dia siapa? Kamu satu lift.”
Lula menatap Dillah yang sedang sibuk di sisi lain, ia mendekat pada adiknya, berbisik agar urusan pekerjaan dengan masalah keluarganya tidak diketahui orang lain, “salah satu dari mereka?”
Althaf mengangguk, “Sky Xabiru Lais, dan terburuknya, pria yang di resto bertemu denganku, yang sama Rigel... Dia orang yang sama. Itu yang bad words, ditiru sama anakmu!"
Wajah Lula langsung berubah pasi, kaku. Jadi Sky dan Rigel sudah bertemu? Walau Sky jelas tidak akan menyadari jika Rigel merupakan darah dagingnya.
Althaf menatap heran pada Lula yang hanya diam, "Teh.. Teteh dengarkan aku enggak sih?"
Pertanyaannya menggantung karena selanjutnya Lula berdiri, pergi cepat ke tempat di mana ia bisa bernapas. Rasanya mendengar, membayangkan pertemuan pertama Rigel dengan Sky, membuat ia kesulitan bernapas bahkan tangannya sudah gemetar dengan keringat dingin. Althaf menatap heran dengan reaksi kakaknya, sementara Lula terus melangkah, tak hiraukan lainnya hingga dia tiba di luar halaman rumahnya. Dia berpegangan, lalu meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Dunianya tidak bisa berantakan hanya karena Tuan Langit itu muncul dalam hidupnya sekarang.
"Bagaimana ini? Sky tidak boleh tahu mengenai Rigel!" Gumamnya...