Semua menatap Sky yang baru kembali lagi setelah menjawab telepon, mereka yakin tidak salah lihat jika Sky tersenyum walau tipis.
“Ada apa?” tanya Sagara.
Sky melirik adiknya, “what?” malah bertanya balik.
“Kamu tersenyum, apa ada kabar bahagia?” tanya Sagara, coba kembali mengakrabkan dengan kakaknya seperti sebelum Sky pergi, tinggal jauh, terpisah darinya.
“Nope!” dia menolak memberitahu jika alasannya yang tersenyum mengingat bocah tadi yang meniru ucapannya dan tingkah menggemaskannya. Sky tidak terlalu suka anak kecil, merepotkan baginya, tetapi tingkah bocah laki-laki tadi memang nakal. Menjulurkan lidah, bahkan memberi salam perpisahan dengan gerakan tangan kecilnya.
Sky memang menolak memberitahu, tetapi Sagara kembali penasaran saat kakaknya bergumam.
“Kenapa aku harus memikirkannya?!” decaknya.
Sagara sudah siap bertanya, tetapi teralihkan dengan Fayra yang kembali dari toilet, langsung mengajak bicara Felora, “aku bertemu Beauty Influencer sombong itu, yang sempat menolak kerja sama denganku.”
Obrolan mereka tentu menyapa telinga Sky juga Sagara, sedangkan para orang tua sibuk dengan obrolan mereka yang berbeda.
Felora tidak langsung menjawab selain keningnya mengernyit, coba mengingat. “Siapa yang pernah menolakmu? Oh, aku ingat... Maksudmu Sea?”
“Iya, Qailula Sea Zivara... kami bertemu tadi, dia seperti gelisah mencari seseorang.”
Sky langsung mematung, menatap adiknya yang masih terlihat kesal, “nyapa enggak?”
“Enggaklah, buat apa? Kenal juga enggak! Sudah malas duluan, ingat betapa sombongnya pas menolakku!” Fayra mengibaskan rambut panjang berwarna cranberry red-nya itu, “baru dia saja yang menolak tawaran dari aku! Influencer lain malah kesenangan banget diajak kerja sama denganku! Sok cantik!”
“Ih memang cantik lagi!” Felora dengan polos menjawab. Membuat Fayra langsung memberi lirikan tajam, Felora terkekeh, “nyatanya begitu!”
“Ka, mau ke mana lagi?” tegur Sagara ketika beberapa detik kemudian dapati Sky berdiri.
Sky menatap adiknya dan semua mata yang kembali atensi pada dirinya, “toilet,” jawabnya dan berlalu. Aslinya ia ingin memastikan jika Qailula Sea Zivara yang adiknya maksud ialah Lula.
Sky menatap sekitar, “apa mungkin wanita tadi?” pikirnya pada suara wanita yang tadi didengarnya. Tidak asing, ia seperti mengenalnya?
Ia menuju area taman tadi, ke dekat kolam lalu ke arah bocah tadi dibawa pergi. Langkahnya begitu lebar dan cepat, rahangnya terlihat menegang. “Hanya memastikan, tidak lebih dari itu!” yakinnya.
Sky terus mencari, hingga matanya menatap pada sebuah meja dengan beberapa orang di sana. Fokusnya pada bocah tadi yang tengah dipangku oleh seorang wanita seusia ibunya, Sky menahan kakinya untuk berdiri di sana, meneruskan perhatiannya hingga menemukannya.
“Lula...” bisiknya. Matanya memerhatikan lebih detail, pada wajah, senyum, bahkan lekuk tubuh yang agak berbeda. Lebih berisi dan sintal. Selebihnya, Sky memastikan jika memang gadis yang sempat tinggal bersamanya selama sepuluh hari, gadis itu Lula yang sama.
Sky mencari alasan untuk melangkah, menyapanya. Tetapi, pikirannya menentang habis-habisan, “jangan konyol Sky!” ya begitulah. Ia tetap berdiri, sampai melihat seorang pria mendekat.
Pria sekiranya seusianya, matang dan dia merangkul Lula, “kita pulang sekarang, sudah selesai, kan?”
“Iya, Aa...” saut suara lembut itu.
Sky terdiam, mengepalkan tangannya terutama saat bocah itu mengulurkan tangan dan pindah ke pelukan pria itu. Detik itu yang terlintas dari pemandangan nyata di sana ialah... Pasangan serasi, bahagia dengan seorang anak laki-laki yang tampan dan lucu.
Pertanyaannya waktu itu, Lula sudah menikah dan memiliki putra. Terjawab langsung di depan matanya dan Sky tidak menyadari terlalu fokus, rahangnya mengetat seiring giginya saling menekan.
“Ka Sky!” sebuah teguran bersamaan sentuhan dibahunya membuat Sky tersentak, ia menoleh menemukan Sagara yang ternyata menyusulnya. “Sedang apa di sini? Toiletnya sebelah sana, aku tidak lama darimu juga menyusul, tapi aku tidak menemukanmu di sana.”
Sky menatap adiknya, “sebelah mana?”
Sagara menunjukkan arahnya, Sky langsung berbalik menuju toilet. Sagara menggelengkan kepala pelan, tidak langsung mengikuti kakaknya, ia justru menoleh pada arah kakaknya sejak tadi memerhatikan.
“Ada apa dengannya, mengapa memerhatikan keluarga orang lain begitu intens?” bisiknya penasaran.
***
“Sea ayo!” ajak Athaar, menemukan Lula malah menoleh ke arah lain.
Lula memberi anggukan, terutama tidak menemukan siapa pun yang rasanya tadi seperti ada yang tengah memerhatikannya. Dia hanya menemukan pengunjung lain menempati meja di sana, pelayan resto dan dua orang pria yang terlihat punggungnya menjauh.
Ia menghela napas dalam-dalam, kemudian berjalan mengikuti keluarganya. Malam ini mereka diajak Athaar yang sedang bebas tugas, makan malam di luar. Di resto favorit mereka.
“Dammm! Dammm!”
Lula membulatkan matanya lagi saat mendengar Rigel mengulang-ulang kalimat itu. Membuat Athaar dan ibunya menoleh, “apa Rigel?”
“Nini daaaam!” katanya.
Bila Lula hanya bisa menghela napas, mencari cara untuk membuat putranya tidak mengatakan kalimat kasar itu, Althaf—sang adik—malah sudah tergelak.
“Wah benar-benar tidak bisa sembarangan, Rigel sangat mudah meniru!” decaknya.
Menarik atensi kakaknya dan Anggita, “kamu bilang macam-macam ya?”
“Bukan aku, Bu! Sumpah!” Althaf memang tadi pun bilang jika bukan dia, tetapi Rigel meniru dari orang lain.
Sampai di depan, Athaar menyerahkan Rigel pada Lula lagi sementara ia mengambil mobil.
“Rigel, enggak boleh bilang itu ya...” Lula mencoba agar putranya berhenti menyebut kalimat kasar tersebut.
Rigel hanya menatap ibunya, kemudian memeluk Lula dan meletakan pipinya dibahunya. Menguap beberapa kali.
“Sudahlah, tidak apa-apa... Rigel nanti juga lupa, dia tidak paham artinya.”
“Iya, lagian pria tidak bermoral mana yang bisa-bisanya tidak menjaga mulutnya saat depan anak kecil?! Kalau aku ada di sana, sudah pasti kuomeli sekalian!” decak Lula. Tidak tahu jika pria yang baru ia sebut ‘tidak bermoral’ ialah ayah dari putranya.
“Penampilannya mirip bos Mafia, kayak model-model iklan rokok yang muncul tengah malam. Tajam, dingin, mendominasi.” Beritahu Althaf, mengingat wajah pria tadi, “lebih-lebih dari Aa deh kalau lagi marah, bikin segan. Cuman memang kalau aku disuruh pilih skor satu sampai sepuluh soal tampang dan penampilannya, nilainya sembilan koma sembilan, hampir sempurna. Kelakuannya saja yang bikin minus, angkuh dan bau duit.”
Lula tergelak mendengar ucapan adiknya.
Anggita hanya memberi gerakan kepala, “kalian ini, sudah jangan bicarakan orang lain seperti itu.” Tegurnya. Tepat mobil mereka tiba.
Mereka masuk, Althaf duduk di depan, di tengah Lula, Ibu dan Rigel yang sudah mulai rewel. Tangannya memegang ujung bajunya, Rigel menolak sufor dan kalau pun mau, ia hanya cocok dengan soya. Tidak cocok susuu sapi. Memiliki alergi, dan sampai usia dua tahun masih tidak mau lepas asi.
“Nanti di rumah,” Lula memang sedang mengaturnya, agar Rigel mau berhenti.
“Neeeen, Momo! Auuu nen!” Dan Rigel seperti ayahnya, tidak bisa ditolak kemauannya.
Anggita mengambilkan kain khusus untuk menyusui, membantunya memakai, kemudian Rigel berhenti merengek dan anteng setelah mendapatkannya.
Lula mengusap kepala putranya, Anggita memerhatikan, mengulas senyum, “siang tidurnya sebentar,”
“Ya, itu langsung pejamkan mata.” Intip Lula.
“Tadi ada keluarga Lais di sana,” ujar Athaar tiba-tiba, membuat semua orang di sana membisu.
“Kamu melihatnya langsung, Aa?” tanya Anggita pada putranya.
“Pelayan membicarakannya, sambil menyiapkan kejutan. Sepertinya ada yang sedang berulang tahun,” tidak sengaja mendengarnya tadi.
“Karena itu ajak kami buru-buru pulang?” tanya Anggita lagi.
“Sebenarnya mereka juga tidak akan ingat apalagi mengenali kita, kecuali kalau Ayah masih ada. Cuman malas saja kalau harus bertemu, masih sangat menyakitkan buat keluarga kita.”
Saat kakaknya sibuk membahas, Lula mengeratkan pelukannya pada Rigel. Kemudian Althaf meliriknya sekilas. Satu yang terlintas dalam pikiran Lula, berdasarkan ciri-ciri pria yang ditemui Rigel hingga diikuti cara bicaranya...
‘Ya ampun, apa mungkin ada Sky di sana? Dan pria tadi.... tidak mungkin! Dari sekian banyak orang di sana, tidak mungkin Sky yang bertemu dan interaksi dengan Rigel!’ Batinnya.
Selama perjalanan, Lula tidak banyak menanggapi. Begitu tiba di rumah, ia pamit untuk menidurkan Rigel di kamarnya. Dia menunduk, melepas hati-hati, Rigel tidak suka diselimuti.
“Langitnya Momo... bintangnya Momo, I love you, Rigel...” bisiknya, menciumi wajah putranya dengan penuh sayang “Nini sama Wawa Athaar, dan semua keluarga kita sayang Rigel juga.”
Ia memandangi wajah putranya, bulu mata lentik, alisnya yang tertata tebal dan rapi. Parasnya justru seperti anak bule. Lula tahu putranya lebih mendominasi gen dari Sky.
“Kalau Daddy bertemu denganmu, apa dia tidak mengenalimu hm? Padahal kamu sangat mirip dengannya,” bisiknya lagi. Semakin membayangkan suatu hari Sky tahu mengenai dan keberadaan Rigel, ia semakin takut untuk banyak alasan yang sebaiknya bila bisa dihindari saja.
Lula menarik napas dalam-dalam, menyeka air matanya, “lebih baik dia tidak tahu selamanya akan keberadaanmu, Rigel...”
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan pintu membuat Lula segera menyeka air matanya dan terlihat biasa, ia segera membuka pintu dan menemukan Althaf.
“Dek—“
Althaf masuk, “Teh, aku semakin takut membuat Ibu dan Aa kecewa kalau tahu aku akan bergabung di perusahaan Lais!”
Lula tahu kekhawatiran adiknya, “hanya tiga bulan kamu PKL di sana, kan?”
Althaf mengangguk, “ya.”
“Usahakan tiga bulan itu aman, kalau Aa tanya kamu kasih tahu nama perusahaan lain. Sebisa mungkin tutupi.”
“Apa keputusanku salah ya, Teh?” tanya Althaf ragu. Jika adiknya saja begitu, bagaimana dengan rahasia yang Lula simpan dari semua orang, mengenai Rigel yang merupakan keturunan keluarga paling mereka hindari selama ini?
Lula berbalik dan matanya menatap wajah damai Rigel, “tidak, lakukan yang menurut hatimu benar. Karena itu yang Teteh lakukan juga.”