“Morning, Tuan Langit...” bisikan lembut nan manja itu disusul dengan usapan yang berubah sentuhan mesra di leher Sky, merapat berharap dapat perhatian sama dari sang pria.
Sky masih memunggungi, telungkup. Seolah-olah tidak peduli. Selimut abu-abu itu hanya menutupi rendah pinggang ke bawahnya.
“Jangan mengusikku! Ini masih terlalu pagi, Lula!” Peringatan dingin itu membuat sang gadis langsung mematung, kemudian pilih menjaga jarak.
“Sorry...” bisiknya terdengar menjauh.
Menurut, gadis itu langsung memilih turun memunguti pakaiannya yang semalam bertabur disembarang tempat. Ia menghela napas dalam-dalam sambil mendekap pakaiannya, kemudian masuk kamar mandi. Pilih berendam, Sky bisa semakin bersikap dingin bila Lula tetap mengganggunya. Jangan harap ada pagi yang manis di kamar ini, sejak pagi pertama terbangun disisinya, tidak ada sikap romantis seperti dalam film romantis yang kerap Lula lihat. Tentu, mereka melakukannya demi kesenangan semata, saling mengambil untung, memuaskan kebutuhan biologis pria itu. Mereka bahkan bukan pasangan, terbilang baru kenal.
Beberapa saat sunyi, Sky akhirnya mengubah posisi jadi terlentang, dia mendesah sambil menatap langit-langit kamarnya. Selanjutnya duduk, beralih menatap pada pintu kamar mandinya. Gadis yang mengganggunya tadi pasti masuk ke sana.
Ia menyibak selimut, menyusul gadis tadi tanpa pedulikan dengan pakaiannya sendiri. Setiap gerakan Sky jelas diperhatikan oleh gadis yang tengah berendam dalam air hangat juga berbusa. Sky melewatinya, kemudian masuk ke area shower yang dibatasi oleh kaca. Membuat gadis itu bisa melihat tubuh Sky dengan begitu jelas, membuat ia mengingat saat jemari lentiknya menelusuri pahatan sempurna sang semesta dalam bentuk tubuh pria itu.
Pria yang ia anggap sebagai penyelamatnya, tinggal beberapa hari di sini sudah membuat ia tergila-gila padanya. Ia hanya tahu namanya, ‘Sky’ namun lebih suka memanggilnya dengan sebutan ‘Tuan Langit’.
Dia menggigit bibirnya, saat Sky dari balik kaca menatapnya tajam. Alih-alih merasa terintimidasi, justru jantungnya berdebar kuat-kuat. Daya tariknya begitu kuat, hingga Lula menyerahkan dirinya tanpa ragu.
“Kamu tidak mau bergabung denganku?” tanya Lula. Jelas, tidak ada kucing yang akan menolak diberi ikan, bukan? Lula menyamakannya dirinya seperti ikan, pada kucing besar dan gagah seperti Sky.
Sky mematikan shower, kemudian melangkah dan bergabung dalam bathtub. Baru mendudukkan diri di depan Lula, bersandar saat gadis itu berpegangan dengan sisi bathtub lalu bergerak, membuat tubuhnya berada di atas Sky.
Tangan Sky berpindah memegangi pinggang ramping gadis itu, merapatkan diri, lalu memulai dengan awal tautan bibir yang lembut tanpa terburu-buru. Ritme debar yang membawa keduanya pada sentuhan demi sentuhan berikutnya. Lula memeluk kepala Sky, matanya terpejam menikmati, membiarkan bibir dan lidah lihai itu mengusai lehernya dengan menciptakan tanda, menyusul banyak tanda kepemilikan lain di tubuhnya.
Kaca besar dengan pemandangan kota Chicago, jadi latar kegiatan panas keduanya yang tak mengenal waktu, pagi, siang atau bahkan malam-malam panjang yang tercipta.
***
Lula keluar dengan jubah mandinya, Sky sudah berpakaian. Dia keluar kamar mandi lebih dulu tadi setelah satu sesi di bathtub.
Ia menatap makanan sudah tersaji di atas meja, Sky tidak pernah memasak. Entah seberapa kaya pria itu, sebab tinggal di salah satu apartemen mewah di Chicago ditambah selalu ada orang yang datang mengantarkan makanan juga datang untuk membersihkan apartemen.
Lula baru berjalan saat Sky menyerukan suaranya, “Lula,”
Lula berhenti, lalu berbalik, Sky memegang sebuah amplop putih.
“Ambil ini, milikmu!”
Lula mendekat, mengambilnya sembari menebak isinya, “boleh aku buka? Apa isinya Tuan Langit?”
Sudah beberapa kali Sky mencegah gadis itu memanggilnya begitu. Tapi, Lula tetap saja melakukannya seperti sudah jadi panggilan khususnya.
Sky hanya memberi anggukan kecil nan kaku, Lula tersenyum segera membukanya. Menarik beberapa berkas di sana, hingga menemukan Paspor dan berkas lain miliknya serta sebuah tiket atas namanya berada di sana.
Secepat itu, Sky hanya butuh waktu sepuluh hari untuk dapatkannya, milik Lula hilang semua bersamaan dengan seluruh tas miliknya. Awal mula ia bertemu Sky, diselamatkan hingga diberikan tempat tinggal di apartemennya. Bahkan kini satu ranjang dengannya.
“Seperti semua yang sudah kamu minta,”
“Artinya aku harus pergi dari sini?” tanyanya dengan nada pelan, penuh harap jika Sky mau memintanya tinggal.
“Ya, sore ini jadwal pesawatmu. Aku sudah siapkan mobil dan sopir yang akan mengantarmu.” Ujarnya.
Lula menurunkan tangannya, salah satu yang memegang amplop itu mengerat, kemudian menatap Sky, ia ingin sekali mengatakan sesuatu namun lidahnya terasa begitu kaku, terlebih setelah mengatakan dengan dingin, Sky berbalik dan sibuk dengan teleponnya.
Lula terduduk, kemudian merenungi semuanya. Mereka selesai bahkan sebelum memulai, dan belum menamai hubungan ini. Atau memang bagi Sky, ia terbiasa hidup bebas, melihat Lula tidak ubahnya wanita lain yang biasa ia bawa untuk menghangatkan ranjangnya?
Waktu pun semakin dekat dengan kepergiannya, tidak ada yang ingin Lula bawa. Bahkan pakaian yang ia pakai selama tinggal di sana, semua pemberian Sky.
Hari sialnya waktu itu, hampir membuat Lula dalam bahaya jika saja Sky tidak menyelamatkannya.
“Sudah sampai detik-detik terakhir aku di sini, Sky... apa kamu tidak akan memberitahuku nama lengkapmu? Atau nomor rekeningmu, biar aku bisa mengganti semuanya—“
“Tidak perlu melakukan apa pun,”
Lula masih saja belum terbiasa dengan sikap dinginnya, Lula menatap Sky, “oh aku tahu, yang kita sudah lakukan, kamu anggap itu sebagai bayarannya?”
Pertanyaan yang jelas melukai dirinya sendiri, dibanding Sky yang terlihat biasa.
“Mobilmu sudah siap, kamu bisa terlambat.”
Sky sungguh ingin dirinya pergi.
Lula melangkah, membawa satu koper kecil yang entah dari mana Sky dapatkan. Sky meminta semua pakaian pemberiannya di bawa, tak ada yang disisakan.
Lula sudah beberapa langkah, namun kemudian melepas tangan dari koper dan berbalik, langkahnya begitu lebar untuk cepat sampai pada Sky, merangkum wajah, melekatkan tubuhnya sembari mendapatkan ciuman terakhirnya, Sky membalasnya, Lula kemudian menarik diri dan membalas tatapan mata Sky, “aku akan tinggal di sini, bersamamu jika kamu memintaku tinggal. Mencegahku pergi.”
Sky menatap gadis itu, kemudian ia mendorong Lula menjauh darinya, “aku ingin kamu pergi.” Itu jelas penolakan tegas terhadap dirinya.
Lula tersenyum masam, menyeka air matanya sambil menatap lelaki itu, “siapa sebenarnya dirimu, Sky? Cukup hanya dengan waktu sepuluh hari, kamu membuatku menyerahkan diriku, lalu kini membuatku menangis karena menyadari aku tak ubahnya tisu bekas, setelah kamu puas memakainya, kamu buang begitu saja huh?”
“Aku tidak pernah memaksamu, kamu setuju untuk melakukannya.” Mempertegas. Sudah tahu, mendengar kalimat itu dari mulutnya langsung sungguh membuat Lula bagai dilempar ke tempat sampah.
Lula mengangguk kecil, “kuharap kita tidak pernah bertemu lagi, Sky. Kalau pun ternyata semesta mempertemukan kita lagi, saat itu tiba, bukan aku yang akan mengejarmu, tetapi kamu sendiri yang akan datang padaku, berusaha mengambil tempat dalam hidupku.”
*Jerat Cinta Sang Pewaris*