9 : Lo jalang dia gigolo, anggap aja intermezo!

1071 Kata
Gue terbangun dengan keadaan tubuh pegal remuk redam dengan itu gue ngilu.  Beginikah rasanya diperkosa?  Tapi jujur kalau gue ingat-ingat lagi gak jelas juga sih siapa merkosa siapa.  Yang jelas adalah gue melakukannya dengan orang yang salah! Anjrit!! Mana habis melakukan itu dia langsung kabur begitu saja, kan gue gak bisa melampiaskan kekesalan padanya!  Tapi perasaan semalam main enak banget.  Mengapa Rafa begitu pakar memuaskan gue?  Apa dia telah biasa memuaskan nafsu tante-tante girang yang memeliharanya?  Lihat saja tampilannya yang dandy, mana mungkin supir kere sepertinya mampu membeli barang-barang branded yang dikenakannya? Aduhhhh, mengapa gue jadi kepikiran supir kampreto itu?  Lantas bagaimana dengan urusan keperawanan gue yang hilang ini?!  Bagaimana pertanggungjawaban gue pada Om?  Haizzzzz, ini gegara usulan laknat obat perangsang dari Cyndi.  Dasar Cyndi gilak! Bagai tersambung khusus alarm gue pada sohib gue satu itu, dia menelpon gue. "Hei Say, bagaimana malam pertama lo?  Bikin nagih kan?" "Hmmmm." "Kok hmmm doang, cerita dong.  Timun dia besar gak?" tanya Cyndi kepo. Gue masih ingat jelas milik si kampreto, memang mengesankan. "Besar banget.  Bagus.  Gagah.  Indah," jawab gue tanpa sadar. "Wow, o em ji!  Trus, trus, trus?  Goyangannya hot?  Tahan lama?"  Cyndi sohib gue yang jalang semakin penasaran. Gue juga masih terbayang gerakan si kampreto yang begitu b*******h dan ekspresi wajahnya yang sensual habis.  Trus kita main lamaaaa banget.  Pantas itu gue ngilu begini! 'Top abis.  Kalah deh bor sama baterai energizer."  Komentar gue membuat Cyndi semakin belingsatan.  "Gile!  Jadi, apa lo bisa mengimbanginya?  Ini yang pertama buat lo, sudah bertemu yang maestro gini!" "Jelas bisalah!  Berkat obat perangsang yang lo kasih." Cyndi terkekeh m***m.  "Bersyukurlah lo punya teman b***t kayak gue, Lun." Bersyukur?  Not today, esmeralda! "Cyndi, gue amat bersyukur sekali punya teman kayak lo yang sukses menyesatkan gue hingga gue terbujuk minum obat perangsang.  Jadi saat supirnya datang untuk memberitahu gue bahwa Om tak bisa berkunjung, dengan tanpa malunya gue tarik supir kampreto itu masuk ke apartemen gue lalu gue paksa dia supaya mau ngeseks aama gue." Gue menghembuskan napas panjang setelah mengucapkan kalimat yang panjangnya kayak rel kereta api itu.  Cyndi terdiam cukup lama di ujung telpon sana.  Masa dia pingsan? "Cyndi .... ?  Hellow?" Tuk, tuk.  Gue mengetuk ponsel gue untuk menyadarkan jalang itu. "WHAT THE f**k!!" teriaknya kencang hingga menyebabkan gendang telinga gue bergetar. "Jadi lo melakukan yang pertama kali sama supir si Om?!" "He-em." "Wait, wait, ini si supir yang gantengnya gak kira-kira itu kan?  Yang tampilannya dandy habis itu kan?" "He-em, kayaknya dia piaraan Tante-tante girang deh.  Mainnya piawai gitu." Gue mendengar Cyndi berkecak kagum.  "Jadi pengin nyoba ..." Brengsek!  Mengapa gue jadi panas mendengar gumaman Cyndi. "Hei b***h!  Lo mesti tanggungjawab!  Bagaimana sekarang gue mesti ngomong hal ini pada Om?!" bentak gue gusar. "Ngapain ngomong sama Om?!  Lo voloss amat sih, Lun!" cemooh Cyndi. "Lalu bagaimana gue harus menjelaskan tentang malam spesial kami padahal gue udah gak perawan lagi?" "Luna, maaf gue ngatain lo kali ini, tapi lo emang t***l!  Mana tahu Si Om lo masih perawan, tadinya.  Pasti dia mikirnya cewek matre kayak kita ini sudah gak virgin anymore!" Perkataan Cyndi menusuk tapi benar.  Jadi gue yang terlalu kepo.  Cuma satu hal lagi ... "Tentang si supir .. ." "Apa lagi yang perlu diribetin, Lun?  Lo jalang dia gigolo, anggap aja intermezo!  Gak ada yang dirugiin kan?" sergah Cyndi.   ==== >(*~*)   Enak saja Cyndi ngomong begitu.  Bagaimana kalau si supir kampreto buka suara pada bosnya?  Mampus dah gue!  Karena kekhawatiran itulah, gue menghubungi supir kampreto dan mengajaknya bertemu di cafe.  Dia datang dengan dandanan dandynya seperti biasanya. Astaga kenapa gue ternganga menatapnya kagum?  Apa gegara setelah ena-ena dengannya, otak gue jadi korslet?!  Gue terus memandangnya hingga tak sadar si supir kampreto telah berdiri di depan gue. Ctek!  Ctek! Dia menjentikkan jarinya didepan wajah gue. "Hentikan pandangan m***m lo ke tubuh gue!" desis supir kampreto itu ketus. Jiahhhhh!! Mulut berbisa supir kampreto itu menyadarkan gue akan kenistaannya. "Hah?!  Gue?  Menatap lo begitu?  Mimpi lo!" bantah gue munafik. Gue pikir dia bakal membalas seperti biasanya, tapi supir kampreto itu malah meletakkan kedua tangannya di lengan kursi gue, kanan dan kiri, lalu memajukan kepalanya mendekati wajah gue.  Sepertinya posisi kami terlalu intim ya?  Pipi gue memanas memikirkannya. "Mau apa lo meminta gue kemari?" tanyanya penuh penekanan. Kenapa juga lidah gue jadi kelu?  "Du .. duduk dulu, disitu!"  Gue menunjuk kursi di seberang gue. Dia duduk, tapi disamping gue.  Persis di sebelah gue. "Kenapa gak disitu?" protes gue. "Apa ada larangan duduk disini?" sindirnya gak terima. Ish, sutralah.  Malas debat dengannya.  Gue amat membutuhkan kerjasamanya. "Hmm .. Rafa, gue ingin bicara tentang yang terjadi semalam." Dia hanya diam namun matanya yang bermanik biru menatap gue lekat.  Darimana dia mendapat darah blasterannya?  Biasanya turunan bule ajib begini kan gak bernasib kere.  Kecuali maminya korban perkosaan bule mabok.  Haishhh, mengapa pikiran gue jadi kemana-mana?  Fokus Luna.  Fokus! "Lo ngerti kan maksud gue?" "Enggak!" Sial, supir kampreto ini memang selalu mempersulit gue. "Maksud gue yang terjadi malam itu, lupakan saja!" Dia mengangkat sebelah alisnya dengan gaya arogan. "Yang mana yang harus gue lupakan?  Saat lo menyambut gue dengan lingerie transparan lo?  Atau ketika lo menarik gue masuk kedalam apartemen?  Ehm, dikala lo menelanjangi gue lalu memperkosa gue?" sarkas cowok itu. Wajah gue pasti udah gak keruan ekspresinya.  Supir kampreto ini berhasil memukul harga diri gue telak. "Semuanya!  Semuanya lupakan!  Dan satu hal lagi,  gue gak merkosa lo!" bentak gue sebal. Ups!  Beberapa pengunjung cafe langsung menatap gue horor.  Astaganaga malunya!  Gue spontan menyembunyikan wajah gue ke pundak supir kampreto itu.  Untung dia diam saja dan gak menoyor kepala gue tuk menjauh darinya. "Gue bisa melupakannya dengan syarat ..."  Supir kampreto itu berbisik di telinga gue, dia sengaja menggantung ucapannya karena ingin mengetahui respon gue.  Asemmm, pasti dia berniat memeras gue.  Dasar gigolo! "Lo minta berapa?  Tapi ingat gue gak punya banyak," sahut gue to the point. Dia tersenyum licik.  "Tapi lo butuh biaya untuk mengoperasi otak gue supaya bisa melupakan memori malam panas itu.  Lo sanggup?!" Anjritttt!! Ternyata dia mengerjai gue. "Dasar otak kotor!  Oke, kalau  lo enggak bisa melupakan malam itu, tutup mulut lo Dude!" desis gue tajam. "Mengapa lo enggak menawarkan uang tutup mulut?" sindirnya sinis. "Lo minta berapa?" tanya gue ketus.  Memang berurusan dengan kucing satu ini gak mudah! "Bukan berapa tapi apa," katanya licik. "Maksud lo?" "Bagaimana kalau gue minta lo melayani gue di ranjang sebagai ganti jasa tutup mulut?" What the ... ! Dasar gigolo gila! Kucing jejadian! Supir kampreto!   ==== >(*~*) Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN