6. Pendekatan 1

1829 Kata
Mari pada akhirnya berangkat menuju tempat makan siangnya dengan Alvin. Ia beranjak menuju parkiran dengan berbagai pikiran yang bersarang di dalam benaknya. "Pake liptint gak ya, atau lipbalm?" Ia begumam pelan seraya menimbang-nimbang hal itu, "tapi ntar dikira emang sengaja mau tampil beda di depan Mas Alvin lagi!" Perdebatan di dalam benaknya masih terus berlangsung bahkan setelah dia sudah berada di parkiran motor. Lalu kepalanya mengarah pada parkiran yang kebetulan sepi tidak ada orang, hanya ada barisan motornya saja. Hal itu dengan segera dia manfaatkan untuk memoleskan liptint pada bagian dalam bibirnya sambil memanfaatkan spion motor untuk berkaca. "Waktunya berangkat, gapapa lah pake liptint, udah legal juga. Bukan berarti pengen terlihat wah depan calon suami." Dalihnya berusaha menyemangati diri sendiri, karena sejatinya wanita harus tampil cantik di manapun dan kapanpun karena kita itu spesial. ___ Alvin sudah tiba di tempat makan yang menjadi saksi bisu pertemuan pertamanya dengan Meri. Ia juga telah memarkirkan mobilnya di depan, selagi menunggu kedatangan gadis itu ia telah berinisiatif untuk memesankan makanan seperti sebelumnya. Karena dia tahu bahwa Meri bukan tipe gadis yang suka pilih-pilih makanan, selagi makanan itu enak maka dia akan memakannya dengan lahap. Sangat menggemaskan baginya, jadi pengen dibawa pulang. Tak lama kemudian Alvin dapat melihat sosok Meri yang baru saja sampai di tempat parkir depan tempat makan, membuatnya secara otomatis langsung membubuhkan sebuah senyum khas pipi lesungnya yang manis. Bahkan karena terlalu manis, mbak-mbak pelayan yang kebetulan baru saja datang membawakan makanan pesanannya sampai tersipu malu karena terpesona. Memang pesona duda muda nan tampan saat ini terlalu luar biasa untuk ditolak, tak terkecuali oleh pelayan rumah makan itu. "Loh mbak, saya cuman pesan dua makanan, dua dimsum, sama jus buah." Ralat Alvin begitu melihat mbak-mbak pelayan tadi telah meletakkan empat makanan sekaligus di atas meja. "O-oh iya maaf Mas, saya lupa!" Mbak-mbak tadi dengan segera mengambil kembali dua makanan yang seharusnya menjadi milik pengunjung di sebelah tempat duduk Alvin, salahkan pria itu yang tersenyum manis tidak tahu waktu sehingga membuat pelayan tempat makan tersebut sampai salah tingkah dibuatnya. "Meri di sini!" Alvin dengan sengaja memanggil Meri yang baru memasuki rumah makan agar gadis itu segera mendekat ke arahnya. Kejadian dia dilirik oleh pelayan rumah makan, kafe, atau bahkan restoran bukan sekali dua kali telah dia dapatkan. Hal ini sudah terlalu sering terjadi sehingga membuatnya tidak habis pikir, memang dia sadar diri bahwa pesonanya sangat sulit untuk diabaikan. Terutama senyum manisnya karena dia memiliki lesung pipi layaknya Afgan. Yah kurang lebih tampangnya sebelas duabelas seperti Afgan lah yah, dengan sedikit jambang yang menghiasi dagunya karena dia belum sempat bercukur, namun malah menambah daya tariknya. Bedanya hanya dia tidak memakai kacamata, kecuali saat berada di depan komputer atau laptop. Itupun hanya memakai kacamata anti radiasi, bukan minus. Itulah salah satu alasan dia merasa sangat optimis bahwa Meri tidak akan menolaknya untuk menjadi calon suami meskipun statusnya seorang duda dan tahun ini telah menginjak usia kepala tiga. Dia cukup percaya diri dengan kualifikasi yang dia miliki sebagai seoang duda tampan, mapan, idaman, dan menantang di mata para wanita. Meri terlihat cukup canggung saat Alvin memanggil namanya dengan cukup keras, membuat beberapa pengunjung menoleh ke arahnya. Ia hanya bisa menundukkan kepalanya pelan menahan malu, dan dengan cepat berjalan ke arah banku yang telah ditunjuk oleh Alvin. Beruntung dia selalu memakai masker saat menaiki motor agar wajahnya tidak terkena debu dan polusi udara, apa lagi sampai belang karena kepanasan, sehingga dia tidak begitu malu. "Panas ya di luar, minum dulu ini!" Dengan penuh perhatian Alvin mendorong segelas jus alpukat di depan Meri yang baru saja mendudukkan dirinya di depannya. Pelayan tadi yang menyaksikan bagaimana cara Alvin memperlakukan gadis di depannya dengan sangat perhatian menjadi terdiam. Lalu dengan segera memberikan makanan pad pengunjung yang lain, seakan baru saja merasakan patah hati tak berdarah dalam hatinya. Jika diibaratkan, baru jadi gebetan sudah punya gandengan, sungguh kasihan. "Makasih Mas." Meri segera melepaskan masker yang dipakainya dan meminum jus alpukat di depannya hingga tersisa setengah gelas. Hal itu tak luput dari pandangan Alvin yang menatap gadis itu dengan senyum yang masih mengembang. Membuat Meri berdehem singkat karena merasa canggung ditatap dengan begitu intens oleh lawan jenisnya. Oleh sebab itulah dia tanpa sadar hampir menghabiskan jus alpukat di tangannya sebagai pengalihan rasa salah tingkah. "Saya pesenin jus lagi ya." Tanpa menunggu persetujuan dari Meri, Alvin langsung melambaikan tangannya ke pelayan tadi dan memesan jus alpukat untuk Meri. Tindakan spontan Alvin padanya membuat gadis itu merasa tidak enak sendiri, dia baru datang dan langsung saja menghabiskan segelas jus alpukat seakan-akan baru saja berpuasa seharian penuh. "Harusnya gak usah pesen lagi Mas, ini masih ada kok!" Sahut Meri yang masih merasa tidak enak sendiri. 'Udah ditraktir, minumnya dua gelas sekaligus. Bagus Mer, bagus, lanjutkan!' Pikirnya merutuki diri sendiri, meski opsi untuk makan sepuasnya sepertinya juga bukan ide yang buruk untuk dilakukan setelah dipikir-pikir ulang olehnya. "Udah gak apa-apa, saya ikhlas kok. Ikhlas banget malah, lagian alpukat bagus buat kesuburan." "Kesuburan?" Spontan Meri mempertanyakan maksud perkataan pria itu yang tiba-tiba menyahut mengenai kesuburan. 'Emang minum jus ada hubungannya ya sama kesuburan?' "Bukan apa-apa, jangan terlalu dipikirkan. Nanti kalau sudah menikah saya bakal rajin stok buah-buahan yang banyak vitaminnya seperti alpukat, biar cepat membuahkan hasil." Untuk kali ini Meri tidak bisa menahan diri untuk tidak terbatuk pelan, ia sangat membenci pemikirannya setelah mencoba mencari-cari melalui ponsel pintarnya mengenai manfaat buah alpukat. Salahkan saja rasa penasarannya yang tinggi hingga membuatnya yang awalnya sangat cuek dengan mengetahui manfaat buah-buahan menjadi tergugah untuk mencarinya di internet. Dan dia cukup memahami untuk saat ini apa maksud dari kata 'kesuburan' yang telah diucapkan oleh Alvin. 'Aku aja masih kuliah, kenapa dia mikirnya udah sejauh itu sihhh. Tolong lah masih belum siap jadi Mama muda kalo belum lulus kuliah!' Batinnya menjerit tertahan. Melihat reaksi malu-malu dari Meri malah membuat Alvin semakin ingin menggodanya. Sungguh jangan berpikiran buruk bahwa dia adalah om-om yang suka menggoda daun muda, tidak ada yang melarang seorang pria untuk sekedar menggoda tunangannya sendiri. Dalam artian hanya sekedar menggoda, tidak lebih karena dia harus bersabar selama satu bulan ini. "Silahkan dimakan dulu makanannya Mas, nanti keburu dingin!" Meri yang berusaha mengalihkan pokok pembahasan dan lebih memilih untuk menyantap makanannya agar tidak salah tingkah. "Oh iya, gara-gara terlalu fokus liatin kamu saya jadi lupa makan." Suara tawanya yang renyah terdengar cukup merdu untuk didengar. Meri hanya bisa tersenyum canggung, sampai saat ini dia masih belum bisa membiasakannya diri dengan kehadiran sosok Alvin yang terlalu tiba-tiba di dalam kehidupannya yang biasanya gersang tanpa pemilik hati. Rasanya sangat sulit untuk dijabarkan mengingat status mereka bukan lagi ala-ala remaja yang baru saja berpacaran tapi sudah memanggil ayah bunda, lalu bisa putus kapan saja, dan viral di sosial media. Hubungan mereka saat ini adalah sepasang pria dan wanita yang bisa dikatakan sudah menginjak usia lebih dari dua puluh tahun, dengan status telah bertunangan yang bulan depan akan menikah. Bukan sekedar hubungan kaleng-kaleng yang biasa menebar janji, berpacaran lama tapi nikahnya sama yang lain. Meski ia sebenarnya juga ingin melewati fase-fase itu, agar dia tidak begitu lugu dalam menjalin sebuah hubungan. Seperti saat ini, dia sangat kaku bahkan untuk sekedar berbicara dengan pria itu rasanya dia tidak sanggup untuk memandang langsung tepar kedua mata lawan bicaranya. Ia selalu memalingkan pandangan karena merasa tidak percaya diri ketika berhadapan dengan pria itu, apa lagi Alvin sering kali menatapnya dengan tatapan yang intens. Sungguh membuat salah tingkah. Mereka makan dalam diam, sesekali Alvin mencuri pandang pada Meri secara terang-terangan. Tiap kali memandang bagaimana cara gadis itu makan, tak luput sebuah senyum merekah terkembang di bibirnya. 'Senyum pipinya itu loh, bikin deg-degan aja!' Gumam Meri yang merasa dadanya mulai berdegup kencang. 'Gak mungkin aku jatuh cinta secepat ini kan? Ini gara-gara gugup pasti, mana ada jatuh cinta padangan ketiga. Halu banget!' "Jangan gugup Meri, saya gak gigit kok. Dari Kemarin saya perhatikan kamu selalu gugup tiap di dekat saya, mulai hari ini biasakan rileks ya biar gak canggung lagi." Alvin yang sudah makan kembali memfokuskan pandangannya pada Meri, menatap gadis itu dalam. Tak lama kemudian Meri juga sudah menyelesaikan makannya, dan alhamdulilah dia sudah kenyang sehingga tidak perlu memperhatikan masalah perut lagi. "Makasih Mas makanannya." "Iya sama-sama," Wajah Meri seketika memerah padam saat tangan Alvin memegang tangannya yang berada di atas meja. Membuat gadis itu menyesal tidak buru-buru menaruh tangannya di bawah meja saja agar tidak sampai terjadi adegan pegang-pegangan tangan di tempat umum seperti saat ini. "Mas..." "Hmm?" Tak menjawab, namun jelas kegelisahan memenuhi wajah Meri saat ia berulang kali menatap sekelilingnya takut bahwa tindakan mereka akan diperhatikan oleh orang lain. Juga sesekali ia menatap bagaimana tangannya digenggam oleh tangan besar dan hangat Alvin yang saat ini melingkupi punggung tangannya. "Gak perlu khawatir, gak bakal ada yang memperhatikan. Kamu cukup fokus lihatin saya, biasakan memandang tepat kedua mata saya saat kita berbicara." Meri yang sedari awal memang tidak pernah bisa menatap lebih dari beberapa detik saat berbicara dengan pria di depannya menjadi bimbang. Antara mencoba menatap balik dengan rasa malu dan gugup, atau tetap berusaha mengalihkan pandangannya. Namun setelah menghela napas panjang, ia mencoba menatap kedua mata berwarna hitam kecoklatan itu meski tak bertahan lama karena dia seakan terhisap oleh tatapan itu. Membuat dirinya tidak sanggup menatapnya jauh lebih lama lagi. Suara tawa renyah itu kembali terdengar lagi dari bibir cipokable Alvin, ia tak kuasa menahan tawa ketika melihat bagaimana sosok Meri yang sepertinya sedang berusaha keras untuk berani menatapnya secara langsung dalam jangka waktu yang lama. Membuatnya sangat gemas dan ingin membawa gadis itu untuk dikarunginya. "Yaudah untuk sekarang gak masalah, tapi nanti coba dibiasakan ya Sayang." 'Astaga, gak salah denger kan? Dipanggil Sayang? Demi apa? SAYANG?' Jika saja saat ini Meri sedang berada di kamarnya, maka dia tidak akan ragu untuk berteriak sekencang-kencangnya sambil menenggelamkan kepalanya pada bantal. Tapi masalahnya saat ini dia tidak bisa melakukan hal itu di tempat umum, sehingga hanya bunyi debaran jantungnya saja yang berdetak kencang seakan tak tahu diri, membuatnya hampir merasa seperti jantungan. "Iya Mas." "Yaudah, kamu sebentar lagi ada kelas kan? Oh iya ini aku ada uang jajan buat kamu." Tanpa aba-aba Alvin tiba-tiba memasukkan beberapa lembar uang berwarna biru ke dalam tas milik Meri. Yang mana hal itu membuat Meri langsung melotot kaget dan dengan segera mengambil uang tersebut untuk dia kembalikan pada pria itu. "Gak usah Mas, saya gak mau dikasih uang jajan kayak gini, saya bukan cewek matre!" "Yang bilang kamu matre siapa? Udah ini buat kamu jajan, anggap aja saya lagi latihan ngasih uang jajan buat kamu. Kalau untuk sekarang gak apa-apa ya dikit-dikit dulu, nanti kalau udah sah baru kamu saya kasih pegang PIN sama ATM saya buat belanja." Posisi tangannya saat ini sedang digenggam oleh Alvin di atas meja ketika dia akan mengembalikan uang jajan pemberian pria itu. Ditambah kata-kata Alvin tadi malah membuatnya Meri merasa kalang-kabut dalam pikirannya. Debaran di jantungnya semakin berdebar keras, membuatnya ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya karena rasa gugup yang sudah diambang batasnya. Perasaannya saat ini terlalu sulit untuk dijabarkan dengan kata-kata, karena rasanya sungguh luar biasa untuk membuatnya tidak sanggup untuk berkata-kata lagi. To be Continued....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN