7. Video Call

1830 Kata
Kelas telah berakhir, Meri tak ingin membuang-buang waktu dan segera beranjak dari kelasnya untuk segera pulang. Karena sepanjang kelas berlangsung tadi, dia merasa mengantuk saat mendengarkan dosen berbicara di depan. Beruntung dia membawa botol minuman dan segera menegaknya begitu keluar dari kelas agar matanya sedikit tercerahkan saat menaiki motor, karena tidak baik untuk menyetir dalam kondisi mengantuk seperti saat ini. Meri juga menyempatkan diri untuk ke mushola dan sholat ashar sebentar karena sudah hadzan, agar di rumah dia bisa langsung tidur dengan nyenyak. Setelah sedikit merasa lebih segar setelah wudhu dan sholat, Meri segera ke parkiran motornya. Ia memakai maskernya terlebih dahulu sebelum memakai helm miliknya. Berapa temannya yang juga berada di parkiran menyapanya saat mereka pulang terlebih dahulu darinya, sementara Meri sendiri hanya bisa tersenyum pelan sebagai basa-basi karena mereka memang tidak begitu akrab. Meri menjalankan motornya keluar dari area parkir kampus, lalu entah apa yang membawanya. Saat ini dia kebetulan melewati Fakultas Hukum, yang mana merupakan tempat Alvin mengajar sebagai dosen tidak tetap. Awalnya dia ingin bersikap biasa saja, karena toh dia hanya sekedar lewat, dan tidak ada yang salah. Namun belum selesai dia berpikir demikian, saat kedua matanya menatap sebuah pemandangan yang cukup membuat Meri agak terkejut. Di samping mobil dia melihat sosok Alvin saat ini tengah berbincang dengan seorang mahasiswa, entah apa yang keduanya lakukan dalam jarak sedekat itu, meski dia juga melihat adanya sebuah dokumen yang dibawa oleh pria itu. Hanya saja dia merasa kurang nyaman di dalam dirinya, membuatnya tanpa sadar mengegas motornya dan melaju lebih cepat dari kecepatan sebelumnya. 'Jangan-jangan dia p****************g lagi selama ini. Apa lagi tampangnya kan lumayan, pasti dia banyak godain pada dosen muda dan mahasiswinya sendiri. Astaghpirullah kok ngeri!' Pemikiran seperti itu secara spontan muncul dalam benak Meri, membuatnya dengan segera menggetok helmnya sendiri karena kesal dengan pikirannya. 'Amit-amit jangan sampe punya laki kayak gitu nantinya, kan aku maunya nikah sekali seumur hidup. Gamau jadi janda gara-gara ditinggal macem-macem, amit-amit!' Entah sudah berapa kali dia menggetok helmnya sendiri ketika pemikirannya masih dapat merekam dengan jelas interaksi antara Alvin dengan mahasiswinya. "Males ah mikirin Om-Om, belum juga nikah udah overthinking jadinya." ___ Setelah sampai di rumahnya Meri segera menaruh motornya dan masuk ke dalam rumah untuk mengucapkan salam, namun tak ada suara yang menyahutinya. Membuat gadis itu hanya mengangkat kedua bahunya tidak peduli, karena pemikirannya saat ini hanya tertuju pada kasurnya yang nyaman dan ingin segera dia keloni. Tak lupa dia mengunci pintu kamarnya terlebih dahulu untuk menghindari acara banjir seperti yang dia kira saat terbangun tadi pagi. Mamanya memang terlalu luar biasa untuk membangunkannya, karena beliau paham hanya dengan kata-kata biasa tidak akan mampu membuatnya terbangun secara total. Sehingga inisiatif menyiramnya adalah pilihan terbaik yang bisa diambil mamanya. Meri segera menaruh tasnya dan melemparkan tubuhnya di atas kasur miliknya yang empuk. Memang tidak seempuk kasur di hotel berbintang, namun tetap terasa nyaman. Meski kesiangan dia masih sempat untuk membersihkan kamarnya walau tak begitu rapi, seperti selimutnya yang dia letakkan di balik bantal agar tidak terlihat berantakan, sungguh ide yang sangat kreatif. Namun setelah bebrapa saat, Meri masih saja berguling-guling di atas kasurnya, membuat bedcover kasurnya kembali kusut. "Kok malah keinget sama Mas Alvin sih, oh iya duitnya belum aku lihat!" Meri dengan segera berseru ketika teringat akan uang jajan pemberian Alvin tadi siang. Pada saat itu ketika dia mengembalikannya Alvin langsung menolak dan meletakkannya kembali ke dalam tasnya yang ia taruh si atas meja. Membuat gadis itu tak bisa berbuat apa-apa. Dan hingga saat ini dia sama sekali belum melihatnya, memperdalam rasa penasaran Meri akan jumlah uang tersebut. 'Apa gue udah resmi jadi gadis simpanan Om-Om sekarang?' Setelah berhasil menemukan gulungan uang berwarna biru yang berada di dalam tasnya, Meri dengan segera menghitung jumlah uang tersebut. Gadis itu masih terheran hingga saat ini, tidak mengira bahwa Alvin adalah tipe orang yang semurah hati itu untuk memberikan uang jajan padanya secara cuma-cuma. Padahal mereka juga baru saja kenal hitungannya, apa tidak terlalu cepat pikirnya. "Ada 10 lembar," emang gak terlalu besar. Tapi juga gak dikit untuk ukuran mahasiswi yang jarang pegang uang jajan seperti dirinya. "Apa dia tadi asal aja ambil duitnya kali ya?" Sibuk dengan pemikirannya sendirian, suara telepon miliknya yang berdering tiba-tiba membuat Meri dengan segera mengangkat panggilan telepon tersebut. Kebetulan sekali saat ini yang menelponnya adalah sosok Alvin itu sendiri, dia juga lupa mengubah nama kontak pria itu hingga saat ini. Sehingga nama yang tertera di panggilan teleponnya saat ini masih "Calon Suami". 'Assalamualaikum calon istriku!' Baru saja dia mengangkat panggilan telepon tersebut, Meri sudah dibuat mengelus d**a karena mendengar panggilan dari Alvin padanya. Ia tidak paham lagi harus menjawab seperti apa, jelas tidak mungkin menjawab hal yang serupa seperti panggilan pria itu. "Walaikumsalam Mas." 'Tadi kamu lewat depan FH ya?' Meri yang mendengar hal itu spontan menjauhkan panggilan telepon tersebut dari telinganya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pria itu mengetahui kalau dia lewat Fakultas Hukum. "Kebetulan aja jalan samping fakultas ditutup Mas, jadi lewat sana." 'Tiap hari lewat FH juga saya gak masalah kok, malah seneng. Soal yang tadi kamu jangan salah paham ya, waktu di kampus tadi memang sedang ada mahasiswi yang bertanya mengenai proposal dia kepada saya.' jelas Alvin yang lagi-lagi membuat Meri merasa tidak paham lagi bahwa pria itu akan menjelaskan hal itu tanpa dia menyinggungnya sama sekali. "Saya gak masalah kok, Mas gak perlu khawatir. Saya cuman kebetulan lewat aja." Jawab Meri berusaha untuk sebisa mungkin bersikap biasa saja, bahkan terkesan cuek. 'Padahal saya berharap kamu benar-benar cemburu, makanya saya buru-buru menjelaskan agar kamu tidak salah paham dan menilai saya buruk.' Entah mengapa perkataan Alvin yang saat ini terdengar terlalu jujur membuat Meri merasa ada yang aneh dalam dirinya. Ia seakan tidak bisa menahan ekspresi wajahnya yang mulai memerah, juga kedua sudut bibirnya yang terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman. Padahal pria itu hanya mengatakan hal yang biasa saja, namun sanggup membuat Meri yang pada dasarnya sangat minim berpengalaman dengan lawan jenis merasa panas dingin. "Saya sama sekali gak kepikiran ke arah sana kok Mas, jangan khawatir." Perkataan Meri saat ini benar-benar terbalik dari apa yang dia pikirkan sebelumnya, padahal dia sempat berpikir bahwa pria itu mungkin adalah p****************g. Tapi dia tidak mungkin mengatakan hal itu secara terang-terangan di depan orangnya, karena itu akan cukup memalukan. 'Baiklah kalau begitu, kamu hari ini ada di rumah?' "Iya Mas," 'Alhamdulillah kalau begitu, sebenarnya saya ingin antar jemput kamu saat ke kampus. Soalnya kita kan ada di satu kampus yang sama, tapi kalau kamu tidak mau saya juga tidak bisa memaksa.' Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Yang mana membuat Meri merasa bimbang harus berkata apa, di satu sisi memang dia ingin merahasiakan hubungannya dengan Mas Alvin selaku dosen di depan umum. Karena untuk hubungan antara dosen dan mahasiswa dia masih tidak siap untuk mempublikasikannya, paling tidak sampai dia lulus kuliah. "Maaf Mas," Meri tidak tahu lagi harus menyahuti seperti apa, antara rasa tidak enak sendiri dan juga bimbang dalam hatinya akan hubungan ini. 'Gak perlu minta maaf, bukan salah kamu. Saya paham mengapa kamu belum siap untuk mempublikasikan hubungan kita, kamu tidak ingin menjadi bahan pembicaraan karena berhubungan dengan seorang dosen. Jangan terlalu dipikirkan ya, saya sama sekali tidak masalah.' "Paling tidak tunggu sampai saya lulus kuliah Mas," entah mendapat dorongan pikiran dari mana Meri sampai berani mengatakan hal itu pada Alvin secara langsung. 'Saya paham.' Hening selama beberapa saat, tak ada lagi pembicaraan antar keduanya. Meri yang tidak tahu lagi harus berkata apa untuk menyahuti pria itu, sementara Alvin sendiri juga masih sibuk dengan pemikirannya sendiri. Saat Meri masih terdiam, tiba-tiba panggilan telepon w******p miliknya berubah menjadi permintaan untuk beralih ke video call. Jangan tanyakan bagaimana reaknya saat ini, panik jelas dapat dia rasakan dalam dirinya. Sama sekali tidak siap saat pria itu tiba-tiba mengalihkan panggilan biasa ke video call. Apa lagi dia juga belum cuci muka sama sekali sejak kembali ke rumah, meski dia sudah wudhu terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Namun tetap dia merasa buluk saat ini untuk menerima panggilan video call secara tiba-tiba seperti ini. Dengan menghela napas panjang, Meri pada akhirnya menerima pengalihan video call tersebut dengan perasaan tak menentu dalam dirinya. Meri saat ini langsung saja menenggelamkan sebagian wajahnya ke dalam bantal, hanya menampakkan mata ke atas untuk diperlihatkan dalam panggilan video call tersebut. Perasaannya benar-benar tak menentu, gugup bercampur deg-degan. "Kenapa Mas?" 'Pengen liat wajah kamu aja, kenapa cuman setengah wajahnya?' "Gak apa-apa kok," jawab Meri tetap berusaha sebiasa mungkin, meski debaran jantungnya tidak bisa dia bohongi tengah berpacu kencang. 'Gugup ya? Kamu pernah video call dengan lawan jenis sebelumnya?' Dengan pelan Meri menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Alvin. Hal itu malah membuat pria itu menyinggingkan seulas senyum manisnya yang terlewat manis, menyebabkan perasaan Meri semakin tak menentu. 'Kok bisa ada Om-Om semanis ini sih, astaga jantung diem bentar bisa gak sih. Eh jangan diem ntar mati, tenang bentar maksudnya jangan rusuh!' batin Meri yang saat ini benar-benar tak karuan rasanya. Entah bagaimana bisa damage yang ditimbulkan dari senyum manis pria itu seakan mampus melelehkan gunung tinggi di dalam hatinya. Membuat pertahanannya secara perlahan mulai runtuh, padahal ini baru beberapa hari sejak mereka bertemu. Terlalu diri untuk bisa jatuh secepat itu bagi Meri. Alvin tertawa renyah di seberang sana, melihat bagaimana reaksi Meri yang tampak salah tingkah. Terlihat sekali bahwa dia tidak salah pilih, benar-benar tipe gadis impiannya. Masih muda, cantik, lugu, polos, dan tentunya tidak pernah menjalin hubungan dengan pria manapun selain dia. Nikmat mana lagi yang dia dustakan? 'Ayo perlihatkan wajahnya, saya ingin melihatnya.' Meri hanya bisa menggelengkan kepalanya semakin merasa salah tingkah. 'Tolong dong itu kadar senyumnya dikontrol dikit Mas, perasaan saya jadi gak tenang nih!' Amuk Meri dalam hatinya karena merasa kesal pada reaksi tubuhnya yang sangat tidak sinkron dengan pemikirannya. 'Malu?' Tanya Alvin untuk yang kesekian karena dia dapat melihat bagaimana tatapan mata Meri yang selalu berusaha menghindarinya bahkan dalam panggilan video call sekalipun. Tentu saja dia tidak masalah, hanya saja terlihat lucu dan menggemaskan melihat bagaimana Meri tampak salah tingkah seperti ini karenanya. "Udah dulu ya Mas, saya mau mandi. Bentar lagi juga udah Maghrib soalnya. Assalamualaikum!" 'Walaikumsalam, saya...' Tanpa menunggu lama Meri pada akhirnya memutuskan video call tersebut secara sepihak. Barulah setelah itu dia dapat bernapas dengan lega seraya memegangi dadanya yang masih berdetak kencang. Bahkan dia tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh pria itu tadi karena Meri terlanjur sudah memencet tombol merah pada layar ponselnya untuk mengakhiri panggilan video call tersebut. Alhasil dia gagal untuk tidur terlebih dahulu setelah pulang kuliah karena mendapat panggilan telepon dari pria itu. Sehingga dia akan menunda jadwal tidur siangnya menjadi tidur lebih awal setelah isya' nanti. Setelah diarasa sudah tenang, Meri segera beranjak dari kasurnya dan benar-benar melakukan ritual mandi. Ia berharap setelah ini dapat lebih bisa bersikap biasa saja agar dia tidak terlihat begitu memalukan karena sikapnya yang terlihat sekali jika sedang salah tingkah. Efek jomblo menahun memang luar biasa buruknya dalam bersikap di depan lawan jenis, meski sekarang dia sudah bisa dikatakan tidak lagi jomblo dan sudah menjadi tunangan orang. To be Continued....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN