5. Kesiangan

1785 Kata
Suara gedoran pintu pada pintu kamarnya tak lantas membuat seseorang yang masih melayang-layang di alam mimpinya itu terbangun. Yang ada saat ini ia kembali menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya, kembali tenggelam dalam mimpi indahnya. "Meri, kamu niat kuliah apa enggak ini hah? Anak perawan jam segini masih molor, mau jadi apa nanti kalau udah nikah!" Terdengar suara gedoran pintu pada kamarnya yang semakin mengeras saat dia masih enggan membuka mata. "Iya Maaa!" Jawab Meri setengah sadar saat suara gedoran pada pintunya semakin keras. "Jangan iya-iya aja, bangun cepetan. Katanya ada kuliah pagi!" "Iyaaa!" Setelahnya tak terdengar lagi suara gedoran pintu atau Omelan, membuat Meri kembali menelungkupkan wajahnya ke bantal. Mengistirahatkan kembali kepalanya yang masih terasa berat untuk diajak beraktivitas pagi. Memeluk guling dalam dekapannya dengan erat berusaha mencari kehangatan. ___ "Ma berangkat dulu!" Riko yang saat ini telah siap dengan seragam sekolahnya meminta izin pada mamanya, membuat wanita paruh baya itu mengulurkan tangannya untuk disalimi oleh putranya. "Kakak kamu mana, kok belum keluar?" Tanya Mama Ani yang saat ini masih sibuk berkutat dengan masakannya. "Gatau Ma, masih ngiler kali." Jawab Riko seenaknya. "Dasar anak gadis kok kerjaannya bangun siang mulu, kamu juga sini makan dulu. Awas aja gak sarapan, jangan harap Mama kasih uang jajan!" Ancam Mamanya yang membuat Riko dengan terpaksa menghentikan langkahnya dan menuruti permintaan mamanya, karena jika sudah mengancam seperti itu dia tidak akan memiliki alasan lagi untuk mengelak atau akan berakhir dia dikutuk oleh mamanya. Setelah mematikan kompornya dan menaruh oseng kangkung tadi di mangkuk, Mama Ani menyerahkan lauk pauk itu pada Riko. Meminta anak laki-lakinya untuk memindahkan hidangan beberapa lauk-pauk itu di atas meja makan. "Tolong tata lauk pauk sama nasinya di atas meja, Mama mau nyiram anak Mama yang satu lagi!" Riko hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat bagaimana rupa kesal mamanya karena mengetahui bahwa kakaknya belum juga bangun dijam segini. Padahal sudah jam 8 lewat, tapi kakaknya yang super pemalas itu masih saja tertidur. Dia saat ini ingin ke sekolahnya untuk mengurusi beberapa hal setelah Ujian Nasional, sehingga tidak diwajibkan bagi siswa kelas IX untuk masuk pagi hari seperti biasa. ___ Suara pintu terbuka, namun sama sekali tak membuat sosok yang masih mendekam di dalam selimut itu terusik. Justru saat ini tidurnya terlihat benar-benar nyenyak, bahkan sesekali kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyum simpul. Berbeda dengan reaksi sosok yang baru saja memasuki kamar anak gadisnya. Mama Ani terlihat tengah menahan diri untuk tidak berteriak keras-keras di telinga Meri yang nyatanya sedari tadi mengabaikan panggilannya untuk bangun tidur. "Ini anak gadis macam apa jam segini belum bangun, keburu rejekinya dipatok ayam!" Tanpa berbasa-basi Mama Ani mengambil botol berisi air minum yang tinggal sedikit di atas meja belajar Meri. Tanpa ragu membuka tutup botol tersebut dan menuangkan sisa air berisi 200 mili liter itu di atas wajah anaknya agar terbangun. "Bangun!" "AAA BANJIRRR!" Meri yang merasakan basah pada dirinya segera membuka kedua matanya dan berjengit kaget seakan mau melompat dari tempat tidur. Dengan bibir yang megap-megap gadis itu menyeka wajahnya saat menyadari bahwa dia masih berada di atas kasurnya dan tdiak terdapat banjir. Lalu pandangan matanya jatuh pada sosok mamanya yang menampakkan ekspresi seakan-akan 'berani kamu membohongi Mama?'. "Eh Mama..." tak tau lagi harus berbuat apa, Meri hanya bisa tersenyum canggung. Pasalnya jika mamanya sudah marah maka itu bukan suatu hal yang baik untuknya, bukan karena dia akan dicoret dari kartu keluarga atau dia akan diberikan hukuman. Tapi mamanya itu sepanjang hari akan mengomelinya yang mana sangat ingin dihindari oleh Meri. Saat dia tidak melakukan kesalahan saja omelan mamanya ketika menonton sinetron sudah membuatnya merasa jengah, apa lagi jika dia yang dijadikan sebagai objek bahan omelan. Sudah dapat dipastikan bahwa telinganya akan pengang seharian ini. "Bagus ya Tuan Putri jam segini baru bangun, pembantunya di sini sampai udah siap masakin buat Tuan Putri loh!" 'Nah kan, Mama mulai deh...' Meri hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selama ini sindiran mamanya memang selalu bisa membuatnya merasa menjadi pihak yang jahat dan semena-mena di sini. Padahal tadi jelas-jelas dia yang disiram dengan tanpa keraguan hingga membuatnya menahan napas karena mengira bahwa dia tenggelam karena kebanjiran. "Ma, kalau gitu Meri mau mandi dulu ya." Masih dengan sebuah senyum yang dipaksakan, Meri berjalan perlahan memasuki kamar mandi. "Loh gak tidur lagi? Tadi kayaknya seru banget mimpinya, kenapa gak dilanjutin?" Sindir mamanya lagi yang membuat gadis itu hanya bisa cengengesan. "Meri sekarang udah bangun kok Ma, beneran!" Setelahnya Meri segera memasuki kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Perkataan mamanya memang selalu tajam jika harus menyindirnya. Ia selalu saja merasa tak berdaya jika sudah dihadapkan pada mamanya dalam hal sindir menyindir. Entah dari mana mamanya sampai memiliki kemampuan mengerikan itu, yang parahnya dia selaku anak yang sering dijadikan bahan sindirkan mamanya tercinta. "Gini amat punya mama suka nyindir." Gumam Meri setelah itu sibuk membasuh dirinya dengan air. ___ "Tumben telat tadi Mer?" Kali ini Ria yang baru saja selesai merapikan alat tulisnya bertanya pada Meri saat mereka berjalan keluar dari kelas. "Kesiangan gue, untungnya disiram sama Mama, kalau enggak mungkin gue udah bolos kali." Jawab Meri seraya menghela napas panjang. "Mantep dong Mama lo, pengertian banget sampe disiram gara-gara lo kebo. Salut gue!" Tawa Ria seraya menepuk-nepuk pundak gadis itu, "lo ada matakuliah lagi?" "Ada sih, tapi masih ntar ada sela waktu satu 2 jam buat istirahat." "Oh gitu, kalo gitu gue duluan ya. Matkul gue cuman satu hari ini hehe..." "Enak banget cuman satu, yaudah hati-hati!" Setelah kepergian Ria Meri tidak tahu lagi harus melakukan apa, temannya yang lumayan akrab tidak ada di kampus saat ini karena jadwal matakuliah mereka masih nanti jam setengah satu siang. Dia juga malas jika harus pulang ke rumah dan buang-buang bensin, karena selang dua jam dia juga ada matakuliah lagi. 'Pengen jajan, bawa duit gak ya?' Ia mulai merogoh isi tasnya untuk mencari-cari yang di dalam dompetnya. Lalu dia hanya bisa menghela napas panjang saat hanya menemukan selembar uang dua puluh ribuan di dalamnya. "Kalo dipake buat jajan, ntar duit buat beli bensin gimana?" Helaan napas panjang kembali terdengar dari bibirnya, "gue baru sadar kalo ternyata gue semiskin itu!" Saat tengah sibuk meratapi nasibnya, tiba-tiba ponselnya yang biasanya sunyi senyap bak kuburan bergetar pelan. Membuat Meri segera merogoh tasnya untuk mengambil benda berbentuk persegi panjang itu. Kedua matanya langsung membulat saat dia menemukan satu nama yang saat ini tertera di layar ponselnya dengan begitu jelas, 'Calon Suami'. "Siapa yang ngasih nama kontak kayak gini?" Meri terdiam selama beberapa saat, hanya memandang ponselnya yang terus bergetar dengan ekspresi horor. Bagaimana bisa dia lupa pada saat itu Om Alvin sempat meminjam ponselnya, yang ternyata digunkan untuk menyimpan nomor ponsel pria itu sendiri di ponsel miliknya. Hingga setelah satu menit berlalu, pada akhirnya panggilan telepon tersebut berhenti. Tanpa sadar membuat gadis itu bernapas dengan lega. Namun itu tak berlangsung lama, karena ponselnya kembali bergetar dengan nama penghujung yang sama. Yang mana membuat Meri dengan terpaksa menghela napas panjang untuk mengangkat panggilan telepon tersebut, menenangkan dirinya agar tidak panik, apa lagi salah tingkah. Tentu saja dia tidak ingin membuat pria itu salah paham dengan tingkahnya yang gugup. 'Assalamualaikum calon istri!' "Walaikumsalam..." tak dapat dipungkiri saat ini wajah Meri tampak memerah setelah mendengar sapaan yang diberikan oleh Alvin padanya. 'Cuman jawab salam aja? Gak mau ditambahin?' "Ditambahin gimana Mas?" 'Kan tadi saya gak cuman ngucapin salam, harusnya jawaban yang bener itu; Assalamualaikum calon suamiku!' goda Alvin di seberang sana dengan gaya khasnya yang humoris, namun terkesan tengil. "Gak usah diperjelas Mas!" Balas Meri dengan suara jutek sesekali terbatuk pelan setelah mendengar ucapan pria itu, meski pada kenyataannya saat ini gadis itu berusaha keras untuk menjaga dirinya agar tetap tenang. Jangan tanyakan ekspresinya saat ini, wajahnya kemerahan karena rasa malu. Padahal saat ini ia hanya mendengarkan godaan dari pria itu melalui sambungan telepon. Bagaimana jika mereka kembali bertemu, apakah Meri masih sanggup menjaga dirinya agar tidak gila karena serangan tiba-tiba yang seakan menyerang jiwanya yang polos tak pernah terjamah oleh pria manapun. "Ada apa Mas menelpon saya?" Tak ingin terus-terusan terjebak dalam suasana canggung karena godaan pria itu, Meri berusaha mengalihkan pembicaraan. 'Kamu sekarang lagi di kampus kan?' tanpa berbasa-basi Alvin langsung menembak tepat pada intinya. "Kok Mas bisa tahu?" Meri mengerutkan keningnya dalam, mencoba menyisir ke tempat di sekitarnya siapa tau tiba-tiba ada sosok pria itu yang berada tak jauh darinya. 'Gak usah repot-repot nyariin saya, saat ini saya masih ada di Fakultas Hukum kok, baru selesai ngajar.' "Ah iya Mas, siapa juga yang nyariin!" Meri langsung kembali bersikap biasa, merasa malu atas tindakan spontannya tadi meskipun pria itu tidak mengetahui gerak-geriknya. 'Hari ini kita makan siang bareng yuk, saya jemput kamu sekarang di Fakultas Ilmu Budaya!' "Eh eh eh... t-tunggu Mas, jangan jemput saya!" Panik gak? Panik dong, bagaimana ceritanya tiba-tiba pria itu ingin datang ke fakultasnya sesuka hati. Bukankah sebelumnya mereka telah membuat kesepakatan bahwa hubungan mereka untuk sesaat tidak diumbar ke publik terlebih dahulu. Bagaimana pun posisi mereka berdua adalah dosen dan mahasiswi, jika sampai diketahui oleh pihak fakultas ia tengah menjalin hubungan dengan seorang dosen maka bukankah itu justru akan membuat mereka berada dalam masalah yang rumit nantinya. "Loh memangnya kenapa? Kata Mama kamu tadi kamu cuman sarapan sedikit karena terburu-buru berangkat ke kampus karena terlambat, pasti sekarang kamu lapar kan?" Meri akui niat pria itu memang baik, disaat dompetnya kering kerontang seperti saat ini, pria itu justru datang untuk mentraktirnya makan. Hanya saja momen mereka saat ini kurang tepat juga jika harus saling menjemput yang akan menimbulkan kontroversi yang tidak dia inginkan nantinya. "Bapak kan seoang dosen, sementara saya seorang mahasiswi. Saya takutnya nanti akan dijadikan bahan gunjingan jika ketahuan sedang kencan dengan seorang dosen." Tak ingin menutupinya, Meri pada akhirnya hanya bisa memaparkan isi hatinya yang terdalam. 'Apa yang kamu katakan benar juga, kalau begitu bisakah kita bertemu di tempat makan. Kamu membawa motor kan? Kita makan di tempat kemarin!' Kali ini Meri belum sempat menjawab saat panggilan telepon tersebut telah terputus. Membuat gadis itu memegangi dadanya yang berdebar kencang, perpaduan antara rasa panik dan juga rasa yang dia sendiri tidak mengetahuinya apa. "Kena asma gue lama-lama kalo deket sama Om-Om satu itu!" Gumam Meri yang saat ini tengah berjalan ke arah motornya, memenuhi permintaan pria itu untuk bertemu langsung di tempat makan pertama kali mereka bertemu. Tempat makan yang menjadi awal mula semuanya terjadi, hingga kini masih terasa sulit untuk bisa diterima oleh akal pikirannya oleh Meri. Dan saat ini mereka kembali lagi ke tempat itu, tentu saja dengan status yang berbeda. Sebagai sepasang tunangan. 'Demi mengganjal perut yang keroncongan gue bakal kencan lagi sama Om Alvin, ayo semangat Meri. Buat nerima kenayataan hirip ini kamu harus punya cukup cadangan energi, jadi jangan sia-siakan traktiran makan ini!' Gumam Meri dalam hatinya, berusaha menyemangati dirinya sendiri agar tidak terlihat begitu mengenaskan. To be Continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN