10. Kilas Balik

1820 Kata
"Jujur, saya sudah menyukai kamu sejak lama. Bahkan saya tidak hanya sekali atau dua kali mencoba meminta restu pada kedua orang tuamu untuk melamar kamu!" Kedua mata Meri tidak bisa tidak membola begitu mendapati sebuah kenyataan yang baru saja dia terima untuk saat ini. Bagaimana tidak karena dia sama sekali tidak mengetahui perihal masalah ini, kedua orang tuanya juga tidak pernah membahas hal ini padanya. Jadi bagaimana mungkin sosok Alvin tiba-tiba datang dalam kehidupannya, hingga berhasil membuat sosok mamanya begitu menaruh perhatian berlebih pada sosok pria di depannya ini, dan membiarkan pria itu untuk melamar bahkan menikahinya dalam waktu dekat. "Bagaimana bisa saya, saya bahkan tidak mengetahui hal ini sama sekali?" Meri seakan kehilangan kata-katanya, otaknya terasa macet untuk bisa dia ajak berpikir kritis. "Saya paham ini pasti sebuah hal yang cukup aneh dan mungkin tidak bisa kamu percayai seratus persen. Namun saya berani menjamin bahwa apa yang saya katakan memang benar, dan saya sama sekali tidak akan membual untuk hal serius seperti ini meskipun saya adalah orang yang humoris sekalipun." "Saya masih tidak habis pikir, tapi Mama bahkan..." "Saya memang melarang Mama kamu untuk mengatakan yang sebenarnya. Karena saya yang ingin menjelaskan semuanya secara langsung pada kamu, nanti ketika di rumah kamu boleh bertanya pada Mama kamu jika tidak mempercayainya." Ucap Alvin yang justru semakin membuat Meri dilanda berbagai pertanyaan dan sebuah kemungkinan-kemungkinan baru dalam benaknya. "Tapi kenapa saya?" Raut wajah penuh tanya tak bisa dihilangkan dari wajah gadis itu. "Apakah saya harus memiliki sebuah alasan khusus untuk memilih kamu?" Tanya Alvin yang membuat Meri terdiam. "Tapi, bukankah setiap tindakan pasti memiliki sebuah alasan? Terlalu egois jika melakukan sebuah hal hanya karena iseng, atau karena keinginan sesaat?" Mendengar hal itu membuat Alvin tersenyum, tidak menyangka bahwa gadis itu akan berpikiran sampai sejauh itu. Namun ia tidak marah, memang sebuah hal yang wajar karena apa yang dia lakukan saat ini terkesan terlalu terburu-buru bagi gadis itu. Beruntung Alvin sudah menyiapkan jawaban tersebut sedari awal dia memutuskan untuk mengatakan semuanya, bagaimana perjuangannya tidak seinstan apa yang terlihat di depan mata. "Kamu benar, tindakan saya tidak hanya semata-mata karena keisengan atau ketertarikan sesaat. Karena jika saya melandasi sebuah hubungan serius untuk yang kedua kalinya, tentu saya sudah belajar dari pengalaman kegagalan sebelumnya, dan saya tidak ingin kembali mengulang kesalahan yang sama. Saya sudah memikirkan dan mempertimbangkan semua ini sedari awal, alasan kenapa saya yakin memilih kamu." Meri terdiam, sama sekali tidak menyangka bahwa sosok Alvin yang biasanya selalu bertingkah tengil dan terkesan suka menggodanya bisa berbicara seserius ini padanya. Seperti dia tengah melihat sosok lain dari pria itu, sosok yang rupanya memiliki kharisma berkali-kali lipat lebih unggul dari ekspektasinya sebelum ini. "Apa alasannya?" Mata Meri tak bisa untuk tidak terpikat pada bagaimana cara Alvin yang seakan mampu membuatnya percaya pada pria itu hanya melalui pandangan mata. "Saya tidak akan mengatakannya!" Seketika itu pula ekspresi Meri yang semula menatap pria itu dengan cara yang berbeda berganti muram. Bagaimana bisa dengan begitu mudah pria itu mempermainkan perasannya, membuat Meri dilanda rasa penasaran yang dalam. Bertanya-tanya apa alasan dibalik semua ini, dan masih banyak hal lain yang membuatnya bingung. "Anda mempermainkan saya?" Dengan kedua mata yang menyipit Meri menatap Alvin dengan berani, tidak menyukai bagaimana cara pria itu mempermainkan perasaannya. "Saya senang akhirnya kamu berani menatap mata saya secara langsung seperti ini." Ucap Alvin yang seketika membuat Meri menyadari bahwa dia saat ini mulai berani untuk menatap mata lawan jenisnya secara langsung, tidak seperti sebelumnya yang dia bahkan selalu berusaha mengalihkan pandangan ketika tidak sengaja bersitatap dengan lawan jenisnya. "Jangan mengalihkan pembicaraan Mas." Pad akhirnya Meri kembali mengalihkan pandangan, tidak kuat ditatap balik dengan begitu intens. Saat ia sedang berusaha menenangkan pikiran dan juga dadanya yang berdegup kencang, tiba-tiba tangannya digenggam oleh pria itu. Membuat Meri membulatkan kedua matanya kaget, saat ini mereka hanya berdua, berada di dalam rumah meski pintu utama masih terbuka lebar. Hanya saja ini terlalu mengejutkan untuknya, sensasi saat menyadari bahwa hanya ada mereka berdua di sini membuatnya tak habis pikir. 'Nanti kalau tiba-tiba digrebek pak RT gimana? Berduaan di dalam rumah, pegang-pegangan tangan, nanti kalau Mas Alvin ngelakuin yang aneh-aneh gimana?' pikirnya mulai melayang kemana-mana menyadari posisi mereka saat ini. "Kamu mikirin apa? Saya janji tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh pada kamu sebelum waktunya. Saya juga memilih kamu karena sebuah alasan yang kuat, jadi jangan khawatirkan apapun." Meri dengan segera menggelengkan kepalanya, mengusir segala pemikiran buruknya yang seringkali overthingking jika berhubungan dengan lawan jenis. Itulah sebabnya dia betah menjomblo seumur hidupnya selama ini, sampai ketika sosok pria di depannya ini datang, memberinya sebuah kepastian yang benar-benar terlalu pasti hingga dia tidak bisa menolak. Lebih tepatnya tidak tahu bagaimana caranya menolak. "Mas masih belum selesai ceritanya yang tadi loh." Peringat Meri yang membuat Alvin meremat pelan tangannya yang masih digenggam oleh pria itu. "Sampai mana saya cerita tadi?" Meri hanya bisa memutar bola matanya mendengar pertanyaan Alvin, ingin melepaskan tangan pria itu namun apalah daya malah membuat genggaman tangan Alvin mengerat pada tangannya. 'Hangat sih, tapi kalau efeknya bikin jantung jedag-jedug mah berasa punya penyakit jantung. Malah salting yang ada ini!' batinnya bingung. "Bagaimana ceritanya Mas bisa mengenal almarhum Ayah saya?" "Saya mengenal beliau untuk pertama kalinya ketika pada saat itu saya memberanikan diri untuk datang menemui beliau, meminta restu untuk menikahi kamu, putri satu-satunya." "Kapan tepatnya?" Debaran di jantungnya semakin bertalu dengan cepat, bagaimana mungkin dia baru mengetahui hal ini. "Saat kamu masih semester dua, saya sama sekali tidak heran mengapa Ayah kamu dengan tegas langsung menolak permintaan saya pada saat itu. Saya terlalu terburu-buru meminta kamu, jadi jangan heran mengapa mereka juga tidak mengatakan hal ini ke kamu pada waktu itu." Tawa renyah Alvin sama sekali tidak membantu Meri untuk bersikap baik-baik saja. Kenyataan bahwa selama ini dia sudah diincar oleh seorang om-om selama kurang lebih dua tahunan membuatnya kaget bukan main. Terasa sangat mustahil untuk bisa diterima dengan akal sehat, namun di satu sisi dia juga melihat bagaimana cara Alvin mengatakan semua itu dengan sangat meyakinkan. Ingin rasanya dia segera kembali ke rumahnya untuk memberondong mamanya mengenai kenyataan ini, apakah Alvin mengatakan yang sebenarnya atau hanya sebuah lelucon semata. "Saya yakin kamu pasti tidak percaya, tapi memang itulah kenyataannya. Kamu boleh bertanya pada Mama kamu nanti ketika sudah sampai di rumah, jadi sampai sejauh ini apa kamu masih meragukan keseriusan saya?" Meri terdiam menatap Alvin perlahan lalu menggelengkan kepalanya, namun sedetik kemudian menganggukkan kepala. Pikirannya terasa kacau, bingung untuk merespon, ini semua terlalu mengejutkan untuknya. "Apa yang menarik dari saya sampai Mas memilih saya bahkan sejak jauh-jauh hari? Dua tahun menunggu tanpa kepastian itu bukan hal yang mudah untuk pria dewasa seperti Mas setahu saya." "Karena saya maunya kamu, dan saya sudah menentukan pilihan saya sejak saat itu. Jadi tidak ada alasan untuk saya mundur, hingga saya pada akhirnya mendapatkan restu dari almarhum Ayah kamu." "Kenapa Ayah saya sempat menolak Mas pada saat itu, lalu kenapa Ayah saya pada akhirnya memberikan restu untuk Mas menikahi saya?" "Saya paham ini pasti adalah pertanyaan terbesar kamu, tapi saya tidak bisa mengatakannya. Lebih baik kamu bertanya langsung pada Mama kamu, Mama yang jauh lebih memahami alasan sebenarnya mengapa Ayah kamu menerima saya sebagai calon menantunya. Yang jelas saya sangat mengagumi sosok almarhum Ayah, beliau sangat menyayangi kamu, jauh lebih mementingkan kebahagiaan kamu di atas semuanya. Kamu beruntung memiliki sosok beliau dalam hidup kamu," ucap Alvin dengan tulus, mencoba mengenang kembali bagaimana percakapannya dengan almarhum pada saat-saat itu. Meri yang mendengar hal itu seketika merasakan rasa kehilangan yang sangat besar. Meski sudah beberapa bulan berakhir, bahkan sudah hampir setahun sejak kepergian ayahnya, namun rasa sesak dalam dirinya jika sudah menyangkut sosok ayahnya masih terlalu sulit untuk bisa dia tekan. Rasanya seperti baru kemarin dia bisa menghabiskan waktu bersama dengan ayahnya untuk bersenda gurau. Hanya saja waktu berlalu terlalu cepat, hingga dia seakan masih tidak mempercayai bahwa ayahnya telah berpulang ke sisi-Nya. "Apa janji Mas di depan Ayah saya?" Tentu saja Meri tidak ingin meninggalkan rasa penasarannya begitu saja, meski kedua matanya saat ini telah berkaca-kaca. "Saya berjanji akan membahagiakan kamu dengan sepenuh hati saya, tidak akan pernah melakukan kekerasan pada kamu dalam rumah tangga kita nantinya, membimbing kamu menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi ke depannya. Juga selalu memperhatikan keluarga kamu setelah kepergian Ayah, karena sejak saat itu saya telah bertekad untuk menggantikan posisi Ayah dalam keluarga kamu untuk menjadi kepala keluarga." Tak tahu lagi harus berkata apa, pada akhirnya kedua mata Meri yang telah berkaca-kaca tak mampu lagi dia bendung. Dia menumpahkan air matanya, sama sekali tidak menyangka bahwa pria di depannya ini bukanlah seseorang yang secara random datang ke dalam kehidupannya untuk mengambil semua kebebasannya. Semua pemikiran egoisnya selama ini ternyata salah besar, untuk sebuah hal sebesar ini dia bahkan tidak mengetahui apapun di sini. Ia juga sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini telah mempersiapkan semua ini untuknya, entah dia harus senang atau sedih. Karena masih ada cukup banyak pertanyaan dalam benaknya. "Apakah Ayah benar-benar menyerahkan saya pada Mas?" Alvin menggeleng pelan, "Ayah kamu tidak pernah menyerahkan kamu ke saya. Sedari awal sayalah yang selalu berusaha meluluhkan hati Ayah kamu agar mau menerima saya sebagai calon menantunya. Jika saja Ayah kamu masih diberikan umur yang panjang, mungkin saya tidak akan diijinkan untuk mendekati kamu secepat ini. Beliau sangat melindungi kamu, beliau tidak akan semudah itu menyerahkan putri kesayangannya pada sembarang pria. Dan saya termasuk pria yang beruntung karena mendapat izin dari Ayah kamu setelah berbagai usaha yang saya lakukan, meski saya tidak diberi kesempatan untuk jauh lebih mengenal sosok Ayah kamu lebih lama lagi." Tak sanggup lagi, Meri saat ini terisak pelan. Membayangkan bagaimana setiap Alvin menceritakan mengenai sosok ayahnya, bagaimana ayahnya begitu protektif padanya. Selama ini dia tidak pernah berpacaran juga karena permintaan ayahnya, karena tidak ingin anaknya sampai merasakan apa yang dinamakan patah hati atau dipermainkan oleh seorang pria. Lantas setelah mendengarkan penjelasan pria di depannya ini, membuatnya benar-benar tidak bisa untuk tidak menangis. Segala memori tentang ayahnya seketika berdatangan, membanjiri pikirannya akan momen-momen indah bersama ayahnya. Alvin yang melihat hal itu semakin menggenggam tangan Meri dengan erat, lalu begitu melihat bagaimana air mata gadis itu tumpah. Ia tak lagi berusaha untuk menahan diri, menarik gadis itu dalam pelukannya. Menjadikan dirinya sebagai sosok sandaran bagi calon istrinya, mengelus pelan pundak gadis itu berharap bisa sedikit meringankan pikirannya. "Maaf jika perkataan saya membuat kamu menangis, karena kembali teringat pada sosok Ayah." Alvin mencium puncak kepala Meri dengan penuh rasa bersalah. Meri dengan segera menggelengkan kepalanya, ia sama sekali tidak menyalahkan Alvin karena telah mengatakan semuanya. Dia hanya tidak bisa menahan perasaan rindu ketika memori kebersamaan dengan ayahnya kembali membayangi pikirannya. Membuat gadis itu semakin menyesal karena kurang memberikan lebih banyak waktu untuk bersama dengan ayahnya, karena pada dasarnya semua rasa penyesalan itu memang baru akan terasa setelah seseorang yang kita sayangi telah tiada. Membuat kita pada akhirnya tersadar apa arti dari keberadaan seseorang yang harus kita hargai dengan sepenuh hati kita, dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa bersama membahagiakan seseorang terdekat kita. To be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN