"Kita emang mau kemana-mana Mas?" Tanya Meri yang saat ini tampak bingung ketika Alvin sudah mulai membawanya keluar dari pelataran rumahnya.
Hari ini dia memang hanya ada satu matakuliah, dan itu pun masih jam empat sore nanti, sehingga untuk saat ini dia masih bebas dan berniat untuk bermalas-malasan. Hanya saja semua rencana gadis itu harus gagal ketika pria itu secara tiba-tiba datang ke rumahnya dan membawanya entah pergi kemana, membuat Meri merasa bingung hingga pada akhirnya hanya bisa pasrah mengikuti kemana pria itu akan membawanya pergi.
"Ke sebuah tempat, kamu jangan khawatir. Saya tidak akan melakukan hal yang macam-macam apa lagi aneh-aneh sama kamu kok."
"Saya hanya penasaran Mas."
"Saya yakin kamu pasti suka." Ucap Alvin dengan penuh rasa percaya diri.
Namun hal itu malah semakin membuat Meri merasa penasaran pada tempat yang saat ini sedang mereka tuju. Bagaimanapun dia masih belum bisa mempercayai pria itu sepenuhnya, dia masih takut menerima kenyataan bahwa pria itu akan membawanya untuk melakukan hal-hal yang mungkin saja tidak dia duga sebelumnya. Dan itu semua terasa cukup membuatnya merasa agak takut.
Melihat bagaimana sosok Meri yang terlihat sangat kaku di sampingnya, malah membuat Alvin tersenyum. Tingkah gadis seperti ini memang adalah kesukaannya, karena sangat lucu, bahkan dia tergerak ingin sekali menggodanya.
"Kamu mikirin apa Sayang?"
"Eh," Meri yang sama sekali belum siap dengan panggilan sayang seperti itu hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Wajahnya memerah bingung harus bersikap bagaimana, "gak ada kok Mas, gak mikirin apa-apa!"
"Oh iya? Gak mikiri aneh-aneh seperti bagaimana kalau ternyata saya lagi nyulik kamu kan?"
Meri spontan langsung menolehkan kepalanya pada sosok Alvin yang saat ini masih saja memperlihatkan senyum lesung pipinya yang manis. Sangat kontras sekali dengan perkataannya yang akan menculiknya.
"Emang Mas beneran nyulik saya?" Tanya Meri yang sudah mulai waspada.
"Kamu percaya?" Tepat saat lampu merah, Alvin berhenti dan menatap pada sosok Meri yang tampak melihatnya seolah-olah dia adalah penculik.
Tak ingin menjawab, namun jelas dengan tingkah Meri yang semakin menjaga jarak darinya membuat Alvin merasa gemas. Memalingkan wajah, Meri tak ingin lagi menjawab pertanyaan pria itu. Ia paham bahwa saat ini dia hanya dipermainkan oleh pria itu hingga dia terlihat sangat bodoh. Parahnya dia selalu saja memakan umpan yang diberikan oleh Alvin padanya.
"Nggak lucu Mas!" Meri bahkan sudah memalingkan wajahnya ke arah lain, enggan menanggapi karena sedari tadi digoda oleh pria itu.
"Sebentar lagi kita sampai kok. Semoga kamu suka, dan tentu saja betah nantinya." Ucap Alvin yang membuat Meri semakin dilanda rasa penasaran.
Saat sedang sibuk dengan pemikirannya sendiri, gadis itu tiba-tiba dibuat kaget ketika sebelah tangannya yang ia letakkan di atas pahanya tiba-tiba ada yang menggenggamnya. Siapa lagi pelakunya jika bukan sosok om-om di sampingnya yang bisa-bisanya mengambil kesempatan untuk memegang tangannya ketika dia tengah menyetir seperti saat ini.
"Mas..."
"Cuman gandengan tangan, saya janji gak bakal melewati batas sampai bulan depan."
Hanya dengan mendengarkan perkataan pria itu yang terlewat jujur sudah mampu membuat Meri merasa malu luar biasa. Wajahnya yang semula mulai bisa dia kondisikan kembali memerah padam, mengapa pria itu harus mengatakannya dengan begitu jelas. Padahal bulan depan dia ada kegiatan KKN yang memungkinkannya pergi selama 45 hari untuk mengabdi pada masyarakat. Mengingatnya malah membuat Meri tanpa sadar bisa bernapas dengan lega.
"Bulan depan saya KKN Mas," jawab Meri dengan penuh rasa percaya diri.
"Ah iya hampir saja saya melupakan hal itu." Keluh Alvin yang saat ini terlihat cukup mengubah ekspresi wajahnya.
'Yuhuu rasain tuh Om, aman saya selama satu setengah bulan nanti. Gak ada pake acara bulan madu segala macemnya, saya sibuk kuliah. Lagian salah sendiri milih anak kuliahan semester akhir buat dinikahin, nyesel kan!' batinnya bersorak penuh kemenangan.
"Untungnya saya sudah memperkirakan ini semua..."
Batin Meri merasa puas dengan agendanya yang saat ini cukup sibuk hingga bulan depan. Hitung-hitung bisa mengundur waktu mereka untuk hal yang jauh lebih privasi setelah menikah nanti, karena dia jujur memang belum siap untuk menikah. Namun pernikahan sudah ada di depan mata, sehingga mana bisa dia terus egois dengan keinginannya disaat seperti ini.
"Tapi kamu tenang saja, kita akan menikah tepat beberapa hari sebelum kamu berangkat untuk KKN. Sehingga kita masih ada waktu untuk berduaan." Dengan senyum manis andalannya, Alvin tersenyum.
Jemari tangan lelaki itu menggenggam erat seolah melingkupi seluruh tangannya yang terasa pas untuk digenggam oleh jemari hangat pria itu. Berbeda halnya dengan reaksi Meri yang rasanya ingin sekali dia membenturkan kepalanya pada tembok karena rasa panik dan ingin berkata kasar. Mengingat pola pemikirannya yang cukup berbanding terbalik dengan pemikiran pria itu, mengingat visi misi mereka yang berbeda.
"Kenapa hmm, dari tadi diam saja,"
Meri dengan pelan tersenyum, "gak apa-apa Mas, sebenarnya cuman saya belum siap menikah aja."
"Saya paham!"
Alvin perlahan melepaskan pegangan tangannya pada tangan Meri, membuat gadis itu sesaat seolah merasa heran. "Lalu kenapa Mas tetap mau menikahi saya jika memahami posisi saya?"
"Karena saya tidak akan merubah niat saya untuk menghalalkan kamu."
Tidak tahu lagi harus berkata apa, Meri pada akhirnya hanya bisa pasrah. Merasa percuma walaupun dia berkata secara terang-terangan bagaimana perasaannya saat ini menjelang pernikahan mereka. Karena melihat dari bagaimana respon lelaki itu yang sepertinya tidak begitu peduli akan reaksinya.
"Sebentar lagi kita akan sampai." Ucap Alvin ketika mereka saat ini mulai memasuki sebuah area perumahan yang memakan waktu kurang lebih setengah jam dari rumahnya.
"Kita mau kemana Mas?" Meri memperhatikan sekeliling, melihat beberapa rumah yang berdiri di sana.
'Jangan-jangan mau dibawa ke rumahnya lagi, waduh belum siap lahir batin kalau harus ketemu calon mertua.' Panik Meri dalam hati ketika pemikiran tersebut mulai melintas dalam benaknya.
"Kita sudah sampai!" Dengan senyum menawan, Alvin keluar dari mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Meri.
Dengan perasaan ragu penuh berbagai pertanyaan dan ketidak siapan mental gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari mobil. Menatap pada bagaimana terdapat sebuah rumah lantai dua yang cukup minimalis namun masih tergolong luas, dengan beberapa tanaman hias di depan pelataran rumahnya meski masih sedikit. Rumah tersebut tampak nyaman, namun entah mengapa masih terlihat seperti bangunan yang baru dibuat.
'Apa mungkin keluarga pria itu baru saja pindah rumah?'
"Ayo kita masuk!"
Alvin dengan penuh percaya diri menggenggam tangan Meri agar ikut masuk bersamanya. Senyum manis tak pernah terlepas dari bibir pria itu sejak dia menginjakkan kaki di tempat ini, seolah terdapat sebuah kebanggaan dalam dirinya saat melihat rumah tersebut.
Meri mengikuti, setelah pintu rumah berdaun dua dengan kesan modern yang elegan berwarna cokelat tua terbuka. Menampilkan sebuah ruangan yang di dalamnya telah terisi dengan beberapa perabot rumah tangga meski belum begitu lengkap. Ada sofa, lemari, vas, dan lain-lain. Namun di dalam lemari tersebut masih kosong melompong belum terisi apapun, benar-benar terlihat seperti bangunan rumah baru yang akan segera dihuni. Suasana di dalam rumah juga nyaman dan tidak membuatnya gerah meskipun cuaca di luar cukup terik dan panas.
"Ini rumah, Mas?" Dengan ragu Meri pada akhirnya membuka suara setelah beberapa saat terdiam mengamati desain interior dan juga perabot dalam rumah ini.
Alvin tersenyum, ia menganggukkan kepalanya mengiyakan. "Kamu suka?"
Meri hanya bisa mengangguk, bagaimanapun rumah ini memang sangat nyaman. Mungkin suatu saat dia ingin memiliki rumah sendiri yang seperti ini, hasil dari kerja kerasnya. Entah butuh berapa tahun untuk dia bisa memiliki rumah sendiri seperti ini, ketika dia selama ini hanya menjadi beban keluarga, dan dia juga sangat malas-malasan di rumah.
"Baguslah kalau kamu suka, mungkin kamu ada ide untuk mengisi beberapa perabot rumah ini dengan apa? Pilih saya apa yang sekiranya bagus menurut kamu, karena ini mulai hari ini juga akan menjadi rumah kamu juga."
"Hah... gimana maksudnya Mas?" Otak Meri mendadak lemot saat mendengar perkataan Alvin tadi.
'Menjadi rumah kamu juga? Maksudnya, nanti kita tinggal di sini, di rumah ini?'
"Ini adalah rumah yang berhasil saya buat dengan hasil kerja keras saya sendiri, saya harap kamu bisa senang dan mulai beradaptasi dengan kondisi lingkungan di rumah ini. Karena rumah saya juga akan menjadi rumah kamu juga nanti setelah kita resmi menikah."
"Jadi, maksud Mas kita akan tinggal di sini nantinya? Lalu keluarga..."
"Kamu jangan khawatir soal keluarga kamu, saya juga sudah menyanggupi untuk membantu agar adik dan ibu kamu bisa tetap saya penuhi kebutuhannya."
Untuk kali ini, Meri seperti kehilangan kata-kata. Dia bingung harus berkata apa, di satu sisi dia masih ingin menolak pernikahan ini karena tidak sesuai dengan keinginannya sendiri, dan juga karena dia masih belum siap. Namun semakin kesini dia sadar bahwa dia ternyata tergolong gadis yang beruntung karena ada seorang pria yang mau menganggung kehidupan keluarganya setelah mereka menikah nanti.
"Kenapa Mas mau ngelakuin semua ini?" Pada akhirnya pertanyaan itu berhasil keluar dari bibir Meri yang saat ini dilanda rasa penasaran yang tinggi.
"Tidak ada alasan, saya paham jika saya ingin memiliki kamu saya juga tidak bisa egois hanya menginginkan kamu untuk ada dalam hidup saya. Sementara saya mengabaikan bagaimana keluargamu untuk berjuang sendirian setelah kepergian ayah kamu sebagai kepala keluarga? Oleh karena itu saya telah mengambil keputusan untuk mau dan bersedia menganggung kehidupan keluarga kamu, mengambil alih peran kepala keluarga dalam hidup kamu dan keluargamu."
Mendengarkan semua itu Meri tak bisa lagi menahan kedua matanya yang terlalu sensitif hingga ia menahan agar tidak sampai menumpahkan air mata ketika disinggung mengenai sosok ayahnya. Memang setelah kepergian ayahnya, kehidupan keluarganya seperti berubah drastis. Begitu pun dengan dia.
Namun tanpa diduga, Alvin secara tiba-tiba menarik Meri ke dalam pelukannya. Menenggelamkan wajah gadis itu dalam dadanya, membuat Meri pada akhirnya tidak mampu lagi menahan lelehan air mata itu untuk tidak tumpah membasahi kaos yang dikenakan oleh pria itu.
"Saya berjanji akan memenuhi segala kebutuhan kamu Meri, itu adalah janji saya di depan almarhum ayah kamu sebelum beliau pergi."
Perkataan Alvin tadi tentu saja tak luput dari pendengaran Meri, gadis itu dengan segera melepaskan pelukan Alvin dan menatap pria itu dengan penuh tanda tanya dalam kedua matanya. Karena Meri memang tidak pernah mengetahui kapan pria itu mengenal sosok ayahnya dan bagaimana bisa mereka berdua sampai saling mengenal hingga dia tidak mengetahui apapun sampai saat ini.
"Maksud perkataan Mas dengan janji kepada Ayah saya tadi apa ya Mas, kenapa saya tidak tahu apa-apa di sini?"
Kedua bola mata berwarna cokelat itu berpendar dengan penuh pertanyaan. Tak ada lagi sosok Meri yang takut-takut memandang Alvin seperti sebelumnya, karena yang ada saat ini hanya sosok Meri yang benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya jika itu berhubungan dengan sosok ayahnya.
Alvin tersenyum menatap sosok Meri yang tampak begitu penasaran, ia paham bahwa gadis itu pasti memiliki cukup banyak pertanyaan dalam benaknya. Juga dia paham bagaimana perasaan gadis itu begitu dia menyinggung mengenai ayahnya, jelas terbersit sebuah rindu yang cukup besar di mata gadis itu terhadap sosok almarhum ayahnya. Namun hidup memang tidak ada yang bisa mengetahui, ketika waktunya tiba, maka sebesar apapun niat untuk menghindari tidak akan pernah berhasil. Sehingga kepergian seseorang terdekat dalsm hidup kita akan menjadi sebuah momok yang cukup menyakitkan dan tidak bisa dipungkiri.
"Saya akan menjelaskan semuanya, tapi lebih baik kita duduk terlebih dahulu."
Alvin menuntung Meri agar duduk di sofa dalam ruang tamu tersebut. Berusaha menenangkan gadis itu akan rasa penasaran yang begitu tinggi. Layaknya terdapat sebuah percikan api tak kasat mata yang timbul dari kedua matanya, ketidak sabaran untuk mengetahui sekecil apapun mengenai sosok ayahnya yang telah pergi.
To be continued....