Tahukah kita bahwa keinginan seorang anak adalah ingin membuat orang tuanya bahagia? Meskipun hanya kebahagian sederhana sebesar satu butir pasir, kebahagian sederhana itu bisa mewujudkan sebuah harapan. Sadarnya orang tua tersebut tergantung dengan terbuka pintu hati, dia memilih ambisi atau anak semua berada ditangannya.
Felisia memilih sebuah ambisi yang dapat memupuskan harapan Varizen. Namun, betapa besar hati gadis itu hanya diam dan menjalani semua yang telah ditakdirkan untuknya. Tetapi perlu diingat, ketabahan hati bisa saja goyah sewaktu-waktu. Bukan karena kebencian, tapi karena cemooh dan hinaan.
Seperti hinaan yang terlontar dari mulut Jonathan. Varizen sangat benci dengan perkataan pria itu, tapi tidak membenci orangnya. Aneh bukan, gadis itu terlalu baik hati untuk seukuran orang yang hidup tersiksa.
Varizen masih menatap lekat Jonathan yang baru saja mengoloknya. Gadis itu tidak bergeming sama sekali sehingga membuat alis pria itu naik ke atas tanda heran.
“Kenapa? Bukankah perkataanku memang benar?” Jonathan mengambil berkas yang ada di dalam tasnya lalu menaruh di meja. “Tanda tangani itu, aku akan mengantarmu masuk ke dalam kelas,” katanya berpura-pura mengambil pena yang ada di saku sambil melirik gadis tersebut.
Tanpa berkata sepatah katapun, Varizen mengambil pena yang ada di dalam tas lalu menandatangi kertas itu, “Aku bisa ke kelas sendirian,” kata gadis tersebut sambil berjalan keluar ruangan. Jonathan hendak mencegah, namun niat itu diurungkan.
Pria tersebut mengambil berkas dengan kasar kemudian menaruhnya di atas meja milik kepala sekolah. Ia mengepalkan tangannya kuat. Reaksi dari Varizen yang barusan membuiat hati Jonathan sakit.
“Inikah rasanya dibenci!” seru Jonathan sambil tersenyum getir. Bukankah itu yang diinginkan, tapi kenapa sekarang seperti menyesal. Mencintai gadis yang belum tentu bisa diraihnya. Hati pria itu sedikit goyah ingin berteriak memberitahu kebenaran yang ada.
Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya dan lebih menekan hati agar kembali ke tujuan utama memilih kesakitan.
Sementara Varizen masih berjalan menuju kelas dengan tatapan kosong. Tanpa sadar, air matanya menetes begitu saja. Tangan gadis itu merayap menuju dadanya yang sakit sampai ke ulu hati. Kakak beda ayah membencinya sampai ke akar. Sungguh takdir dan nasib yang miris. Dan ia tidak ingin menjalani takdir yang sudah digariskan.
Langkah Varizen terhenti, menatap lurus ke depan. Pikirannya yang kalut membuat enggan untuk berjalan ke ruang kelas. Lagi pula, ia tidak tahu letak kelas tersebut berada. Mata gadis itu melirik sebelah kanan, senyum diwajahnya tercetak jelas. Ia pun merubah haluan menuju ke sebuah taman karena melihat ayunan yang terus bergoyang.
“Teringat masa kecil dulu,” ujar Varizen parau sambil menatap ayunan tersebut. Kebahagian pada masa itu terkenang jelas di setiap ingatannya. Ia terus melangkah namun tangannya dicekal oleh seseorang.
Varizen berhenti kemudian menoleh ke samping kiri dan menghela nafas panjang, “Kak Jo,” katanya lirik. “Kelasmu bukan disini. Aku akan mengantarmu,” kata Jonathan sudah final lalu menyeret gadis itu begitu saja hingga sampai di depan kelas.
“Jangan membuatku malu,” peringat Jonathan sambil mengetuk pintu. Mereka berdua pun masuk setelah mendapat persetujuan dari guru. Semua mata mengarah pada sosok yang asing. Siapa lagi kalau bukan Varizen.
Ada yang iri, terlena, terpukau dan juga ada yang mencemooh terang-terangan. Mereka mempunyai ekspresi dan pemikiran yang berbeda. Bahkan, banyak juga yang bersorak, terlebih lagi murid laki-laki.
“Diam!” teriak guru itu membuat suasana yang ricuh tadi menjadi tenang kembali. “Dia Varizen, mulai hari ini akan bergabung di kelas kita. Perlakukan dengan baik,” kata Jonathan, ‘Silahkan duduk,” ucap guru itu ramah.
Jonathan berbisik kepada sang guru, “Awasi gadis itu, karena dia murid special.” Ini jelas ancaman, bukan sebuah peringatan. Guru tersebut mengangguk cepat dengan tangan mengepal kuat. Ternyata, gadis cantik itu punya bakingan yang luar biasa. Pikirnya, dia pasti menjual tubuh untuk mendapatkan hati pria yang ada dihadapannya saat ini.
Varizen pun melangkahkan kakinya ke tempat dimana kursi belum terisi. Ia memilih duduk di dekat jendela. Semua mata para siswa terus saja melihat tanpa berkedip sama sekali. Jonathan yang mengetahui hal itu langsung bersuara.
“Fokus!” teriak Jonathan dengan lantang membuat semua murut mengarah padanya. Pria muda yang berstatus guru tersebut sangat dingin dan juga galak. Ia tidak tanggung-tanggung utuk menghukum murid yang sudah melanggar tata tertib sekolah. Semua penghuni sekolah memberi julukan ‘killer’. Wow, julukan yang sangat keren bukan! Sesuai dengan perangainya.
Jonathan pergi meninggalkan kelas dengan berjalan tegap seperti tentara. Ia bahkan tidak menoleh sedikit pun dan terus melangkahkan kakinya. Saat berada tepat di depan ruangan miliknya, pria tersebut berhenti lalu masuk, menutup pintu dengan rapat. Kakinya sedikit lemas sampai bersandar di dinding.
“Aku tidak terlihat ‘kan…?” gumam Jonatan sambil memegang dadanya yang terus berdetak. Terus terang, pria itu takut wajahnya terbaca oleh para siswa-siswi tadi. Bagaimana jika mereka tahu kalau Varizen adalah gadis yang dicintainya?
“Aku tidak bisa membayangkannya.” Jonathan berdiri tegak berjalan menuju sofa lalu menatap atap. Sosok Varizen masih terlihat jelas. Mata tajam seperti hewan buas yang tidur bertahun-tahun kemudian bangun terlihat lebih berbahaya.
“Tidak… sebelum dia memberontak aku harus menekannya.” Rencana yang disusun selama bertahun-tahun tidak akan dibiarkan gagal begitu saja. Varizen, gadis itu harus diperingatkan untuk kepentingan bersama.
Ternyata, kedua orang terdekat Varizen tidak memahami gadis itu sama sekali. Mereka sibuk dengan rencana-rencana yang tersusun dari awal. Jika rencana itu gagal, bagaimana akhir dari segala usaha bertahun-tahun yang dibangun?
Jonathan mengusap wajah dengan kasar. Seminggu lagi, ia harus menyelesaikan semuanya dan segera membawa Varizen pergi dari Berto lalu menikahinya.
Ingatlah satu hal, manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang berkehendak atas segala urusan manusia. Jika sang pencipta tidak mengizinkan rencana Jonathan terjadi, maka itu adalah takdir yang harus dihadapi.
Rumah Berto
Felisia melempar semua dokumen yang ada di dalam tasnya. Ia terlihat sangat kesal dan marah lantaran akuisisinya terganggu oleh para pemegang saham, bahkan dengan terang-terangan mereka memberi peringatan padanya.
Wanita itu duduk di sofa sambil menghela nafas panjang. Ponselnya pun berdering dengan nyaring. Ia menoleh ke kanan dank e kiri lalu mengambil benda pipi yang ada disakunya.
Belum sempat diangkat, ponsel itu sudah mati terlebih dahulu. Ia henda menaruh kembali tapi diurungkan lantaran melihat sebuah pesan tertera di layar. Senyum mengembang tercetak jelas. Gelak tawa pun menggema diseluruh ruangan.
“Akhirnya…. usahaku tidak sia-sia,” ucap Felisia dengan keras dan langsung tertawa seperti mendapatkan berlian.
Felisia berada diatas awan dengan segala mimpi yang akan terwujud. Sementara, ia tidak tahu bahwa ada seseorang yang selalu mengawasi gerak-geriknya. Bahkan, orang itu sekarang berada di depan pintu kamarmya.
Setelah mendapatkan informasi, orang tersebut langsung pergi begitu saja. Langkah kakinya membuat Felisia berhenti tertawa. Ia langsung bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat pintu itu dibuka, seseorang yang dicarinya tidak ada.
“Mungkin hanya perasaanku saja,” gumam Felisia lalu menutup pintu. Besok, ia akan menghubungi para pemegang saham dan melanjutkan lagi proses akuisisi. Sekarang waktunya bersantai dan beristirahat untuk menyimpan tenaganya.
BERSAMBUNG