Bab 10

1170 Kata
Bel tanda usai kegiatan belajar mengajar telah berdering. Para siswa dan siswi berhamburan keluar ruangan. Namun, Varizen masih betah berada didalam kelas sambil menopang dagunya. Terus terang saja, ia enggan untuk bangkit dari kursi dan bertemu dengan orang rumah. Tiba-tiba, ada beberapa siswa perempuan yang mengebrak meja miliknya sehingga membuat Varizen menoleh karena kaget. Dua orang siswi sedang melipat kedua tangan dan memandang dengan penuh kebencian yang mendalam. “Kau pasti masuk sini karena menjual diri,” katanya tanpa basa basi sambil memainkan kuku dan tersenyum dengan remeh. Mereka mengira jika Varizen masuk sekolah elit karena pengaruh dari orang kaya. “Atas dasar apa kau menuduhku,” jawab Varizen dengan tenang lalu menggeser kursi. Ia tidak ingin meladeni orang yang bersikap buruk padanya. Terlebih lagi, sisa tenaga setelah pulang sekolah harus digunakan untuk menghadapi seseorang yang paling dibencinya. “Kau!” geram siswi tersebut hendak melayangkan tamparan kepada Varizen. Namun, ada tangan seseorang yang menariknya sehingga dia jatuh ke lantai, menghantam dengan keras sampai meringis kesakitan. “Han-Handika,” panggil siswi itu lirih. Ia kemudian ditolong oleh temannya untuk bangkit. “Sa-sakit… kenapa kau tega melakukan ini padaku?” tanyanya tidak percaya karena selama ini, Handika yang dikenal selalu memihak padanya. “Kristal, jika kau melakukan ini lagi, aku tidak segan untuk berlaku buruk padamu,” peringat Handika dingin membuat Kristal terkejut bukan main. Bagaimana bisa, pria yang selama ini disampingnya berbuat kasar hanya karena seorang gadis jalang? Varizen mendengus kasar melihat pertengkaran mereka. Ia sangat tidak menyukai hal ini tentunya. Dari pada membuang waktu untuk hal yang tidak penting, gadis tersebut menyambar tas, dan pergi meninggalkan mereka bertiga begitu saja. Setelah varizen benar-benar pergi, Handika mendekati Kristal sambil tersenyum, “Dia bukan orang yang mudah kau sentuh, Kristal. Jangan membuat hidupmu sulit.” Pria itu pun juga ikut pergi meninggalkan Kristal dan temannya. Kedua gadis yang ditinggal itu memasang wajah suram dan kebencian yang mendalam. Mereka sama-sama mengepalkan tangan kuat. “Aku benci gadis itu,” kata Kristal dengan lantang, lalu membenahi seragamnya, “Kita harus membuatnya terusir dari sini, Mira.” Gadis itu tersenyum devil diiringi dengan alis kanan yang terangkat. “Kau benar… ratu di sekolah ini hanya dirimu,” sambung Mira sambil duduk di bangku Varizen. Gadis itu mengeluarkan sebuah spidol lalu menulis sesuatu di meja Varizen. Jangan harap dia akan menjadi ratu yang dipuja, hanya Kristal yang pantas mendapatkan itu, pikirnya sambil terus menulis. “Sudah selesai,” ucap Kristal sembari melirik, kemudian tertawa dengan keras, “Kau pintar, Mira. Aku menyukainya.” Mira pun tersenyum puas lalu bangkir dari kursi. Ia merangkul lengan temannya dengan manja. “Aku akan membelikanmu sesuatu. Kita ke Mall sekarang,” ajak Kristal dengan rona kebahagian diwajahnya. Mereka berdua pun pergi meninggalkan kelas tersebut. Disisi lain, Varizen masih berjalan menuju gerbang sekolah sambil berharap Berto tidak menjemputnya. Saat sampai di depan gerbang, tidak tampak mobil pria itu disekitar. Ia pun tersenyum senang. Para siswa laki-laki yang melihat senyum gadis tersebut diam membeku, tanpa berkedip. Bahkan, ada yang tanpa sadar melangkahkan ke arahnya. Ada beberapa siswa hendak bertutur sapa kepada Varizen. Namun, kegiatan mereka berhenti lantaran tatapan tajam dari seseorang yang tidak jauh dari mereka. Siapa lagi kalau bukan Jonathan. Pria itu selalu mengawasi Varizen dari jauh, terlihat jelas mata merah nyalang yang menahan amarah disetiap jengkal tubuhnya. Para siswa itu langusng mengurungkan niatnya dan pergi menjauh. Mereka tidak mau berurusan dengan guru yang terkenal killer. “Sialan… jika aku seperti ini terus, aku pasti ketahuan,” gumam Jonathan sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Orang lain pasti bisa dengan mudah menebak isi hati pria itu. Ia tidak mau itu terjadi, tapi jika kondisi diluar kendali, terpaksa langkah ini yang ditempuh. Jonathan mengepalkan tangan kuat lalu menoleh ke sekeliling lingkungan sekolah. Setiap gerakkanya pasti sudah ada yang memantau. Sepertinya, ia harus berhati-hati lagi ke depannya, karena sampai saat ini, pria itu masih menyelidiki siapa yang tengah bertugas mengawasi dirinya. Tidak lama kemudian, mobil yang biasa dikendarai Berto tiba. Jonathan yang melihat itu langsung pergi agar pria kejam tersebut tidak curiga. Varizen pun terlihat senang sebab harapannya musnah. Gadis itu kemudian melangkahkan kaki dengan lambat seakan ada beban dikakinya. Melihat Varizen terlalu lama, Jonny akhirnya keluar mobil, “Nona… kita harus bergegas!” teriaknya dengan lantang lalu membukakan pintu mobil. “Tuan sudah menunggu Anda di kantor,” imbuh Jonny terlihat terburu-buru. Mata Varizen sedikit tersirat kebahagian lantaran tidak ada Berto di dalam mobil. Ia pun bergegas masuk ke dalam benda besi tersebut lalu menghela nafas panjang dan duduk dengan santai. Akhirnya, ada kesempatan menikmati nyamannya duduk di kursi empuk yang ada di dalam mobil. Tidak ada Berto dan Jonathan. Hidup seperti ini, sangat dinantikan oleh gadis itu. “Jalankan mobilnya dengan pelan-pelan, aku ingin menikmati indahnya langit di sore hari,” kata Varizen lembut membuat Jonny melirik ke arahnya. Mana bisa pelan? Pria yang berstatus bosnya sedang murka karena ada urusan di perusahaan. Dan dia membutuhkan Varizen untuk ketenangan batin. Berto bahkan mengamuk tidak jelas, melempari semua barang, dan menjadikan karyawan sebagai kambing hitam. Hanya Varizenlah yang mampu meredakan amarah pria kejam itu. Jadi, Jonny tidak mendengarkan gadis itu, dan malah melajukan mobilnya secepat kilat. “Ini terlalu cepat!” teriak Varizen kesal dihiraukan oleh Jonny. Pria itu focus mengendalikan mobilnya. “Jonny!” panggil gadis itu dengan kesal. “Maaf, Nona. Saya tidak punya waktu untuk berdebat dengan Anda,” jawab Jonny dengan cepat. Varizen pun mendengus dengan kesal karena keinganannya tidak terkabul. Tidak ada hari santai baginya, yang ada hari penuh neraka. Tidak lama kemudian, mereka sampai di perusahaan. Jonny langsung turun lalu membuka pintu mobil untuk Varizen. Gadis itu hanya berdiam diri karena tidak suka atas keputusan sepihak dari pria tersebut. “Nona… Saya mohon…, hanya anda yang bisa menangani ini semua,” ucap Jonny sambil menatap varizen dengan nada memohon. Gadis itu mengambil nafas panjang, ia membuang muka ke kanan lalu melihat beberapa karyawan keluar sambil menangis. “Mereka dipecat tanpa alasan,” ujar Jonny lesu. Varizen masih terus menatap ke karyawan yang menangis itu. “Bagaimana mereka bisa dipecat?” tanya Varizen dengan antusias. Jika mereka tidak bersalah, Berto tidak perlu memecat karyawan, “Aku tidak bisa menemui ayah," imbuhnya sambil menunduk. Varizen tidak ingin menjadi kambing hitam karena datang disituasi yang tidak tepat. Perkataan gadis itu langsung dijawab dengan gelengan, “Anda akan baik-baik saja. Saya akan menjaminnya. Apakah Anda tidak kasihan melihat para karyawan itu? Mereka masih mempunyai keluarga dirumah yang membutuhkan biaya hidup.” Gadis itu berpikir keras lalu melirik ke arah karyawan yang masih menangis tersedu-sedu. Samar-samar, ia mendengar salah satu dari mereka sedang mengeluh. “Aku tidak bisa keluar dari sini. Ibuku butuh biaya untuk operasi,” ujarnya sambil menangis keras memeluk temannya, “Sabar… kita berdoa saja semoga bos membatalkan pemecatan,” jawab temannya sambil meneteskan air mata. Hati Varizen goyah mendengar kelihan dari mereka. Ia menggigit bibirnya sambil terus berpikir dengan keputusan yang diambil. Sedangkan Jonny terus saja mendesak gadis itu agar mau masuk ke dalam dan menghentikan aksi Berto. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN