Sabtu pagi yang tak menyenangkan untuk Liam. Pagi ini keluarga mereka tak berkumpul di restoran seperti biasanya, hanya dirumah sambil barbeque bersama. Liam sudah berusaha untuk menyibukan diri agar tidak ditanya-tanya soal Ara. Sudah hampir satu minggu berlalu sejak kejadian pertemuan pertamanya dengan orang tua Ara. Bahkan sejak saat itu, ia belum bertemu kembali dengan Ara, hanya bertukar kabar lewat pesan dan telepon.
“Kok, Ara gak diajak dateng, Mas?” tanya Fabian saat melihat abangnya sibuk membakar asparagus di atas pemanggang.
“Sibuk,” jawab Liam cepat tanpa menoleh.
“Oh iya, kok dia gak ada kabar lagi sejak pergi sama Mama? Sempat sih di Ara WA untuk mengucapkan terimakasih dan say hello lainnya tapi abis itu dia menghilang.”
“Ya, kan gak perlu juga tiap hari dia WA mama kalau gak ada urusan,” bela Liam mengingatkan sang ibu yang cenderung posesif.
“Jadi gimana? Kamu beneran suka sama keponakan si Joddy? Gak mau lebih dekat sama yang lain? Anak pak Yuherman tuh, Karina, dia gak kalah cantik, lulusan Stanford, anak satu-satunya. Usianya gak beda jauh sama kamu,” tanya David pada anak sulungnya.
“Hampir seusia Liam, tapi belum nikah?!”
“Namanya juga wanita karir ma, dia kan harus meneruskan usaha ayahnya.”
“Karina itu gak kerja di perusahaan, papanya kok. Aku kenal dia. Malah dia bikin usaha start up sama beberapa temannya,” ucap Reiner ikutan nimbrung.
“Atau sama Arlin aja! Dia itu pemilik toko bunga langganan mama tuh! Usianya diatas aku setahun dan kayanya pernah dikenalin deh sama mas Liam. Dia tuh anaknya tante Sara, yang dulu jadi komite bareng mama waktu aku SMA,” ucap Fabian membuka peluang nama yang lain untuk dijodohkan pada sang kakak.
“Ini apaan sih?! Pada sibuk mikirin jodoh aku?!” cetus Liam jengah mendengar pembicaraan keluarganya.
“Kita semua ini khawatir sama kamu, pengennya kamu tuh segera menikah. Usia kamu tuh udah banyak loh! Kalau kamu nikah umur 40, trus baru punya anak, kasian mereka nanti pas lulus kuliah kaya ditemenin sama kakeknya, bukan ayahnya.”
Mendengar ucapan Lea, kedua anaknya yang lain langsung tertawa terkikik.
“Soal anak sih gampang, Ma. Cari aja istri yang udah ada anaknya,” gumam Liam pelan.
Buk! Sebuah cushion mengenai tubuh Liam dilempar oleh Lea. Wajah perempuan setengah baya itu langsung berubah.
“Apa? Kamu pengen nikah sama Lydia?! Gak ada ya, Liam! Sampai kapanpun mama gak ijinin kamu nikah sama perempuan gatel kaya gitu!”
“Siapa yang gatel, Ma?! Lydia bukan perempuan seperti itu! Walau sudah menikah dua kali tapi dia bukan seperti yang mama bayangkan! Mama gak kenal dia, jadi jangan bicara sembarangan!” Liam tampak marah saat kekasihnya dicemooh sang ibu.
“Kamu pikir mama buta?! Dari gesture nya aja, mama tahu kalau dia itu genit! Dari semua perempuan cantik yang ada di kantor, kenapa mesti dia yang kamu lirik?! Karena dia deketin kamu duluan!”
“Gak gitu, Ma! Aku juga suka sama dia, bukan hanya dia yang suka duluan sama aku! Dia perempuan baik dan bisa ngertiin aku!” ucap Liam tetap membela Lydia.
“Gak! Pokoknya nggak! Mama gak mau ketemu lagi perempuan-perempuan genit kaya Lydia! Mama trauma!” jerit Lea sambil berdiri lalu menatap suaminya dengan pandangan marah sebelum ia pergi masuk ke dalam rumah.
“Kamu kenapa sih musti ngotot gitu di depan mama?! Kamu kan tahu, mama kamu itu gak suka sama Lydia!” tegur David kesal pada anak sulungnya.
“Mama tuh gak adil! Hanya karena tampilan Lydia mirip dengan tante Laila jangan semua dianggap sama dong!”
“Liam!”
“Papa yang pernah selingkuh, kok aku yang jadi kena imbasnya!” gerutu Liam kesal lalu meletakan capitan besi ditangannya dengan keras diatas meja dan segera kembali ke kamar. Ia merasa sangat marah, karena urusan masa lalu orang tuanya, dijadikan penilaian untuk orang lain. Hanya karena tampilan Lydia yang sensual dan masa lalunya yang dua kali gagal dalam pernikahan tak bisa dijadikan patokan bahwa ia orang yang buruk.
***
“Ayo naik!” ajak Liam dengan suara gusar pada Ara. Setelah pertengkarannya dengan sang ibu tadi pagi, mood Liam hari itu jadi buruk. Tiba-tiba saja ia ingin bersenang-senang bersama teman-teman prianya, tapi pikirannya yang masih kacau membuatnya berhenti didepan rumah Ara dan mendadak ia ingin mengajak Ara ikut serta. Rasanya, ia ingin tahu apakah perempuan kecil yang baru dipacarinya ini bisa semenyenangkan Lydia yang bisa berbaur dengan teman-temannya.
“Kita mau kemana, Om Mas?” tanya Ara pelan tak enak perasaan melihat pria disampingnya tampak bad mood. Liam menoleh kearah Ara dan tiba-tiba mencuri kecupan dibibir gadis itu.
“Hei, Liam! Main cap cup aja!” pekik Ara kaget lalu memukul pipi Liam kesal.
“Sekali lagi kamu panggil aku Om Mas, aku cium kamu!” ancam Liam tak suka dengan panggilan Ara. Melihat wajah Liam yang serius, Ara pun terdiam dan mengangguk cepat dan Liam pun segera mengendarai mobilnya menuju sebuah restoran and bar langganannya.
“Ayo turun!” suruh Liam lalu menarik tangan Ara untuk mengikutinya masuk ke dalam resto. Melihat Liam, para pelayan itu langsung menyapa pria itu ramah dan memberikan tempat duduk vip.
“Siapin aja seperti biasa,” ucap Liam cepat pada pelayan yang menemaninya lalu pelayan itu pun pergi meninggalkan Liam dan Ara yang tampak kebingungan. Ara seperti anak kecil yang celingak-celinguk kebingungan melihat resto dan bar yang baru pertama kali ia kunjungi.
“Kamu mau makan apa? Pesen gih, makanan disini enak kok,” suruh Liam sembari menyandarkan dirinya. Ara segera mengambil menu dan membukanya dengan tak sabar.
“Bisa pesen apa aja?” tanya Ara lagi seolah memastikan.Liam pun mengangguk sambil sibuk dengan handphonenya. Tak lama beberapa pelayan pun tiba mengantarkan sebuah bucket berisi es dan beberapa botol minuman keras juga beberapa gelas kecil. Mata Ara membulat lihat mejanya penuh dengan minuman keras tapi ia pun segera memesan beberapa menu kepada pelayan.
“Mas, kamu akan minum semua ini?! Haram mas! Haram!” bisik Ara sedikit panik mencoba mengingatkan Liam.
“Stt, ah! Berisik! Kalau kamu jadi pacar aku, harusnya kamu bisa tahu dan menerima kebiasaanku!” bisik Liam dengan wajah tak suka dinasehati.
“Idih, siapa yang mau jadi pacar kamu,Om Mas?! Aku?! Ogah!”
“Aku cup nih!” ancam Liam saat mendengar Ara kembali memanggilnya Om Mas. Ara segera bergerak mundur ke pojok. Ia tak ingin Liam mengecup bibirnya lagi. Dicuri kecupan oleh Liam membuat hatinya kesal, karena bibirnya tak pernah disentuh pria manapun dan Ara berharap ia memberikan bibirnya pada orang yang paling ia cintai. Kini bibir polosnya telah ternodai oleh Liam.
Bersambung.